-- Bre Redana
BERTEMU teman lama Joss Wibisono yang kini menjadi penyiar radio Nederland di Belanda, yang ia kenang cerita pembantu di Salatiga tempat kami sama-sama kuliah dulu. Pembantu perempuan itu sudah berumur, janda, tidak berani pulang ke rumahnya sendiri. Usut punya usut, ternyata dia ketakutan. Ada petugas KB hendak memaksanya untuk dipasangi spiral.
Persoalan waktu itu membesar. Sejumlah mahasiswa disemangati dosen seperti Dr Arief Budiman mendatangi beberapa instansi resmi untuk protes. Tubuh adalah hak privat kita. Negara tak boleh campur tangan. Kami langganan berbenturan dengan rezim Orba kala itu.
Masih kami ingat pula adanya pelatihan di kota kecil ini untuk para perempuan yang berminat menjalani profesi sebagai pembantu rumah tangga. Sejumlah dosen dan aktivis mengajari para perempuan dari desa-desa memasak, menggunakan mesin cuci, dan lain-lain. Diberikan pula wawasan mengenai cara hidup di negara lain.
Dari dulu hingga kini niscaya banyak orang tahu, betapa banyak saudara kita atau bahkan kita sendiri tergagap-gagap menghadapi lingkungan modern. Tidak usah membayangkan seorang pembantu dari Pacitan yang harus hidup dengan sebuah rumah tangga di apartemen di Singapura. Majikan dari sebuah apartemen di Kuningan, Jakarta, saja bisa pusing tujuh keliling menghadapi pembantu yang baru datang dari Indramayu. Tidak bisa mengoperasikan mesin cuci, tidak bisa menyetrika. Gaun majikan bermerek Armani mengerut karena dimasukkan mesin cuci, digilas bersama tumpukan jins.
Tanya kepada siapa saja di Jakarta tentang pembantu, pengasuh anak-anak, ataupun sopir. Yang terakhir itu bisa lebih aneh-aneh ceritanya. Dipanggil-panggil lewat ”car call” di mal sopir tak kunjung muncul. Padahal, majikan sudah ada janji mendesak. Terpaksa majikan naik taksi karena si sopir tertidur di tempat parkir. Ada sopir cerdas, muda, ujung-ujungnya menimbulkan masalah di rumah. Dia menyatroni cewek-cewek sekitar sampai ada yang hamil.
Cerita bisa ke mana-mana kalau Anda menanyai orang satu per satu. Tak ada orang sempurna. Kita tak bisa hanya judek, jutek, mabuk, menghadapi para pembantu atau mereka yang bekerja untuk kita. Dibutuhkan kesabaran untuk melatih mereka dari proses gegar budaya. Seorang teman berkata arif: ya sudahlah. Kita punya sopir yang bisa mengantar kita ke mana-mana dengan selamat saja sudah bagus.
Lalu bagaimana dengan pembantu-pembantu rumah tangga dari desa-desa, yang lewat calo-calo tenaga kerja dikirim ke sejumlah negara? Tanpa pelatihan, tanpa orientasi? Tanpa penanganan programatik oleh negara? Yang keberadaannya di bandara malah membuat risih para anggota DPR yang terhormat, yang berjas bagus dan si perempuan berambut licin membuat terpeleset lalat yang menclok?
Bagaimana dari kondisi hidup di desa di dekat kandang sapi, mereka harus hidup di metropolitan dunia yang asing? Di mana di sejumlah tempat ada yang melucuti semua milik mereka agar mereka tak kabur?
Banyak orang mengelus dada mendengar pemecahan: kasih mereka semua handphone untuk melapor. Alangkah repot call center yang harus menangani jutaan TKI di sejumlah negara ini. Pak, bagaimana naik lift? Pak, bagaimana menghidupkan mesin cuci? Pak, saya hendak diperkosa....
Sumber: Kompas, Minggu, 28 November 2010
No comments:
Post a Comment