Tuesday, November 23, 2010

[Sosok] Toton: Keselarasan Hidup dan Kesusastraan

-- Boni Dwi Pramudyanto

Toton Dai Permana salah seorang dari sekian sastrawan Indonesia yang mampu mematahkan penilaian publik tentang minimnya peran kesusastraan dalam hal pencapaian kesejahteraan hidup. Baginya, kesusastraan justru punya peran yang besar karena bisa menggerakkan seseorang untuk membangun keselarasan hidup.

THONTOWI HERIJUM EKA PERMANA (KOMPAS/BONI DWI PRAMUDYANTO)

Secara filosofis, sikap hidup yang selaras dengan alam dan sesama ini justru lebih fundamental dan menjadi payung utama. Sikap itu merupakan prasyarat utama untuk mencapai kesejahteraan hidup secara ekonomis,” tutur pria kelahiran Manna, Bengkulu, ini saat ditemui di rumahnya di Palembang, Sumatera Selatan.

Inilah yang kemudian menjadi landasan bagi pria dengan nama lengkap Thontowi Herijum Eka Permana ini, untuk terus konsisten menekuni dunia sastra sejak 25 tahun silam. Konsistensi dan loyalitas ini bisa dilihat dari berbagai karya tulisnya yang terekam antara lain dalam ratusan naskah drama, novel, cerpen, dan puisi.

Toton, panggilannya, meski bisa dikatakan sebagai sastrawan serba bisa, kemudian memutuskan fokus pada penulisan naskah drama sejak tahun 1983. Bahkan, sebagian besar karya Toton tak hanya berhenti pada aspek penulisan karena puluhan karyanya juga dipentaskan pada berbagai acara sastra kampus dan publik. Karyanya juga dikembangkan menjadi drama serial pada stasiun televisi lokal dan TVRI Sumatera Selatan.

”Sejumlah stasiun televisi nasional juga terinspirasi menyadur naskah drama saya menjadi pentas drama maupun film, misalnya TPI dan Global TV,” kata Toton sembari menjelaskan tentang figur almarhum ayahnya dalam mengenalkan, mendorong, dan menanamkan jiwa sastrawan kepadanya. Sang ayah berperan besar menjadikan dia sosok yang produktif menghasilkan karya sastra.

Beragam karya

Setelah melalui tahap pengenalan dan pembelajaran di dunia sastra secara otodidak, Toton menyelesaikan karya perdananya untuk subtema penulisan naskah drama panggung dan drama serial televisi tahun 1985, dengan judul Mereka yang Terpencil.

Naskahnya itu lalu dilirik seorang produser drama di stasiun TVRI Sumsel dan stasiun TPI, setahun kemudian. Sedangkan pada bidang cerita pendek atau cerpen, hasil karya Toton telah diterbitkan PT Balai Pustaka.

Dari hasil penelusuran arsip milik Toton yang sehari-hari bekerja sebagai pegawai negeri sipil pada Dinas Penerangan Kabupaten Ogan Komering Ilir ini terdapat sejumlah karyanya yang dibukukan beragam penerbit dan dipentaskan. Sebut di antaranya Mereka yang Terpencil, Daud Singo, Lirik Lagu Seorang Budak, Madonna City, dan Sungguh.

Dari semua karyanya itu, Toton menuturkan, ada satu naskah drama yang paling dia sukai sampai sekarang, yakni Madonna City. Naskah ini kemudian dipentaskan menjadi serial televisi di TPI dan TVRI Pusat. Stasiun televisi berminat pada Madonna City karena menceritakan pergulatan bangsa Indonesia mencari identitas politik kebangsaan.

”Sebagian besar naskah drama yang saya tulis mengusung isu sosial dan kebangsaan. Saya menulis naskah drama sepanjang sore hingga malam atau sepulang bekerja,” cerita Toton.

Refleksi kehidupan

Toton mengaku relatif tidak mengalami kesulitan dalam menggali ide dasar penulisan, baik guna dituangkan sebagai naskah drama, cerpen, maupun puisi. Sebab, bidang kesusastraan pada hakikatnya mencerminkan dan merefleksikan nilai-nilai kehidupan manusia sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial.

Di samping menulis naskah drama, seiring dengan berjalannya waktu, Toton juga tertarik menerjuni seni teater di Sumsel. Ketika itu, seni teater bisa dikatakan belum banyak digarap sastrawan dan seniman lokal.

Dalam bidang seni teater, Toton kemudian mendirikan kelompok teater ”707” di Kota Sekayu, Musi Banyuasin, Sumsel. Setelah kelompok teater ini bisa mandiri, Pemerintah Kabupaten Banyuasin juga memercayakan jabatan sebagai pembina kelompok teater lainnya, ”SS”, kepada Toton.

”Pada tahun 1991 saya diajak sastrawan senior Sihan M Rohin untuk menyutradarai pementasan drama berjudul Aiga. Drama ini hasil garapan kami berdua. Naskah ini lalu dipentaskan dalam ajang Festival Pertunjukan Drama Rakyat Tingkat Nasional di Jakarta,” cerita Toton.

Pengalamannya sebagai sutradara bertambah setelah Dewan Kesenian Sumsel memercayainya untuk menyutradarai naskah Madonna City pada acara Temu Teater XI di Yogyakarta. Meskipun dalam pentas drama ini karyanya tak menjadi pemenang, Toton tetap bangga karena masuk sebagai salah satu nominasi.

Menyisihkan waktu

Pada era kepemimpinan Gubernur Sumsel Alex Noerdin dan Wakil Gubernur Boediyono ini, Toton menduduki jabatan sebagai Kepala Bagian Humas Pemprov Sumsel. Selama hampir dua tahun di posisi barunya ini, dia mengaku tetap menyisihkan waktu guna mengasah ketajaman jiwa seninya.

”Setelah sempat ’menghilang’ dari peredaran, saya berhasil menghimpun kembali energi menulis dalam diri ini. Maka, jadilah novel berjudul Angin sebagai salah satu bukti eksistensi saya di dunia kesusastraan,” kata Toton tentang novel terbarunya yang terbit tahun 2009 itu.

Dia berharap akan semakin banyak kaum muda yang tertarik menekuni bidang kesusastraan. Bagi Toton, kesusastraan membuat keseimbangan hidupnya terjaga. Kesusastraan bisa mengasah jiwa seseorang untuk lebih peka pada kondisi sosial-ekonomi di sekelilingnya.

Selama belasan tahun, Toton terus menjaga keseimbangan dan harmoni dari dua dunianya, yakni sebagai sastrawan dan PNS. ”Saya masih punya obsesi yang belum terwujud, seperti mendirikan penerbitan buku seni dan sastra, membangun sanggar seni dan sastra secara independen, serta membukukan semua hasil karya ini.”

Sumber: Kompas, Selasa, 23 November 2010

No comments: