Tuesday, November 23, 2010

Sadar Bencana: Jangan Terbuai Kearifan "Lokal"

Jakarta, Kompas - Meski sebagian komunitas masyarakat Indonesia memiliki kearifan ”lokal” dalam menghadapi bencana di daerahnya, itu tidak perlu dilebih-lebihkan. Selain kearifan, sebagian besar masyarakat justru memiliki banyak sisi ketidaktahuan dan kekurangtahuan memahami bencana.

Hal itu diungkapkan dosen antropologi Universitas Indonesia, Iwan Tjitradjaja, di Jakarta, Minggu (21/11). Kearifan lokal mengemuka sebagai respons atas arogansi pembuat kebijakan dan penyelenggara pembangunan yang menjadikan masyarakat pedesaan atau pedalaman sebagai obyek dan dianggap bodoh.

”Walau sebagian masyarakat memiliki pengetahuan tentang lingkungan mereka, justru lebih banyak yang tidak tahu atau kurang tahu,” katanya.

Kini, kearifan itu juga menghadapi tantangan akibat kondisi lingkungan yang berubah cepat. Perusakan lingkungan oleh kekuatan di luar masyarakat setempat membuat sejumlah indikasi, pengamatan, dan pemahaman warga tentang tanda-tanda bencana turut berubah. Perubahan itu terjadi tanpa disadari oleh masyarakat.

Selain itu, menurut Iwan, dengan masuknya pengaruh pasar yang mengedepankan sikap pragmatis materialistik, pandangan dan perilaku masyarakat turut berubah. Akibatnya, keputusan yang diambil masyarakat banyak yang tidak didasarkan pada nilai kearifan yang dibangun selama ini, tetapi berdasarkan kebutuhan sesaat yang tanpa disadari turut mendorong parahnya kerusakan lingkungan.

Untuk mengatasi ketidaktahuan dan kekurangtahuan masyarakat dalam menghadapi bencana, Iwan mengusulkan, pemerintah, masyarakat, dan akademisi membantu membangun kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi bencana dengan memberikan pendidikan yang melibatkan masyarakat—mereka jangan jadi obyek. ”Program pendidikan sadar bencana ini tidak bisa dilakukan secara ad hoc, tetapi harus secara terus-menerus,” ujarnya.

Secara terpisah, dosen antropologi Universitas Gadjah Mada, PM Laksono, mengatakan, meski banyak bencana menimpa Indonesia, sebagian besar masyarakat masih sulit mengambil pelajaran dari bencana yang terjadi. Setiap bencana seharusnya melahirkan pembelajaran agar tidak terulang pada persoalan yang sama saat bencana lain datang.

Dalam menghadapi bencana orang berpikir secara parsial akibat terpukau citra kemajuan materiil duniawi. Kondisi ini sulit melahirkan kearifan, termasuk dalam menghadapi bencana, karena kearifan diawali dari proses pemikiran komprehensif, bukan pemikiran bersifat sektoral.

”Ketika alam menantang masyarakat untuk berubah drastis (akibat bencana), banyak masyarakat yang kagok karena tak terbiasa,” katanya. Jika ingin membangun masyarakat sadar bencana, pemikiran setiap orang yang mengalami bencana harus diapresiasi sebagai bentuk kearifan memahami bencana. Berbagai pemikiran itu direfleksikan untuk membangun sistem penanganan bencana yang teroganisasi. Setiap perbedaan pandangan perlu dihargai, jangan dimaknai sebagai perlawanan.

Laksono mengatakan, keinginan pemerintah membangun pusat riset, pendidikan, serta pelatihan pengurangan risiko dan penanganan bencana di sejumlah daerah rawan bencana dengan mengadopsi pola di Jepang hendaknya bukan retorika. Ketersediaan sumber daya manusia, sistem informasi, dan keterbukaan akses informasi perlu dipikirkan dan disiapkan matang.

Penelitian soal kebencanaan banyak dilakukan mahasiswa dan peneliti Indonesia. Namun, belum ada yang menyatukan pemikiran-pemikiran yang terpecah itu. ”Jika perguruan tinggi mampu menyatukan berbagai kajian kebencanaan secara komprehensif hingga melahirkan pengetahuan baru yang menghubungkan hidup masyarakat dengan bencana, dunia internasional akan banyak belajar dari Indonesia,” ujarnya. (MZW)

Sumber: Kompas, Selasa, 23 November 2010

No comments: