-- Marhalim Zaini
RUPANYA, saya masih beruntung, menemukan buku dengan cover yang dominan berwarna hijau tua itu di sebuah toko buku di Kaliurang, setelah sebelumnya cukup lama saya berkeliling ke sejumlah toko buku di Jogyjakarta, sambil “menikmati” hujan debu dari erupsi Merapi. Dan buku itu pun tinggal satu-satunya, terselip di antara barisan buku antropologi yang lain. Saya pikir, benarlah kata dosen saya, Prof Heddy Shri Ahimsa-Putra, bahwa selain folklor memang masih relatif baru sebagai subdisiplin antropologi di Indonesia, juga rupanya masih sangat langka buku-buku tentang folklor dalam bahasa Indonesia. Maka sudah barang tentu, Prof James Danandjaja, penulis buku yang saya cari berjudul Folklor Indonesia (Grafiti, cetakan VII, 2007) ini menjadi tokoh terdepan yang sangat berjasa dalam pengembangan kajian folklor di Indonesia.
Ilustrasi ihwal kelangkaan kajian terhadap folklor di atas, mengisyaratkan pada kita bahwa sangat tidak sebanding dengan kenyataan Indonesia yang hampir di setiap daerahnya memiliki kekayaan folklor berlimpah. Meskipun, seturut Danandjaja, bahan-bahan folklor Indonesia itu sudah sejak 1908 dikumpulkan oleh para sarjana (yang kebanyakan) dari Eropa melalui lembaga Panitia Kesusastraan Rakyat (Commissie voor de Volkslectuur) yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Hasil-hasil karya mereka itu dapat dibaca dalam buku Raymond Kennedy berjudul Bibliography of Indonesia Peoples and Cultures (1962) dan juga buku Danandjaja sendiri, An Annotated Bibliography of Javanes Folklore (1972).
Namun, para sarjana yang melakukan kerja-kerja pengumpulan bahan tersebut, menurut Danandjaja, pada umumnya bukanlah ahli folklor, yang lebih dipengaruhi oleh pendekatan yang dikembangkan para ahli folklor humanistis atau folklor kesusastraan (literary folklorist). Sehingga bahan yang dikumpulkan sebelum Perang Dunia II ini menjadi kurang bernilai (dan kurang holistik) jika diukur dengan metode penelitian folklor modern yang interdispliner; “yang bukan saja mengumpulkan lore-nya saja, tetapi juga segala keterangan mengenai latar belakangnya yang bersifat sosial, kebudayaan maupun psikologi dari kolektif (folk-nya),” (2007: 10).
Agaknya, sebelum beranjak lebih jauh, perlu saya paparkan juga di sini bahwa istilah folklor sendiri masih belum populer dibanding, misalnya “tradisi lisan.” Pun, kedudukan folklor dalam ilmu pengetahuan masih terus saja diperdebatkan. Meskipun semua sepakat secara etimologi bahwa folklor berasal dari kata majemuk dalam bahasa Inggris folklore, yang berasal dari dua suku kata folk berarti kolektif, dan lore berarti tradisi, namun pendefinisian secara lebih luas terdapat beberapa versi. Danandjaja sendiri, nampaknya lebih memilih definisi yang dipakai oleh Jan Harold Brunvand (1968: 5), yang kemudian ia perluas menjadi berbunyi, bahwa folklor adalah “sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic dievice)” (2007; 2).
Saya kira, Danandjaja sengaja memperluas cakupan pengertian folklor ini untuk memperlihatkan perbedaannya dengan definisi folklor yang dipakai oleh para sarjana antropologi Belanda dari zaman sebelum Perang Dunia II, yang membatasi folklor hanya sebagai kebudayaan petani desa Eropa, sedangkan di luarnya adalah primitif. Folklor Indonesia bagi Danandjaja harus berbicara lebih luas, tidak hanya petani desa, apalagi terbatas pada petani Eropa. Maka, obyek penelitiannya tentu akan menjadi semakin luas yang tidak hanya bicara tentang petani, tapi juga “profesi-profesi” lain seperti nelayan, pedagang, guru, maling, dan lain-lain. Dari sisi etnis, tidak hanya meliputi orang Jawa, tapi juga Sunda, Minang, Melayu, Batak, dan sebagainya. Sampai pada sisi agama, tidak hanya Islam dan agama-agama besar, tapi juga termasuk semua kepercayaan yang ada. Belum lagi strata sosial, tidak hanya rakyat jelata, tapi juga para bangsawan. Tidak hanya mereka yang berpendidikan rendah, tapi juga semua jenjang pendidikan yang ada.
Folklor dan Tradisi Lisan
Istilah folklor, bagi Danandjaja, lebih luas cakupannya dari istilah tradisi lisan (oral tradition). Jika tradisi lisan hanya mencakup cerita rakyat, teka-teki, peribahasa, dan nyanyian rakyat, maka folklor mencakup lebih dari itu, termasuk di dalamnya tarian rakyat dan arsitektur rakyat. Maka Danandjaja tidak sepakat kalau tardisi lisan menggantikan (atau sama dengan) folklor. Alasan lain yang memperkuat itu, bahwa folklor sudah jadi istilah internasional, selain bahwa dua kata yang membentuk istilah folklor membuat ia tak terbatas hanya pada tradisi (lore-nya) saja tapi juga manusianya (folk). Saya lebih dapat memahami pandangan Danandjaja ini ketika membaca tulisannya berjudul Pendekatan Folklor dalam Penelitian Bahan-bahan Tradisi Lisan (2007: 53). Di sana, dia menunjukkan bagaimana bahan-bahan tradisi lisan dari Riau seperti Nyanyi Panjang Bujang Tan Domang (disusun oleh Tenas Effendi) dan beberapa yang lain, dapat ditinjau dari pendekatan folklor. Artinya, ini mempertegas bahwa tradisi lisan adalah bagian dari (untuk juga mengatakan; lebih sempit dari) folklor.
Penjelasan Danandjaja tentang asal-usul hadirnya istilah folklor yang pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli kebudayaan William John Thoms, yang “hampir” saja (karena kemudian EB Taylor memperkenalkan istilah culture) dipakai untuk istilah kebudayaan pada umumnya, saya kira juga hendak mempertegas keluasan dari folklor. Namun, tampaknya Danandjaja juga belum puas, atas “tergesernya” istilah folklore oleh culture, karena folklore 19 tahun lebih tua usianya dari pada culture. Ditambah lagi, istilah folklor masih juga diperdebatkan, sementara culture, tidak. Danandjaja kemudian melihat perdebatan ini karena para ahli folklor sendiri terbagi dalam beberapa kategori pemahaman: (1) folklor humanistis, yang berlatar belakang ilmu bahasa dan kesusastraan, (2) folklor antropologis, yang berlatar belakang ilmu antropologi, dan (3) folklor modern, yang berlatar belakang ilmu interdisipliner.
Untuk lebih memperjelas perbedaan folklor dari kebudayaan lain, Danandjaja menunjukkan sejumlah ciri-cirinya (yang sebagian juga merujuk pada Brunvand), di antaranya: (1) penyebaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan, (2) bersifat tradisional, (3) tetap eksis dalam versi-versi bahkan varian-varian, (4) bersifat anonim, (5) bentuknya berumus atau berpola, (6) memiliki kegunaan (function), (7) bersifat pralogis, (8) menjadi milik bersama, (9) pada umumnya bersifat polos dan lugu. Menurut saya, jika kita sepakat bahwa folklor lebih luas dari tradisi lisan, maka ciri-ciri ini tampak lebih merujuk pada ciri-ciri yang dimiliki oleh tradisi lisan, sehingga folklor justru bisa jadi menyempit. Padahal Danandjaja sendiri telah memilah folklor Indonesia ke dalam tiga bentuk: folklor lisan, folklor sebagian lisan, dan folklor bukan lisan. Meskipun bentuk-bentuk ini masih bisa diperdebatkan (terutama pemahaman dan pembatasan tentang istilah “lisan” itu sendiri), saya kira Danandjaja di sini hendak lebih kembali menegaskan perbedaan antara folklor dan tradisi lisan.
Nah, karena saya percaya bahwa cakupan folklor demikian luas, maka dalam konteks tulisan saya ini, saya hendak lebih fokus pada tradisi lisan, yang setidaknya bagi saya, bentuk atau jenisnya telah demikian jelas dapat diurai. Terlebih kemudian, sejumlah masalah yang akan saya bahas berikutnya lebih menyangkut pada ihwal bagaimana nasib “kelisanan” dalam tradisi lisan jika kemudian bertransformasi (baca: dialihkan) menjadi teks (tulis). Sebuah masalah yang langsung mengingatkan pada sebuah diskusi kecil saya dengan Al azhar (ketua Asosiasi Tradisi Lisan Riau) beberapa waktu lalu.
Merevitalisasi atau “Membunuh”
Dalam konteks ini, Danandjaja sendiri sebetulnya telah menyinggungnya, tapi sayang, dia tidak membahasnya lebih mendalam. Ia hanya memberi penjelasan begini; “folklor tidak berhenti menjadi folklor apabila ia telah diterbitkan dalam bentuk cetakan atau rekaman.” Danandjaja menambahkan, “suatu folklor akan tetap memiliki identitas folklornya selama kita mengetahui bahwa ia berasal dari peredaran lisan.” Penjelasan ini bagi saya masih bersifat parsial, belum komprehensif untuk menjawab berbagai kasus yang muncul. Sehingga pertanyaan berikutnya yang harus diajukan adalah masihkah ia (tradisi lisan yang sudah dicetak atau direkam itu) dapat disebut lagi sebagai “lisan” (yang dimaknai sebagai oral) ketika ia telah “dituliskan” (menjadi teks bacaan)? Artinya, arah pertanyaannya adalah pada bagaimanakah nasib “kelisanan” dalam tradisi lisan ketika ia telah masuk ke dalam tulisan? Lalu, bagaimana pula dengan berbagai upaya yang mengatasnamakan revitalisasi yang cukup banyak dilakukan oleh pemerintah kita (juga lembaga non-pemerintah) yang selama ini lebih cenderung menganggap “selesai” ketika telah mendokumentasikannya?
Menyoal ihwal penyelamatan “kelisanan” dalam tradisi lisan, maka segera kita akan masuk dalam kerumitan. Sebab, rasa-rasanya tak akan ada yang mampu melakukan hal itu, jika konteksnya adalah “mempertahankan” seorang penutur (tradisi lisan) untuk tetap hidup abadi menampilkan kelisanannya. Sebab juga, seorang penutur macam Yong Dolah misalnya, begitu dia tiada, tak akan bisa digantikan “kelisanan”-nya oleh generasi yang lain. Saya kira, upaya “penyelamatan” yang paling mungkin dengan menggunakan alat multimedia misalnya, untuk sementara memang terlihat dapat menyelamatkan, meski kemudian tetap tak mampu memenuhi berbagai sisi kelisanan yang selalu hadir berbeda di setiap penampilannya.
Namun, di sisi lain, saya kira kita harus mulai melihatnya dari proses kerja penelitian terhadap tradisi lisan itu sendiri, dengan sejenak “melupakan” kelisanan si penuturnya. Maka dalam konteks ini, saya merasa sepakat dengan Ninuk Kleden-Probonegoro yang menulis sebuah artikel berjudul “Pengalihan Wacana: Lisan ke Tulisan dan Teks” dalam buku Metodologi Kajian Tradisi Lisan (1998). Ninuk sendiri memang menganggap bahwa peralihan dari lisan ke tulisan akan menimbulkan masalah. Setidaknya, begitu cerita lisan dialihkan dalam bentuk teks (tulisan/buku), maka peralihan lain pun terjadi. Kalau yang dulunya cerita disampaikan dengan tuturan, kini dapat langsung dibaca dalam buku. Tuntutannya kemudian, menurut Ninuk, adalah proses pengalihan ini harus mencakup semua unsur, yang tidak hanya mengalihkan suara vocal (bunyi-bunyian) beserta iramanya saja, ekspresi mimik, gerak tubuh si penutur, tapi juga makna harus turut dialihkan. Nah, tentu tidak demikian halnya dengan makna cerita dari hasil membaca (buku). Aksentuasi si penulis tentu tidak bisa lagi dengan mimiknya. Di sana pembaca lebih bebas menginterpretasikan makna dari yang tertulis saja.
Soal pengalihan “makna” dari lisan ke tulisan inilah yang dibahas Ninuk, dengan memakai konsep wacana (discourse) yang dikembangkan oleh Paul Ricoeur yang kemudian dikaitkan dengan toeri bahasa. Ricoeur mendefinisikan teks adalah wacana (yang berarti lisan) yang difiksasikan ke dalam bentuk tulisan. Maka bukankah sesungguhnya secara implisit di sana ditemukan hubungan antara tulisan dan teks. Dan bahasa, menurut Ninuk, mempunyai kesanggupan untuk menyajikan berbagai bentuk model bagi kajian penelitian sosial-budaya. Sebagaimana juga kita tahu bahwa ilmu linguistik juga dipakai sebagai dasar pengembangan penelitian etnosains dalam antropologi. Etnosains, yang juga disebut sebagai cognitive anthropology ini, merupakan etnografi baru yang dikembangkan oleh James P Spradley yang lebih memfokuskan upaya menemukan bagaimana masyarakat mengorganisasikan kebudayaan mereka dalam pikiran (mind) mereka. Dan melalui bahasa, kita dapat masuk ke dalam “pikiran” tersebut.
Di sini, saya hendak mengatakan bahwa, tradisi lisan adalah juga bahasa, yang tentu juga adalah wacana. Ada berbagai pikiran terkandung dalam bahasa (tradisi lisan). Begitu (tradisi lisan) masuk ke dalam tulisan, yang juga adalah bahasa, maka ia sesungguhnya hanya bertransformasi.
Jika istilah transformasi di sini merujuk pada teori strukturalisme Levi-Strauss, maka ia bukanlah bermakna perubahan. Sebab menurut Heddy Shri Ahimsa-Putra, perubahan adalah terjemahan dari change (2003; 63). Artinya, perubahan dalam transformasi dimaknai sebagai alih rupa, yang tidak memandang penting proses dari perubahan itu sendiri. Jadi, peralihan lisan ke tulisan, adalah (mestinya) peralihan tempat dan waktu tertentu, tanpa merubah struktur dalam. Meskipun kemudian, tetap akan menjadi pembahasan yang lebih luas lagi, jika kita kaitkan dengan apa yang kerap kita dengar dalam ilmu linguistik yang dikembangkan Ferdinand de Saussure, di antaranya ada langue (bahasa) dan parole (ujaran). Artinya, di sana timbul masalah baru ihwal bagaimana bahasa yang diucapkan akan berbeda dengan bahasa yang dituliskan (saya kira perlu ada uraian yang lain untuk membahasnya).
Maka dengan demikian, jika kita kembali pada pertanyaan di atas, upaya “memelihara kelisanan” dalam tradisi lisan dalam konteks ini tentu tidak berhenti pada kerja dokumentatif, akan tetapi juga memperluasnya melalui kajian-kajian. Meskipun kita sadar bahwa “memelihara” di sini tetap mengandung distorsi-distorsi. Artinya, sifat dari kebudayaan yang dinamis dan terus akan mengalami perubahan-perubahan, turut menyumbangkan pengaruh bagi bagaimana cara kita menyikapi upaya “pemeliharaan” ini. Peran sastrawan, sebagai ‘pekerja bahasa’ di sini juga menjadi signifikan dalam konteks memberi perluasan-perluasan lain terhadap tradisi lisan. Perluasan itu tentu berupa pengembangan bahasa sekaligus tafsir. Kreativitas bahasa yang dimiliki sastrawan adalah potensi lain untuk kemudian menunjukkan kekayaan-kekayaan yang tersembunyi dalam tradisi lisan. Dan akhirnya, saya percaya bahwa kadang kita memang perlu untuk “membunuh” tradisi lisan dengan berbagai cara, untuk kemudian “menghidupkannya” kembali dalam “kelisanan” yang lain, yang baru. Ya, apa boleh buat…
Marhalim Zaini, sastrawan, mahasiswa pascasarjana Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Jogjakarta.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 28 November 2010
No comments:
Post a Comment