Saturday, November 27, 2010

Resensi: Dunia dalam Gurita Media

-- Junaidi Abdul Munif

• Judul: Budaya Media: Cultural Studies, Identitas, dan Politik: Antara Modern dan Postmodern

• Penulis: Douglas Kellner

• Penerjemah: Galih Bondan Rambatan

• Penerbit: Jalasutra, Yogyakarta

• Cetakan: I, Juli 2010

• Tebal: xii + 484 halaman

• ISBN: 978-602-8252-38-6

MEDIA menjadi arena pertarungan berbagai kepentingan untuk mengontrol masyarakat. Siapa yang mampu menguasai media, dialah pemenangnya.

Membayangkan kebudayaan sebagai sesuatu kesatuan yang utuh, kukuh, dan stabil adalah mimpi di siang bolong. Pada dunia yang didera globalisasi, modernisme, dan postmodernisme, media mengambil peran signifikan untuk memorakporandakan struktur kebudayaan yang telah dibangun dalam tradisionalitas.

Perkembangan teknologi dan globalisasi adalah dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Globalisasi mengandaikan sebuah tatanan baru, di mana media menjadi agen kebudayaan untuk menghancurkan identitas tradisional, sekaligus membangun kembali identitas baru. Modernitas menjadikan identitas sebagai masalah personal sekaligus teoretis. Individu menjadi ragu dengan identitasnya dan karenanya individu dapat berubah identitasnya kapan saja dia mau.

Dengan mengambil contoh kebudayaan populer Amerika, Douglas Kellner membidik bagaimana Amerika—lewat media—berusaha melakukan transformasi (dan hegemoni) kebudayaan ke seluruh dunia. Lewat media, film, musik, fashion, dan lain sebagainya, Amerika menata diri untuk menjadi panglima dalam garda depan pembentukan masyarakat global.

Mazhab Frankfurt

Kellner melacak bagaimana kajian mengenai budaya massa telah dimulai oleh Mazhab Frankfurt sejak tahun 1930-an. Aliran filsafat yang disebut pula teori kritis masyarakat ini menyebut istilah ”industri budaya” untuk menegaskan fenomena sosial di mana terjadi komodifikasi, standardisasi, dan massifikasi budaya yang bertujuan menyatukan individu dalam ideologi ekonomi kapitalis.

Kellner mengkritik dikotomi budaya tinggi (high culture) dan budaya rendah (low culture) yang dilakukan oleh Mahzab Frankfurt seperti pola ”klasifikasi sosial masyarakat” ala Karl Marx yang membagi masyarakat dalam kelas borjuis dan proletar. Bagi Mazhab Frankfurt, semua budaya massa adalah rendah dan ternodai hingga berujung pada penipuan massal konsumen pasif (hlm 39).

Berbeda dengan Mazhab Frankfurt yang paranoid dengan budaya massa, cultural studies Inggris menempatkan budaya dalam teori produksi dan reproduksi sosial, memperjelas beragam cara bentuk-bentuk budaya berperan, baik untuk memajukan penguasaan sosial maupun untuk membuat masyarakat mampu menolak dan berjuang melawan penguasaan tersebut (hlm 41).

Cultural studies mengambil peran penting untuk membaca media dalam konteks perubahan struktur masyarakat. Terjadi simultanitas (keserentakan) di mana berbagai kepentingan tumpang tindih. Media massa dan budaya populer dengan segala variannya adalah corong untuk membentuk opini publik Amerika.

Era perang dingin ditandai babak baru dalam strategi membangun opini publik. Amerika mencari celah untuk membentuk oposisi biner di dunia ini, yakni demokrasi dan komunisme, kapitalisme atau sosialisme. Pasca-kekalahan Amerika di perang Vietnam, Amerika muncul dengan film First Blood (Rambo I: 1982) yang dibintangi Sylvester Stallone. Lewat cara inilah Amerika meluncurkan stigmatisasi komunisme yang disematkan kepada dua negara, yakni Vietnam dan Uni Soviet. Namun, film Rambo III yang mengambil konteks Afganistan sebagai medan perang melawan Uni Soviet justru menuai kritik karena saat itu AS-Uni Soviet sedang melakukan gencatan senjata perang dingin, terlebih setelah Uni Soviet tercerai berai.

Lewat media pula Amerika melakukan pembohongan publik mengenai Perang Teluk pada 1990. Kellner menyodorkan fakta-fakta bahwa sebelum perang Teluk dilancarkan, AS lewat Hollywood, telah melakukan propaganda untuk mencitrakan orang Arab sebagai teroris dan jahat. Hal ini untuk mendapatkan legitimasi publik internasional bahwa orang Arab memang wajib diperangi. Pembangunan opini publik ini diikuti dengan manipulasi peristiwa yang terjadi selama perang agar dunia tetap mendukung.

Identitas dan Kapitalisme

Di AS, masalah HAM antara warga kulit putih dan hitam menciptakan ketegangan tersendiri. Sebagai negara yang mengaku demokratis dan paling menjunjung tinggi HAM, AS rupanya belum ramah dengan warga Afro-Amerika. Melalui musik rap yang berisi syair rebel (pemberontakan), warga kulit hitam mencari identitasnya agar sejajar dengan warga kulit putih.

Sementara itu, dalam kapitalisme, dengan memakai Madonna, AS tampil sebagai avant garde yang menyebarkan kapitalisme melalui tubuh perempuan. Madonna menjadi penegas identitas perempuan melalui fashion dalam dunia kontemporer. Fashion menjadi entitas yang penting bagi pembangunan identitas agar pemakainya dikenal dan diterima. Dengan fashion dan seksualitas, ”Kamu dapat berbuat, berkata, dan menjadi apa yang kamu inginkan,” begitu pesan Madonna.

Kenapa buku ini diberi judul budaya media? Kellner menganggap bahwa budaya kita adalah budaya media karena media telah menjajah dunia. Media menjadi kendaraan utama untuk melakukan distribusi penyebarluasan budaya.

Media juga menggantikan modus budaya sebelumnya, yakni buku dan lisan. Kita tinggal di dunia di mana media mendominasi waktu luang dan budaya. Media merupakan bentuk dan ranah budaya masyarakat kontemporer (hlm 47).

Dunia yang berada dalam gurita media membawa konsekuensi bahwa perlu ada kritisisme saat menghadapi fenomena budaya massa. Namun, mengambil peran budaya massa sebagai counter culture (budaya tanding) juga penting. Kita mesti curiga bahwa film-film Hollywood, selain memang menghibur, menyimpan agenda politik-kapitalis.

Kellner menutup bukunya dengan sebuah kesimpulan yang menarik, tentang sinergitas antara teoretis budaya Mazhab Frankfurt yang kritis, serta cultural studies yang lebih lembut, dan menerima budaya sebagai sebuah nilai positif-negatif. Dia berharap agar kedua pendekatan ini akan membawa masyarakat dan peradabannya menuju tatanan yang lebih baik, egaliter, demokratis, dan membawa keadilan.

Junaidi Abdul Munif, Peneliti el-Wahid Center, Universitas Wahid Hasyim, Semarang

Sumber: Kompas, Sabtu, 27 November 2010

No comments: