PADA dinding, sebuah banjir besar sedang menelan Kota Jakarta. Sedang di sebuah ruang sempit tampak hutan hanya tinggal jejak pepohonan. Daun-daun kering dan tanah yang berwarna kelabu, dan sebuah keran dengan tetesan air yang menggelantung di ujungnya, seolah tetesan air terakhir. Lewat cermin di setiap sisi ruang sempit itu, pemandangan hutan yang hancur tersebut sekonyong-konyong menjadi ruang yang demikian besar. Sehingga pemandangan hutan yang hancur itu tampak begitu memilukan. Ada memang sebatang pohon tampak masih tegak dengan sisa-sisa pokok dan dahannya. Akan tetapi, di pertengahan batangnya, tumbuh dan tegak menjulang tembok beton dan rangka-rangka besi. Sisa semen meleleh di ujung batang pohon.
Di bagian yang lain, sebuah batu tegak dan tampak hening di atas lumpur kering. Permukaan lumpur itu membentuk garis-garis lingkaran dan batu itu tegak sebagai porosnya. Di puncak batu sebilah keris menancap sehingga menyuguhkan pemandangan yang hening sekaligus menyedihkan. Keris yang menikam batu yang menjadi poros dari suatu lingkaran di atas lumpur kering. Keris itu agaknya dihadirkan untuk mengganggu keheningan batu yang menjadi poros di atas lingkaran lumpur. Ia memang menancap dan menciptakan keheningan berikutnya. Itulah titik bumi. Titik yang menjadi pusat dari rasa sakit alam dengan keris yang menjadi representasi dari kuasa manusia.
Kuasa manusia pada alam dipahami telah menjadi tabiat yang merusak. Modernitas telah mengubah cara pandang manusia atas alam. Alam tak pernah lagi menjadi "ibu" atau semacam guru bagi manusia. Tubuh manusia modern adalah tubuh "Aku" yang mengambil jarak dari alam. "Aku" yang tak memberi hak hidup pada tanah, sungai, pohon, dan laut. Demokrasi manusia adalah pertarungan kuasa di antara "Aku", dan alam berada di luar itu. Ia tak punya hak suara untuk menyatakan kehadirannya. Ia tak punya hak untuk didengar, melainkan hanya menjadi sesuatu yang menjadi komoditas.
Oleh karena itu, ketika alam mengeluarkan suaranya untuk didengar, manusia menyebutnya sebagai bencana, "bencana alam". Suaranya tak pernah dimaknai sebagai isyarat betapa alam bisa bersuara dengan caranya sendiri jika ia tak didengar. Suara alam inilah yang diam-diam dianggap sebagai ancaman. Dan inilah yang terus mengintai lewat gunung berapi, tsunami, gempa. Padahal alam tak pernah mengancam. Ia hanya ingin bersuara untuk menunjukkan bahwa ia ada, sekaligus juga mengingatkan bahwa ia disakiti. Ia batu yang hening dan keras dengan keris yang menancap di tubuhnya.
Inilah yang diusung perupa Sunaryo dalam karya instalasi terbarunya "Titik Bumiku". Karya ini dipamerkan Main Lobby, M11 Jakarta Convention Center, Jakarta 18-21 November 2010.
**
SUNARYO dan seni instalasi memang selalu menyuguhkan semacam konsistensi tematik, yakni, manusia dan fenomena kerusakan alam. Paling tidak, seraya membaurkannya dengan latar situasi sosial-politik, manusia dan krisis ekologi selalu menjadi bagian yang tak bisa disendirikan dari kecenderungan karya-karya Sunaryo. Tak hanya dalam karya lukisannya, tetapi terlebih lagi dalam karya seni instalasinya. Dengan mudah, misalnya, orang menyebut sejumlah karya instalasi Sunaryo, mulai dari "Monumen Negeriku" dan "Titik Nadir" (1998), "Puisi Titik Putih" (2000), "A Stage of Metamorphosis" (2001), "Titik Gamang" (2002), hingga seni instalasi gigantik "There is no Space to Bargain" (2003).
Alam dan tabiat manusia tampaknya tak henti-henti menjadi obsesi kesadaran Sunaryo dalam sejumlah karyanya. Lebih dari itu, karya-karyanya selalu merujuk pada konteks aktualitas peristiwa yang tengah terjadi. Karya-karyanya selalu hadir dengan relasi penanda pada fenomena yang tengah terjadi. Alih-alihmenyemburkan semacam sikap perlawanan yang mengepalkan tangan, karya-karya Sunaryo semacam ini lebih hadir sebagai keinginan mengartikulasikan suasana. Lewat suasana inilah Sunaryo memprovokasi kesadaran audiens, tanpa perlu mengajaknya mengepalkan tangan, menggerutu, apalagi berteriak.
Demikian pula dengan "Titik Bumiku". Karya instalasi ini berukuran 6 x 7 meter dengan media kayu, daun, pasir, fotografi, cermin, cat arkrilik, dan panil plywood. Mengambil konsep sebuah wahana, instalasi ini mengajak pengunjung masuk. "Titik Bumiku" merupakan seni instalasi berupa wahana yang mengajak pengunjung untuk masuk ke dalamnya. Dalam setiap ruang terdapat berbagai pemandangan ihwal kerusakan alam dan nasib masa depan manusia. Dalam seni instalasi ini pengunjung tak hanya disuguhi pemandangan tentang kerusakan alam, tetapi juga embusan angin, suara air dan gemerisik dedaunan, peristiwa yang melukiskan kerusakan hutan, serta tenggelamnya sebuah kota.
Pusat dari instalasi ini adalah batu yang tegak sebagai poros garis-garis lingkaran di atas lumpur kering. Di atas batu itu sebilah keris menancap. Inilah titik bumi. Lingkaran-lingkaran di atas lumpur kering tampak menjadi torehan yang memberi kesan gerak. Gerak melingkar yang berlawanan dari arah jam, sehingga lingkaran itu terus mengembang. Atau, bisa juga garis lingkaran itu mengecil ke pusatnya. Akan tetapi apa pun, poros dari lingkaran itu ada sebuah batu yang begitu hening. Suatu pemandangan yang menautkan berbagai elemen sehingga menjadi kesatuan simbol yang menghadirkan suasana. Ada keheningan yang terasa purba sekaligus juga begitu menyakitkan ketika menatap keris itu menancap di atas batu.
Jika sejumlah bagian dalam instalasi ini terasa dihadirkan dengan ungkapan yang terasa cair, pusat dari instalasi ini menohon pengunjuk dengan titik bumi yang hadir sebagai satu metafora. Metafora yang merangkum seluruh pengalaman tubuh pengunjung dalam memasuki wahana karya. Rangkuman inilah yang direpresentasikan sebagai titik bumi, ruang dengan titik kesedihan ihwal hubungan manusia dan alam. Seperti pada karya instalasinya yang lain, Sunaryo amat fasih membangun suasana dan pencekaman yang melatarinya. Batu, keris, pasir, seluruhnya tampak mistis, murung, dan menyakitkan.
**
TITIK bumi bagi Sunaryo adalah titik pencekaman dalam hubungan manusia dan alam. Sebuah titik yang mendebarkan. Meski begitu, dengan titik ini pula Sunaryo menghadirkan gagasan kesadarannya ihwal apa sebenarnya yang tersisa dalam pusat kesadaran manusia ihwal alam. Mungkin soalnya tak beranjak dari fenomena lama tentang tabiat manusia terhadap alam. Kuasa dunia manusia dengan otoritas yang bergerak kelewat jauh. Kesadaran yang telah lama dibaca, dipahami, tetapi juga yang sekaligus tak seorang pun bisa menghentikannya. Demikian pula tampaknya dengan "Titik Bumiku".
Hanya, berbeda dari karya-karya sebelumnya dengan tekanan tematik yang sama ihwal manusia dan krisi ekologi, dalam "Titik Bumiku" Sunaryo lebih terkonsentrasi pada penciptaan bangun suasana. Dengan bangun suasana inilah Sunaryo menghadirkan berbagai idiom yang komunikatif, bahkan pada beberapa bagian terasa cair, verbal, dan harfiah. Penggunaan efek suara untuk mengartikulasikan suasana visual ini menjadi strategi komunikasi yang menarik demi mendedahkan kesadaran ihwal kesakitan alam. Demikian pula cermin yang melakukan manipulasi cerdik untuk melakukan reproduksi metafora kehancuran hutan. Permainan dan pengolahan simbol khas Sunaryo amat terasa pada bagian ini.
Dalam sejumlah judul instalasinya, Sunaryo memang selalu menggunakan kata "titik", seperti, "Titik nadir", "Titik Nadir", atau "Puisi Titik Putih". Tampaknya kata "Titik" merujuk kepada kesadaran sublimasi yang hendak dimaktubkan dalam karya. Ia seolah akhir atau puncak dari suatu permenungan demi mereaksi atas suatu keadaan. Aktualitas memang terkesan selalu menjadi rujukan dalam sejumlah karya Sunaryo. Meski begitu, ia bukanlah hendak sekadar mengulang realitas atas fenomena yang sedang aktual atau untuk mewartakannya. Seniman memang tidak bertugas mewartakan peristiwa atau fenomena.
Dan inilah juga yang tidak dilakukan Sunaryo lewat "Titik Bumiku", meski karya ini hadir di tengah alam yang sedang menyuarakan kehadirannya lewat gunung berapi, tsunami, dan banjir. "Titik Bumiku" sebenarnya membawa aktualitasnya sendiri ihwal tabiat manusia terhadap alam. Alam yang kini hanya menjadi sebongkah batu dan keris yang menikamnya. Setelah di Jakarta, karya ini akan dipamerkan di Selasar Sunaryo Art Space (SSAS) Bandung pada Januari 2011. (Ahda Imran)
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 28 November 2010
No comments:
Post a Comment