LAHIR di Harianboho, Tapanuli 2 Oktober 1942, Sitor mulai terkenal pada 1953, ketika menulis sajak, drama, cerpen, esai dan lain-lain. Sajak pertamanya ‘’Surat Kertas Hijau’’, 1954. Sajaknya kedua ‘’Dalam Sajak’’, 1955. Ada juga menerbitkan drama Jalan Mutiara, 1945 dan kumpulan cerpen Pertempuran dan Salju di Paris 1956. Sajak yang dibuatnya adalah ’’Lagu Gadis Italia’’.
Jelang akhir tahun 50-an, ia aktif dalam dunia politik praktis. 1959 ia jadi ketua pertama Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN). Namun kelincahan dan kemerduan yang tadi ada dalam sajaknya diganti dalam kumpulan bahasa bombastis dan slogan murah. Sajaknya termuat dalam kumpulan Zaman Baru, 1962 dan 1966 ia ditahan dan disangka terlibat Gestapu PKI.
Sebagai penyair, Sitor sering digolongkan sebagai penyair atau pujangga angkatan 45 bersama Chairil Anwar dan Sanusi Pane. Menurut Sitor, penyair angkatan 45 diilhami oleh semangat memberontak demi kemerdekaan. Memasuki dekade 1950-an, Sitor banyak menciptakan karya puisi yang fenomenal, seperti yang terangkum dalam kumpulan puisi Surat Kertas Hijau (1954) dan Dalam Sajak (1955).
Banyak pihak menganggap karya-karyanya banyak yang bernuansa natural dan diwarnai gaya sastra tradisional semacam pantun. Mengomentari ini, Sitor berucap: ‘’Saya menggali tradisi lama karena saya terbentuk oleh tradisi itu. Sejak SMA yang terngiang di kepala saya adalah pantun-pantun...’’.
Karya-karya sastra Sitor lainnya yang juga diterbitkan di 1950-an, antara lain Wajah Tak Bernama (1955), drama Jalan Mutiara (1954) dan Pertempuran dan Salju di Paris (1956). Selain bergelut dalam dunia sastra, Sitor juga meniti karir sebagai wartawan. Ia pernah jadi pewarta berita di berbagai media, seperti Harian Suara Nasional, Waspada dan Warta Dunia.
Keterlibatannya dalam dunia politik diawali ketika Sitor bergabung dalam Partai Nasional Indonesia (PNI) dan kemudian diberi amanat untuk jadi ketua LKN di akhir dekade 1950-an.
LKN merupakan organisasi kebudayaan yang berafiliasi pada PNI. Sejak saat itu Sitor terlibat total dalam kancah perpolitikan nasional. Di masa demokrasi terpimpin, ia bersama LKN menjadi pendukung setia kebijakan Soekarno, khususnya di sektor kebudayaan.
Sikap politik yang ia ambil berpengaruh pula pada beberapa karyanya yang terbit di tahun 1960-an. Contohnya, puisi ‘’Zaman Baru’’ yang ia ciptakan 1962. Puisi itu diciptakannya setelah ia bersama tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Rivai Apin berkunjung ke Cina. Sitor mengungkapkan kekaguman dan dukungannya bagi revolusi rakyat Cina.
Dalam suatu wawancara dengan Tempo pasca reformasi, Sitor mengemukakan alasan dukungannya terhadap Cina ketika itu: ‘’Saya melihat Tiongkok sebagai bangsa yang menjunjung nasionalisme. Sebagai nasionalis aliran Soekarno saya melihat itu. Soviet tidak saya anggap sebagai proyek nasionalis karena budayanya lain dengan kita. Ada budaya Barat di sana. Sementara Tiongkok sejarahnya mirip dengan kita. Budaya mereka diinjak oleh imperialis, seperti kita.’’
Perihal sikap politik pro Soekarno dan dukungannya terhadap Cina yang ‘komunis’ membuat Sitor dikecam sesama sastrawan dan seniman, terutama yang mengklaim diri sebagai kaum ‘humanis universal’ dan penjunjung kebebasan berkreasi. Namun, Sitor tetap pada pendirian politiknya sebagai pendukung Soekarno dan mengekspresikan sikap dalam puisi-puisinya.
‘’Makan Roti Komune’’, ‘’Lagu Gadis Itali’’ dan ‘’Jalan Batu ke Danau’’ merupakan puisi-puisi yang ia ciptakan dalam situasi politik nasional yang semakin terpolarisasi menjelang 1965. Sitor pun menerbitkan kumpulan esai politiknya, Sastra Revolusioner, 1965.
Polarisasi politik yang juga merambah lapangan budaya ketika itu turut pula melibatkan Sitor. Sebagai pimpinan LKN, Sitor bersama kawan-kawannya di Lekra berpolemik dengan kaum sastrawan dan seniman ‘bebas’ yang kemudian menandatangani Manifes Kebudayaan (Manikebu). Sitor dan kawan-kawan menganggap Manikebu tak lebih dari tindakan politik yang disusupi anasir imperialis yang bertopengkan kebudayaan.
Polemik LKN-Lekra dan Manikebu berujung pada pelarangan Manikebu oleh Soekarno pada 1964. Sitor berpendapat itu lebih dilatarbelakangi konflik politik yang kian memanas pada masa itu dan bukan sekadar pemberangusan kebebasan berkreasi seperti yang selalu didengungkan tokoh-tokoh Manikebu. Ini diperkuat adanya dukungan politik kelompok Angkatan Darat (AD) terhadap Manikebu.
Sitor, yang jadi bagian dari kelompok pendukung Soekarno, pun turut ‘disasar’ rezim baru pimpinan Soeharto. Ia djebloskan ke penjara Gang Tengah Salemba pada 1967 tanpa proses peradilan selama 8 tahun. Selama itu pula ia tetap konsisten menjadi seorang Soekarnois tanpa ada maksud secuil pun untuk ‘cari aman’.
Untuk menghindari tekanan politik lebih lanjut dari rezim Soeharto, Sitor memilih menetap di Paris, Prancis. Pada masa itu, negara-negara Eropa seperti Prancis dan Belanda memang jadi tempat tujuan para pelarian atau mantan tahanan politik Indonesia masa Orde Baru, terutama yang terkait peristiwa 1965. Pada 1981, Sitor pindah ke Belanda dan jadi dosen di Universitas Leiden selama 10 tahun. Setelah itu, Sitor kembali berpindah-pindah tempat dari Prancis hingga Pakistan.
Sitor kembali ke Indonesia setelah kejatuhan Soeharto, 1998. Dalam berbagai forum dan wawancara dengan berbagai media di masa reformasi, ia tetap membenarkan sikap politik dan karya-karyanya yang menyokong kebijakan Soekarno pada 1960-an. Sikap yang mengakibatkannya jadi tahanan politik dan eksil di era Orde Baru. Seperti itulah konsistensi Sitor, sang penyair Soekarnois. (fed/dikutip dari berbagai sumber)
Sumber: Riau Pos, Minggu, 4 November 2012
Jelang akhir tahun 50-an, ia aktif dalam dunia politik praktis. 1959 ia jadi ketua pertama Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN). Namun kelincahan dan kemerduan yang tadi ada dalam sajaknya diganti dalam kumpulan bahasa bombastis dan slogan murah. Sajaknya termuat dalam kumpulan Zaman Baru, 1962 dan 1966 ia ditahan dan disangka terlibat Gestapu PKI.
Sebagai penyair, Sitor sering digolongkan sebagai penyair atau pujangga angkatan 45 bersama Chairil Anwar dan Sanusi Pane. Menurut Sitor, penyair angkatan 45 diilhami oleh semangat memberontak demi kemerdekaan. Memasuki dekade 1950-an, Sitor banyak menciptakan karya puisi yang fenomenal, seperti yang terangkum dalam kumpulan puisi Surat Kertas Hijau (1954) dan Dalam Sajak (1955).
Banyak pihak menganggap karya-karyanya banyak yang bernuansa natural dan diwarnai gaya sastra tradisional semacam pantun. Mengomentari ini, Sitor berucap: ‘’Saya menggali tradisi lama karena saya terbentuk oleh tradisi itu. Sejak SMA yang terngiang di kepala saya adalah pantun-pantun...’’.
Karya-karya sastra Sitor lainnya yang juga diterbitkan di 1950-an, antara lain Wajah Tak Bernama (1955), drama Jalan Mutiara (1954) dan Pertempuran dan Salju di Paris (1956). Selain bergelut dalam dunia sastra, Sitor juga meniti karir sebagai wartawan. Ia pernah jadi pewarta berita di berbagai media, seperti Harian Suara Nasional, Waspada dan Warta Dunia.
Keterlibatannya dalam dunia politik diawali ketika Sitor bergabung dalam Partai Nasional Indonesia (PNI) dan kemudian diberi amanat untuk jadi ketua LKN di akhir dekade 1950-an.
LKN merupakan organisasi kebudayaan yang berafiliasi pada PNI. Sejak saat itu Sitor terlibat total dalam kancah perpolitikan nasional. Di masa demokrasi terpimpin, ia bersama LKN menjadi pendukung setia kebijakan Soekarno, khususnya di sektor kebudayaan.
Sikap politik yang ia ambil berpengaruh pula pada beberapa karyanya yang terbit di tahun 1960-an. Contohnya, puisi ‘’Zaman Baru’’ yang ia ciptakan 1962. Puisi itu diciptakannya setelah ia bersama tokoh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), Rivai Apin berkunjung ke Cina. Sitor mengungkapkan kekaguman dan dukungannya bagi revolusi rakyat Cina.
Dalam suatu wawancara dengan Tempo pasca reformasi, Sitor mengemukakan alasan dukungannya terhadap Cina ketika itu: ‘’Saya melihat Tiongkok sebagai bangsa yang menjunjung nasionalisme. Sebagai nasionalis aliran Soekarno saya melihat itu. Soviet tidak saya anggap sebagai proyek nasionalis karena budayanya lain dengan kita. Ada budaya Barat di sana. Sementara Tiongkok sejarahnya mirip dengan kita. Budaya mereka diinjak oleh imperialis, seperti kita.’’
Perihal sikap politik pro Soekarno dan dukungannya terhadap Cina yang ‘komunis’ membuat Sitor dikecam sesama sastrawan dan seniman, terutama yang mengklaim diri sebagai kaum ‘humanis universal’ dan penjunjung kebebasan berkreasi. Namun, Sitor tetap pada pendirian politiknya sebagai pendukung Soekarno dan mengekspresikan sikap dalam puisi-puisinya.
‘’Makan Roti Komune’’, ‘’Lagu Gadis Itali’’ dan ‘’Jalan Batu ke Danau’’ merupakan puisi-puisi yang ia ciptakan dalam situasi politik nasional yang semakin terpolarisasi menjelang 1965. Sitor pun menerbitkan kumpulan esai politiknya, Sastra Revolusioner, 1965.
Polarisasi politik yang juga merambah lapangan budaya ketika itu turut pula melibatkan Sitor. Sebagai pimpinan LKN, Sitor bersama kawan-kawannya di Lekra berpolemik dengan kaum sastrawan dan seniman ‘bebas’ yang kemudian menandatangani Manifes Kebudayaan (Manikebu). Sitor dan kawan-kawan menganggap Manikebu tak lebih dari tindakan politik yang disusupi anasir imperialis yang bertopengkan kebudayaan.
Polemik LKN-Lekra dan Manikebu berujung pada pelarangan Manikebu oleh Soekarno pada 1964. Sitor berpendapat itu lebih dilatarbelakangi konflik politik yang kian memanas pada masa itu dan bukan sekadar pemberangusan kebebasan berkreasi seperti yang selalu didengungkan tokoh-tokoh Manikebu. Ini diperkuat adanya dukungan politik kelompok Angkatan Darat (AD) terhadap Manikebu.
Sitor, yang jadi bagian dari kelompok pendukung Soekarno, pun turut ‘disasar’ rezim baru pimpinan Soeharto. Ia djebloskan ke penjara Gang Tengah Salemba pada 1967 tanpa proses peradilan selama 8 tahun. Selama itu pula ia tetap konsisten menjadi seorang Soekarnois tanpa ada maksud secuil pun untuk ‘cari aman’.
Untuk menghindari tekanan politik lebih lanjut dari rezim Soeharto, Sitor memilih menetap di Paris, Prancis. Pada masa itu, negara-negara Eropa seperti Prancis dan Belanda memang jadi tempat tujuan para pelarian atau mantan tahanan politik Indonesia masa Orde Baru, terutama yang terkait peristiwa 1965. Pada 1981, Sitor pindah ke Belanda dan jadi dosen di Universitas Leiden selama 10 tahun. Setelah itu, Sitor kembali berpindah-pindah tempat dari Prancis hingga Pakistan.
Sitor kembali ke Indonesia setelah kejatuhan Soeharto, 1998. Dalam berbagai forum dan wawancara dengan berbagai media di masa reformasi, ia tetap membenarkan sikap politik dan karya-karyanya yang menyokong kebijakan Soekarno pada 1960-an. Sikap yang mengakibatkannya jadi tahanan politik dan eksil di era Orde Baru. Seperti itulah konsistensi Sitor, sang penyair Soekarnois. (fed/dikutip dari berbagai sumber)
Sumber: Riau Pos, Minggu, 4 November 2012
No comments:
Post a Comment