Sunday, November 28, 2010

Pentas: Spiritualisme Ayu Laksmi

-- Ilham Khoiri & Putu Fajar Arcana

Om Mani Padme Hum/
Om Mani Padme Hum
Om Mani Padme Hum/
Om Mani Padme Hum
Om Mani Padme Hum/
Om Mani Padme Hum
Om Mani Padme Hum/
Om Mani Padme Hum…

Ayu Laksmi bersama grup musiknya tampil di Bentara Budaya Jakarta, Kamis (25/11), dalam konser bertajuk "Svara Semesta". Penampilan ini sekaligus merupakan peluncuran album perdananya yang juga bernama "Svara Semesta".(KOMPAS/ARBAIN RAMBEY)

Mantra Avalokitesvara (Chenrezig) dalam tradisi Budhisme Tibet itu dilantunkan berulang-ulang oleh Ayu Laksmi (43), pemusik dan penyanyi asal Singaraja, Bali. Nadanya lembut, mirip gumaman. Penonton kemudian diajak mendendangkannya bersama-sama.

Bagai zikir, petikan mantra Buddha itu mengalun berulang-ulang. Iringan tabla dan suling yang mendayu—agak serupa musik tradisional India—mengentalkan kesan magis, mengingatkan pada suasana ritual dalam wihara. Ayu juga menyanyikan lirik berbahasa Inggris, tetapi kemudian kembali mengajak penonton menyuarakan ”Om Mani Padme Hum”.

Sutradara Garin Nugroho yang hadir malam itu juga diajak menyanyi. Gema mantra itu menggoda penonton untuk masuk dalam suasana kontemplatif. Di sela menyanyi, Ayu menjelaskan, ”Om Mani Padme Hum” kurang lebih berarti keutuhan, welas asih, kebijaksanaan, dan penyatuan antara welas asih dan kebijaksanaan.

Lagu berjudul ”Here, Now, and Forever—Om Mani Padme Hum” itu merupakan bagian dari pertunjukan musik dan peluncuran album Ayu Laksmi, Svara Semesta (Voice of The Universe), di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Kamis (25/11) malam. Dalam pentas berdurasi sekitar dua jam itu, ada sembilan lagu yang dikumandangkan Ayu. Iringan musik didukung, antara lain, oleh gitaris Wayan Balawan, Ketut Riwin, pemetik sitar asal Shanghai, China, Wang Ying, dan pemain tabla asal India, Viki Vines Rajantran.

Gambaran tadi mungkin bisa mencerminkan semangat musik Ayu. Lirik dan komposisi musik dasar garapan Ayu dalam album itu berusaha menyajikan kembali khazanah tradisi dengan landasan spirit kontemporer. Kidung sakral, sebagian berasal dari ritual Hindu di Bali, dilantunkan dalam kemasan yang lebih bebas, modis. Musiknya pun leluasa mempertemukan instrumen lokal dari Nusantara dan asing.

Dalam lagu ”Wirama Totaka,” misalnya, Ayu memasukkan petikan Kakawin Arjuna Wiwaha, karya Empu Kanwa dari abad ke-10 Masehi. Salah satu kutipan itu berbunyi: Sasiwimba haneng ghatta mesi banyu/ndan asing suci nirmala mesi wulan/iwa mangkana rakwa kiteng kadadin/ring angambeki yoga kiteng sakala. Lirik ini tak dibaca dalam irama mantra yang monoton, melainkan dilantunkan dalam adonan agak ngepop dan dibaurkan dengan lirik berbahasa Inggris.

Selain bahasa Sansekerta dan Inggris, Ayu juga menggunakan bahasa Kawi, bahasa Bali, dan bahasa Indonesia. Keluwesan juga terasa pada olah vokal Ayu yang kadang melengking, mengalun merdu, atau serak. Semua itu mencerminkan keinginannya membebaskan diri dari batas-batas bahasa, agama, dan negara, sembari memperkuat universalitas bahasa musik.

Pada era 1990-an nama Ayu Laksmi dikenal sebagai penyanyi rock. Bahkan, pada periode itu, ia malang-melintang dalam dunia hiburan malam di kawasan Kuta, Bali. Ada yang berubah pada dirinya, memang. ”Ini dipilihkan Tuhan dan kemudian saya jalani dengan nyaman. Album ini adalah persembahan untuk Tuhan, manusia, dan semesta. Dengan ketulusan hati, seni akan terdengar, terlihat, dan terasa lebih indah,” katanya.

Universal

Sastrawan dan pengamat budaya asal Bali, Cok Sawitri, menilai, jenis musik yang diusung Ayu Laksmi menemukan relevansinya dalam kehidupan sekarang. Bagaimanapun, kenyataannya agama-agama telah memisahkan manusia dalam kelompok-kelompok berbeda. Dunia saat ini juga dipenuhi kekerasan.

Lewat bahasa seni yang bersifat universal, seperti seni musik, manusia bisa menyatu kembali. ”Seni membebaskan kita untuk menemukan diri sebagai individu yang independen,” katanya.

Bagi Bens Leo, pengamat musik yang menjadi moderator dalam jumpa pers sebelum pentas, jenis musik yang ditekuni Ayu termasuk world music—dalam arti sajian musik yang melewati batas-batas negara, bahasa, dan budaya.

”Musik Ayu masuk dalam jajaran musik dunia. Kekuatannya terletak pada pentas di panggung yang menyajikan lagu selama tujuh menit lebih, tetapi tetap menarik,” katanya.

Kemunculan Ayu Laksmi dengan kidung kontemporer memang cukup menyegarkan, termasuk dilihat dari perjalanannya sendiri. Bayangkan saja, debut penyanyi ini berawal dari musik rock, dengan album perdana, Istana yang Hilang (tahun 1991). Ketika album itu kurang sukses dalam pasar industri musik nasional, Ayu yang sebelumnya tinggal di Jakarta pulang ke Bali. ”Mungkin garis nasib saya bukan di industri musik hiburan,” katanya.

Setelah menjajaki berbagai hal, Ayu kembali menemukan dirinya kembali lewat budaya Bali. Kepercayaan itu kian kukuh ketika dia menikah dengan Steven Van Lierde, lelaki asal Belgia, tahun 2006. Dia kemudian menekuni musik yang berangkat dari khazanah budaya lokal, tetapi dikemas dalam sajian universal.

Sumber: Kompas, Minggu, 28 November 2010

No comments: