-- Abdul Latif
TIGA puluh menit sebelum pentas, pelakon, sutradara, supervisi, pendampingan, dan kru ”Rembulan di Atas Kremil” berkumpul di belakang panggung, Gedung Utama, Balai Pemuda, Jalan Gubernur Suryo 15, Surabaya.
Mereka duduk lesehan melingkar, mendengarkan arahan sang sutradara sekaligus penulis naskah pentas itu, Zainuri. Para pemain terlihat serius menyimak dan agak tegang. Lalu, terdengar pembangkitan semangat oleh sang sutradara untuk para pelakon yang hendak pentas dalam perhelatan Festival Seni Surabaya itu. ”Dari sini kita mulai dan selama dua bulan kita berproses dan berlatih bersama, hal itu tidak mudah dilakukan karena kita berasal dari latar belakang dan kehidupan yang berbeda,” kata Zainuri.
Supervisi pentas lakon ini, Saiful Hadjar, menambahkan, mengungkapkan pengalaman sendiri butuh keberanian. ”Untuk memulihkan harga diri,” katanya kepada para pelakon dan kru pentas.
Tiga kasur
Tiga kasur tergantung menjadi latar panggung. Di depan hanya tampak dua perempuan—satunya perempuan sudah tua sedang menjahit kasurnya yang sudah usang dan robek-robek, satunya lagi perempuan sedang duduk merenungi kehidupannya dengan raut muka sedih.
”Namaku Dara, darah-berdarah, pacarku orang pertama yang menghancurkan hidupku,” kata Dara menyibak kesenyapan panggung.
Serasa menyentak, itulah yang tebersit manakala Dara menjerit darah-berdarah yang menyembul dari mulut PSK. Jeritannya menyedot perhatian penonton.
Lakon ”Rembulan di Atas Kremil” yang ditulis Zainuri diangkat berdasarkan testimoni, seolah menemukan ruang pembebasan tatkala tiga pekerja seks komersial (PSK), Dara, Erick, dan Krishna, berada dalam kesepian dan kesunyian manakala tamu tidak kunjung tiba menyapa mereka.
”Kalau sepi seperti ini, aku teringat masa laluku. Seandainya aku bisa sekolah, pasti sudah lulus SMA,” kata Dara.
Sebuah potret lelakon hidup yang terkadang menyenangkan, terkadang pula amat memilukan.
PSK juga manusia
PSK juga manusia. Mereka juga butuh ruang untuk membebaskan diri dari segala persoalan yang mengimpitnya. Kecerdikan sang sutradara meramu ”Rembulan di Atas Kremil” tidak sekadar mengharu biru pada persoalan-persoalan yang mengimpit luka masa lalu hingga menyeret anak manusia terjerembap pada ”profesi” yang dianggap hina.
Pasalnya, dari balik rajutan kisah ini, terdengar celotehan sang perempuan tua (Bu Sri), yang sedang memperbaiki kasurnya yang rusak itu. Ia selalu nyeletuk saat tiga PSK kesepian menunggu tamu yang tak kunjung tiba.
Bu Sri yang sudah lima tahun bergabung dalam teater Berdaya Bangunsari (Kremil) itu berceloteh mengisahkan dirinya bisa sampai di atas panggung lakon ini.
”Aku mrene (kemari) diajak Pak Nuri, katene dikenalno (dikenalkan) seniman-seniman. Tak tunggu-tunggu kok yo gak muncul-muncul. Lha, kok Pak Saiful, iku bludas-bludus nang (keluar-masuk di) Bangunsari,” kata Bu Sri.
Suasana cair dan ger-geran pun bertambah gayeng tatkala Krishna menyatakan, situasi dan kondisi Kremil sepi itu gara-gara mi instan—dijadikan bahan plesetan guyon maton. ”Onok mi instan rasa ayam, rasa kari, soto, onok rasa Luna Maya, Julia Perez, Cut Tari, Ayu Ashari...,” katanya. Lagi-lagi penonton pun dibuat tertawa dan terpingkal-pingkal.
Kepalsuan, kekerasan, hingga HIV yang menyertai lelakon para PSK mengisyaratkan betapa hidup dan kehidupan mereka amat dekat dengan derita. Dari balik penderitaan PSK, Bu Sri teringat akan kebahagiaan yang pernah dirasakannya saat bersama seseorang yang membuatnya merasa senang dan hidup kembali. ”Dalam hidup ini aku pernah bahagia…,” katanya.
Zainuri mengatakan, teater sebaiknya tidak hanya diselenggarakan atas nama estetika panggung semata-mata. ”Estetika juga bermanfaat guna menumbuhkan etika dalam kehidupan sosial,” kata dia. Pentas ini salah satunya ditujukan memberi rasa percaya diri kepada para PSK. ”Syukur-syukur kalau jadi terapi buat mereka,” kata sutradara muda itu.
Yayuk Wahyu Laili, pendamping dari Hotline Surabaya, menyatakan, teater salah satu dari banyak pendekatan penyadaran karena bisa menumbuhkan kepercayaan diri. ”Paling tidak pengalaman spiritual,” katanya sambil menambahkan, banyak anak di bawah umur korban eksploitasi seksual yang sepatutnya mendapat perhatian dan pendampingan.
Sri Utami alias Bu Sri, salah seorang mantan PSK, secara terpisah mengatakan, banyak yang dapat dipetik dari teater, salah satunya bertambahnya pengalaman dalam melakoni kehidupan. ”Rasanya senang bisa tukar pendapat, tidak punya marah, dan harus sabar,” katanya.
Lakon hasil kerja bareng Bengkel Muda Surabaya dan Teater Berdaya, Bangunsari (Kremil), Surabaya, ini sekurangnya membersitkan harapan, PSK butuh ruang aktualisasi dan kebebasan untuk menumbuhkan rasa percaya diri sebagai anak manusia yang bermartabat!
Sumber: Kompas, Minggu, 14 November 2010
No comments:
Post a Comment