Saturday, November 27, 2010

Menyoal Pengajaran Sastra

-- Eko Triono


1.

SUATU hari, di tahun 1964, sebuah catatan beredar. Ia menjadi diktum teori keberhasilan individu, yang apabila dijejer dengan teori, juga praktek pendidikan, adalah mata tembilang dalam cambuk menuju “kesuci-bahagiaan-hidup”; sebuah konklusi peta dan “petakon” arah, mungkin juga sebuah cara yang sedikit malu di meja sekolah. Catatan itu menutur perihal striving for succes or superiority:…satu-satunya kekuatan dinamis di balik perilaku manusia adalah perjuangan menuju keberhasilan atau keunggulan. Penulisnya lahir pada jarak waktu juga tempat yang jauh dari kita, 7 Februari 1870, di Rudolfsheim, Wina. Dia diberi nama oleh Leopold dan Pauline dengan: Alfred Adler.

Sastra (dengan cukup memaksa dan menggebu) saya sebut sebagai salah satu perjuangan itu. Di mana pada bangunan “rumah”-nya terperangkap daya kreatif dan ambisi simpul persepsi yang siap meledakkan individu pada penemuan lanskap diri; sebuah style of life. Juga penjabar-ejawantah ide, seperti kata Chairil Anwar, dalam sajaknya Rumahku ketika “kaca jernih dari luar segala nampak”; pengerjip cahaya—dengan sedikit pandangan sosial-spiritual, penginspirasi langkah-langkah jalan liyan.

Ini penting. Bagi saya inilah muara capaian itu, sebuah evaluasi yang sedikit serius di jalan besar "investasi peradaban": konon demikian slogan pendidikan. Suatu capaian kompetensi yang bukan sekadar catatan silabik formalitas, tetapi menemplok di punggung realitas epistemik.

Dari sini, agaknya wajar apabila sejumlah orang mengelus dada, bergeleng, atau mungkin senyum kecut yang tertahan masam musim; perihal pengajaran sastra, terutama di sekolah, yang pontang-panting. Hal ini terjadi di berbagai lini sistem kependidikannya, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Ahli didik barangkali telah sepakat, tujuan utama pengajaran sastra di sekolah adalah untuk meningkatkan apresiasi. Dan perlu disadari, apresiasi bisa sangat “seksi”, pura-pura, atau rupa-rupa di mana tampak clontang-clanteng tolok ukurnya. Ia bisa tak tegas benar.

Sejarah telah membuktikan sejumlah sastrawan bukan dari jurusan sastra, yang notabene menyidiakan menu lengkap berpaket. Mereka (sastrawan tersebut) terbukti ada dengan membangun diri “sastra” melalui kekaryaan yang intens, bukan hanya untuk ekspresi diri, tetapi juga ekspresi dan resepsi sosial-kebangsa-manusiaan, sebuah jalan hidup yang mulia.

Dalam dunia pendidikan, dua tonggak sastra adalah guru dan calon guru. Keduanya bertali-lingkar, guru (termasuk dosen) mendidik murid (termasuk siswa) yang akan “mendidik”: diri dan luar dirinya. Calon guru adalah teman-teman saya di bangku kuliah. Ialah “masa depan” tuang pakerti sastra pada generasi berikutnya. Merekalah yang akan menjaga kekuatan sastra sebagai perjuangan identitas kemanusiaan: penemuan kesadaran human.

2.

Krisis sosial yang marak terjadi akhir-akhir ini, salah satunya akibat ketidakpercayaan dan pengkhianatan antarsesama, sebuah deviasi cita-cita bebrayan: kesadaran nation, kesadaran hubungan sosial yang dijembatani dengan kesadaran Tanah Air, bahasa, dan bangsa. Bahasa, yang lebih kompleks di dalamnya sastra, dalam Sumpah Pemuda dipercaya menyatukan, dan memberi kekuatan dasar bagi lahirnya persatuan. Persatuan yang bukan “persatean” sebagaimana diperingatkan Bung Hatta. Bangunan utamanya bukan pemaksaan pembenaran suatu kelompok pada kelompok lain, tetapi kesadaran hidup bersama menuju humanisme universal, tatanan yang “madani” dalam istilah Nurcholis Madjid. Dengan kesadaran tersebut, segala konflik pengkhiantan sesama, mulai dari korupsi, dan olok-olok lain seputar hukum, sampai kehidupan bertetangga; baik itu tetangga “ide” maupun tetangga “rumah” dapat terdegradasi.

Meskipun kurikulum yang ada kini telah mencaplok sastra dalam bahasa, kita tetap butuh optimisme, komitmen, dan itegritas terkait dengan sastra dan pengajaran kemanusiaanya. Sebab sastra terbukti memiliki refrensi sosiologis dan pembangun karakter individu melalui kontemplasi semua sisinya. Cara yang harus ditempuh dalam optimisme tersebut adalah dengan semarak kekaryaan. Evaluasi pengajaran sastra terutama di sekolah dan di manapun harus berkacapembesar karya, baik itu atas bacaan (resensi, telaah, baca kreatif, dst.) maupun karya kreatif “murni” (drama, cerpen, puisi, novel, dst.) atau karya praktikan (pembacaan, pementasan, pemfilman, dst.). Karya-karya peserta didiklah yang mestinya dijadikan ukuran nilai baik secara kuantitas, maupun kualitas, dengan indikator tertentu. Sementara soal ujian dan sejenisnya yang cenderung positivis dan penuh tragedi rahasia pembangunan karakter amoral (sontek-curi-korup) dijadikan serp atau kalau masih trap diubah titik-beratnya pada soal analisis dan pengembangan.

3.

Pandangan bahwa belajar menulis (kreatif) adalah belajar menjadi penulis, saya kira, merupakan pandangan yang masih megap. Menulis, lebih dari berkarya, ia merupakan belajar berdaya hidup. Sebuah gaya belajar sastra yang terang dengan evaluasi yang konkret. Bukankah W.S. Rendra berkata dalam Sajak Sebatang Lisong; “Apalah artinya berpikir bila terpisah dari masalah kehidupan?” Apalah artinya pengajaran sastra apabila peserta didik tidak semakin memahami hidup, berdaya kreatif, dan memiliki kepedulian sosial yang tinggi? Di manakah hasil pencerapan intisari laku hikmah (etik) dalam aneka chaos kultur, sosiologis, kontemplasi, dan laku estetik bahasa dalam karya untuk karsa dan katresnan pada sesama?

Karya di samping sebagai dokumentasi perkembangan indvidu, juga dapat dipublikasikan di sejumlah media yang kini batasnya semakin tipis, telebih di dunia maya. Di sana, mereka akan saling menyauh sumbu kreatif liyan lewat silaturahmi karya, misalnya antarblog atau catatan Facebook dan terbitan koran. Dan ini “di luar pagar” dari sekolah atau instansi formal belajar sastra. Ini sebuah pendidikan alamiah, kesalingperluan untuk hidup, bukan sekadar raihan nilai dan ijazah. Sebuah relasi kemanusiaan yang jujur.

Selain itu, logikanya orang yang berkarya, ia akan membaca banyak, menelaah, berkontemplasi, menyuarakan ide, menolak sesuatu, dan seterusnya. Yang pada titik tingginya, bakalan sakti dalam social interest akibat berhasil secara karakter dalam unified and self-consistent, seperti rangkai capaian individu dalam teori Adler. Sehingga, meledaklah daya-gaya hidupnya yang dibangun atas creatif power. Sebuah optimisme masa depan di tengah patil-patil ketakjelasan arah berbangsa, di antara depresi sosial-moral, dan frustasi sosial-politis yang semakin meninggi.


Eko Triono
, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 27 November 2010

No comments: