Sunday, November 21, 2010

Batavia dalam Jakarta

-- Yapi Tambayong

JANGAN mengira buku berjudul ”Batavia 1740” berisi tentang sejarah ’pembantaian Cina’ yang terkenal dilakukan Gubernur Jenderal Belanda Adrian Valckenier, Anno Domini 1740. Meski peristiwa itu diceritakan, kaitannya lebih dimaksudkan untuk menggambarkan keberadaan situs dan budaya Betawi.

Windoro Adi memilih judul itu untuk mencocokkan data dari Blusse, bukan De Han yang selama ini masyhur dikenal sebagai pencatat sejarah Batavia. Ia menyebutkan bahwa zaman keemasan bandar utama bekas kerajaan Pajajaran, Sunda Kelapa, dimulai dari 1731 sampai 1740. Pada masa sembilan tahun itu, sekurangnya 23 kapal dagang setiap tahunnya datang dari berbagai negeri, menambatkan sauh di bandar ini (hal 6). Bertolak dari hasil penelitian Lance Castle yang dilanjutkan oleh Yasmine Zaki Shahab, arkian Windoro Adi kemudian menyimpulkan, 100 tahun setelah peristiwa pembantaian Cina pada 1740 itu, muncul apa yang sekarang disebut sebagai ’Etnis Betawi’.

Dari situlah, dengan pandai dan dengan bahasa yang lincah bercara penulisan fitur (feature) yang lazim dalam karya jurnalistik, Windoro bercerita tentang menariknya Batavia, sebagai kota teladan dengan ciri-ciri elok lintas suku, ras, keyakinan, tamadun, dalam ramuan sumber-sumber tulis dan wawancara-wawancara orang tertentu di berbagai lokasi antero Jakarta.

Windoro membuka tulisan tentang Rawa Belong dengan syair bahasa Melayu yang disebut rancag. Rancag ini berkisah tentang matinya sang Robin Hood Betawi, Si Pitung. Hikayat tentang Si Pitung kemudian berlanjut dengan cerita lahirnya ’cingkrik’, model silat atau bela diri khas Betawi yang lebih populer disebut ’maen pukul’. Disertai foto bagus hasil jepretan pewarta foto Kompas, Agus Susanto, menunjukkan adegan seorang pendekar yang bisa ”terbang” menghindar seseorang berbadan kekar yang mengayunkan golok ke arahnya (hal 36-37).

Bersayap-sayap

Dalam buku karyanya, Windoro tidak hanya membuat tulisan satu paragraf dalam satu topik, tetapi juga membuat tulisan di beberapa judul lain menjadi berkembang bersayap-sayap cerita lain. Tanpa terasa, ia membawa pembaca yang tinggal di Jakarta sekarang, ketagihan ingin terus membaca dan mengetahui sejarah kotanya.

Dalam tulisan tentang, ”Kafe Batavia”, misalnya. Di bawah judul tulisan ini Windoro tidak hanya bercerita tentang Kafe Batavia, tetapi juga tentang Museum Fatahillah atau Museum Sejarah Jakarta yang berlokasi di seberang kafe. Salah satu ruangan di museum ini pernah menjadi ruang tahanan Pangeran Diponegoro sebelum dibuang ke Manado.

Masih di bawah judul ”Kafe Batavia”, Windoro mengajak pembaca mengunjungi Museum Seni Rupa dan mengetahui isi Museum Wayang yang lokasinya masih di sekitar Kafe Batavia. Windoro kemudian bercerita tentang pengalaman mistik di terowongan yang ”dijaga” perempuan berkebaya merah (hal 95).

Kisah kemudian meluas ke cerita istana Dam di Amsterdam dan ujug-ujug Windoro membuat catatan tentang 17 nama Gubernur Jenderal Belanda yang katanya ”menarik dipaparkan” (hal 78)—dan itu urusannya mau bilang begitu—mulai dari Pieter Both (1640-14) sampai Dirk de Graef (1926-31). Karena itu urusan Windoro memilih nama-nama tersebut, maka tak tersua di situ nama BC de Jonge (1931-36) yang sebenarnya amat terkenal karena melalui peraturannya berlaku ’bredel’ terhadap pers pro kemerdekaan Indonesia pasca-Sumpah Pemuda.

Di pagina-pagina berikut, buku ini kadang menyilaukan mata karena warnanya berganti-ganti seperti bendera-bendera partai. Lihatlah di halaman 129, ada teks putih di dasar merah, teks hitam di atas latar oranye (hal 219), teks putih di latar hijau (hal 148-149), gambar dengan huruf Cina di atas latar biru (hal 309), dan teks di atas gambar (hal 183).

Nina bobo

Saat memaparkan tentang musik keroncong (hal 214-223), Windoro mengaitkan musik ini dengan para budak Portugis yang disebut Mardijkers (hal 224-231). Membaca tentang keroncong di sini harus teliti. Sebab, ada bagian yang dikutip oleh Windoro dari sebuah tesis, dengan berani mengatakan bahwa lagu yang sangat terkenal, ”Nina Bobo” berasal dari “Durmer Durmir Nenina” (hal 217). Apalagi di situ disebut bahwa ’nina’ dari ’nenina’ yang artinya ’gadis kecil’, dan ’bobo’, konon dari bahasa Mandarin (sic!) berarti ’tidur’.

Saya meragukan keterangan tesis di atas. Lalu saya buka kamus. Dalam kamus Spanyol (Cassell’s Compact Spanish English Dictionary) bukan kamus Portugis (Berlitz Portuguese English Dictionary), yang kita temukan ”me niña bobo”, rinciannya adalah, ’me’ merupakan personal pronomina yang berarti ’untukku’; ’niña’ adalah nomina feminin yang berarti ’kecil’; dan ’bobo’ adalah adjektiva untuk arti ’bodoh’. Mungkin ini dimaksudkan sebagai ekspresi sosial dalam bentuk lulabi (nyanyian pengantar tidur) untuk menyatakan sayang dengan kosokbali (lawan kata).

Pada bagian akhir ada cerita tentang musik khas Betawi, ’gambang kromong’ (hal 451). Pada bagian ini, Windoro kurang lengkap menjelaskan tentang ’gambang kromong’ yang kental berpengaruh Cina. Ia seharusnya juga menguraikan tentang titilaras pentatonis yang berciri nada-nada ’huang-mei-tiau’ atau do-re-mi-sol-la.

Windoro menunjukkan bahwa gambang kromong kental berpengaruh Cina karena ada tiga alat gesek dari negeri tirai bambu itu. Ketiga alat gesek itu adalah teh-yan, shu-kong, kong-ah-yan. Selanjutnya, untuk menunjukkan pengaruh Cina, Windoro menyebut tentang tugu lagu yang disebut pho-bin, misalnya ”Pho Bin Khong”, ”Peh Ban Thau”, ”Cu Te Pan”, ”Cai Cu Siu”, dan seterusnya (hal 459). Pada halaman 460, Windoro lalu merekam nyanyian gambang kromong dengan larik-larik bahasa Melayu yang dinyanyikan Masnah (86).

Buat pembaca yang ingin tahu urusan ’kampung tengah’ alias perut, Windoro menulis tentang nasi kebuli (hal 249), minuman khas (hal 253), es kopi susu Tat Kie (hal 314), sayur godok labu siam dan pepaya muda (hal 333), begana dengan 150 gram tepung (hal 341), dan petunjuk tempat di mana nasi kebuli Arab di Jakarta sekarang (hal. 260).

Windoro kemudian bertanya, ”Mau menjadi bidadari? Kenakan busana pengantin Betawimu. Kamu pasti takjub melihat kemewahan bermacam perhiasan terbuat dari emas, perak, berlian, dan intan menghias kepala, leher, dan kedua tanganmu,” (hal 291). Selanjutnya ia memaparkan jawaban atas pertanyaan tersebut dan menghiasi bagian tulisan ini dengan foto colorful tentang perhiasan dan busana pernikahan etnis Betawi. Windoro menutup tulisan ini dengan kalimat, ”Kini rias besar pengantin Betawi kian berkembang menawan di tangan kalangan desainer dan kaum elite Betawi” (hal 295).

Buku Batavia 1740 karya Windoro seolah mengingatkan kita kembali bahwa cerita tentang Jakarta yang dulu bernama Batavia senantiasa menarik perhatian dan senantiasa ada yang baru. Selama ini soal-soal Batavia, menyangkut sejarahnya, tanahnya, lautnya, manusianya, kelas sosial, kekuasaan, dan seterusnya telah ditulis hebat oleh Adolf Heuken, seorang pastor Jesuit. Windoro pun mengacu sumber-sumber itu, tetapi ia menulis dengan cara reportase yang mengalir seperti biasa dilakukan wartawan dalam kedudukannya sebagai pelaku pers yang memang mengerti betul ladangnya.

Yapi Tambayong
, Sastrawan

Sumber: Kompas, Minggu, 21 November 2010

No comments: