-- Binhad Nurrohmat
KETIKA kritik sastra mangkir, dunia kreasi sastra tak pailit karenanya, tetapi kritik sastra patut tertunduk malu atas kemangkirannya. Kesusastraan telah menyambut baik eksistensi kritik sastra, bahkan terlampau berlebihan kadang.
Chairil Anwar pernah berang terhadap H.B. Jassin, tetapi itu terjadi bukan lantaran penyair itu benci kritik sastra, melainkan lebih karena buruknya kontrol emosi penyair itu saat membaca pendapat kritikus itu yang serupa olok-olok. Kisah ini bukan bualan saya. Nasjah Djamin menera dalam bukunya Hari-Hari Akhir Si Penyair (Pustaka Jaya, 1982), "Dia pernah bilang sajak-sajakku sama dengan sajak anak-anak yang mengisi ruangan `Fajar Menyingsing` di Mimbar Indonesia. Bombastis, katanya." Pengakuan Chairil Anwar itu muncul setelah dia mendatangi H.B. Jassin untuk meminta pertanggungjawaban atas pendapatnya itu. Mereka bertengkar dan membuat H.B. Jassin meninju muka Chairil Anwar.
Kisah dramatis di masa lampau itu bisa penting atau sepele untuk melihat hubungan antara karya satra dan kritik sastra di kemudian hari. Saya percaya, hubungan "tegang" semacam itu masih saja terjadi hingga hari ini dalam dunia kesusastraan kita, apalagi terhadap mereka yang kadung mengaku sebagai kritikus di hadapan publik tetapi tulisannya mengenai karya sastra tanpa daya elaborasi intelektual yang kukuh sehingga cenderung memperlakukan kerja kritik sastra serupa menggarap spanduk atau advertorial.
Deintelektualisasi dalam kerja kritik sastra itu melahirkan krisis dalam kritik sastra sehingga eksistensi kritik sastra kurang dipercaya, kurang diharapkan, dan bahkan dianggap sebagai sejenis hama bagi karya sastra. Nah, istilah "hama sastra" yang saya jumput dari isi buku kumpulan esai Damhuri Muhammad Darah Daging Sastra Indonesia (2010) itu pernah muncul dalam esai saya, tetapi oleh seorang kritikus sastra penjumputan itu dianggap menenggelamkan buku itu. Mungkin, kritikus itu lupa beda antara resensi buku dan pengutipan yang dilakukan dalam suatu esai. Ini merupakan contoh kesilapan intelektual yang dilakukan seorang kritikus sastra.
Krisis kritik sastra itu berasal dari kelakuan pelaku kritik sastra itu sendiri. Tak perlu ada kambing hitam yang diajukan. Barangkali krisis itu terjadi karena kritik sastra cenderung hanya memandang ke luar dan lupa menatap ulang dirinya sendiri. Atau, mungkin karena kritik sastra melulu melihat ke dalam diri sendiri dengan sikap ortodoks terhadap wawasan kritik sastra tertentu dan menampik wawasan lainnya. Deintelektualisasi itu membuat kritik sastra seperti merangkak jauh di belakang pertumbuhan dan perkembangan karya sastra, tetapi kritik sastra tak menganggap kondisi ini sebagai ketertinggalan. Kesenjangan dan kejumudan inilah yang memperparah harmoni antara karya sastra yang kian pesat dan kritik sastra yang tersendat.
Yang terbaik yang bisa dilakukan kritik sastra saat ini adalah cermat dan setia mengikuti pertumbuhan dan perkembangan karya sastra yang kian pesat baik produksi, inovasi, maupun varian medianya. Kritik sastra mesti membangunkan dirinya sendiri dari "tidur dogmatis" yang dialaminya agar menyadari situasi kesusastraan yang sebenarnya. Basis eksistensi kritik sastra yang sesungguhnya berasal dari kesanggupannya melakukan observasi terhadap realitas karya sastra, dan melalui hasil observasi itulah refleksi, rasionalisasi, maupun evaluasi bisa dilakukan secara bertanggung jawab dan adil.
Kritik sastra yang baik bukan ditentukan oleh teori atau pendekatan yang dianut dan diamalkannya. Basis eksistensi kritik sastra yang sesungguhnya adalah pantulan intelektual dari observasi terhadap realitas karya sastra. Kritik sastra adalah respons terhadap karya sastra, bukan penerapan semena-mena belaka suatu teori atau pendekatan untuk melihat karya sastra.
Selain itu, pameran sejarah wawasan kritik sastra masa kuno memang perlu untuk dongeng. Akan tetapi, apa yang mesti menjadi wawasan kritik sastra hari ini merupakan kebutuhan yang lebih urgen.
Keangkuhan ilmiah atau arogansi akademik yang ditampakkan dalam kerja kritik akan menjadi parodi buruk belaka, jika hanya merupakan klaim tanpa muatan yang berbobot. Kritik sastra mesti menimbang bahwa baju-baju ilmiah-akademik hanya merupakan formalitas, tata krama, dan apa yang ada dalam selubung baju itulah yang lebih substansial.
Kritik sastra punya sejarahnya sendiri. Kritik sastra yang baik memberikan inspirasi untuk bisa menghargai capaian karya sastra tanpa mesti memuja-mujanya, dan kritik sastra juga memberikan ilham untuk bisa menerima kelemahan karya sastra sebagai kenyataan yang bisa dihadapi tanpa perlu ada dendam. ***
Binhad Nurrohmat, pujangga
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 14 November 2010
No comments:
Post a Comment