Sunday, November 11, 2012

Hari Puisi Indonesia: Latar Belakang dan Latar Depan

-- Maman S Mahayana

PUISI adalah bagian integral kehidupan masyarakat Nusantara. Maka, tradisi berpuisi seperti telah menyatu dalam kehidupan keseharian masyarakatnya. Lihat saja pantun. Sejak entah kapan pantun hidup semarak di tengah masyarakat Melayu. Pantun lalu menyebar memasuki pelosok Nusantara. Lahirlah pola pantun dengan media bahasa-bahasa setempat. Di berbagai wilayah Nusantara itu, pantun pun tidak terikat batas usia, dapat digunakan dalam situasi dan kegiatan apapun untuk berbagai kepentingan. Cermati juga lagu dolanan anak-anak, tembang ninabobo, mantra, doa atau jampi-jampi pengasihan. Bukankah bentuk-bentuk ekspresinya dalam berbagai bahasa daerah itu selalu menekankan keindahan bunyi dan pesan-pesan simbolik dan metaforis, seperti juga yang menjadi alat permainan puisi?

Begitulah, puisi Indonesia bersumber dari akar tradisi perpuisian yang sudah menyatu dengan kehidupan masyarakat Nusantara. Puisi Indonesia tidak mengadopsi model puisi Barat yang dibawa Belanda, melainkan mengubahsuaikan puisi Nusantara dengan semangat zaman. Maka, puisi-puisi Indonesia yang awal adalah bentuk pantun, syair atau gurindam yang menyampaikan pesan potret zamannya. Dengan demikian, mempelajari perjalanan puisi Indonesia, hakikatnya tidak berbeda dengan upaya memahami rekam jejak pemikiran masyarakat Nusantara menjadi sebuah bangsa yang bernama Indonesia.
***

Perjalanan puisi Indonesia adalah potret panjang alur gerakan budaya yang tidak terpisahkan dari pemikiran tentang konsep bangsa (Indonesia). Dimulai dari keberadaan puisi-puisi Nusantara, lalu memusat pada tradisi perpuisian Melayu sebagai dampak pengangkatan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia. Dari sanalah pesan tematik dan bentuk puisi Melayu mulai mengalami pergeseran sebagai representasi semangat zaman. Maka, pantun, syair atau gurindam yang pada awalnya cenderung mengangkat tema-tema alam dan etika kehidupan, mulai merambat menyentuh kesadaran pada tanah leluhur, bahasa, kebudayaan, dan potret kehidupan masyarakat Nusantara.

Jauh sebelum itu, ketika Gujarat India, pedagang Cina, dan para ulama Timur Tengah datang ke wilayah Nusantara membawa Hindu, Buddha, Islam dan Konfusianisme, pada saat itu kesadaran sebagai bangsa tak tersentuh lantaran kehadiran mereka bukan sebagai penjarah. Mereka menyatu, berintegrasi dan ikut memperkaya khazanah budaya Nusantara. Puisi, kesusastraan dan kebudayaan pada umumnya, masih bermain dalam tataran ekspresi budaya dengan pesan-pesan etis dan ideologi sistem kepercayaan (agama).

Penerimaan masyarakat Nusantara atas sistem kepercayaan itu lantaran animisme membuka ruang dan mengakomodasinya tanpa resistensi, bahkan mengubahsuaikannya lantaran di sana banyak aspek yang sama dalam perkara dunia supernatural. Maka, puisi Nusantara yang sudah hidup semarak itu, tidak terelakkan menerima juga unsur-unsur sistem kepercayaan yang datang dari luar. Tidak perlu heran jika pantun, syair, mantra, lagu dolanan, jampi-jampi dan doa pengasihan, diwarnai dengan kata atau ungkapan yang menunjukkan pengaruh kuat masuknya sistem kepercayaan itu.

Bangsa Eropa, lebih khusus Belanda, datang dengan semangat menjarah. Segala kekayaan budaya dan sistem kepercayaan yang hidup subur di wilayah Nusantara, ditolaknya sebagai tidak modern (tradisional), tidak rasional dan penuh dengan tahayul. Penghadiran kebudayaan Eropa yang serba rasional, dilakukan dengan cara memaksa dan menghinakan kebudayaan yang sudah ada. Berbagai huruf dan aksara yang ada dan sudah lama digunakan masyarakat, dibenamkan, dianggap ketinggalan zaman, diapkir tanpa apresiasi. Aksara Pegon, Jawi atau Arab-Melayu, diganti dengan huruf Latin. Itulah peristiwa pembutahurufan massal yang melanda penduduk di wilayah Nusantara.

Jika di berbagai daerah, terjadi resistensi atas tawaran kebudayaan Eropa dan agama Kristen, duduk perkaranya bukan terletak pada penilaian baik-buruk, melainkan sebagai ekor dari perlawanan terhadap cara Belanda yang memaksa itu. Mereka yang tidak (secara ekstrem) menolak kebudayaan Eropa, lebih dahulu mengetahui berbagai aspek positif yang ditawarkannya. Sambil sekalian mempelajari nilai-nilai positif kebudayaan Eropa, timbul pula kesadaran tentang identitas diri, keluarga dan masyarakat. Kesadaran atas keberadaan dan jati diri masyarakat itulah yang lalu melahirkan pemahaman tentang konsep bangsa (terjajah dan penjajah). Di situlah, mereka yang menyerap pendidikan Eropa—melalui Belanda—berkesempatan memberi penyadaran tentang itu.

Dari kesadaran itu, mulailah terjadi pergeseran pemahaman. Konsepsi masyarakat Nusantara yang beraneka ragam itu dimaknai berada dalam sebuah wadah bangsa dan bangsa itu bernama Indonesia. Melalui media apa keberadaan dan identitas bangsa (Indonesia) disebarluaskan? Surat-surat kabar, majalah, perhimpunan atau organisasi sosial-politik dan sekolah pribumi adalah tempat bersemainya pemahaman tentang identitas bangsa yang lalu menjadi kesadaran kebangsaan. Begitulah proses lahirnya kesadaran kebangsaan (Indonesia).

Puisi pun menjadi pilihan tepat, cepat dan efektif. Maka, sejumlah puisi karya para penyair perintis menunjukkan suara-suara tentang konsep bangsa (terjajah dan penjajah). Cermati saja puisi-puisi Muhammad Yamin, Rustam Effendi, bahkan juga Mohammad Hatta. Puisi bagi para penyair itu adalah ekspresi pemikiran mereka tentang semangat zaman. Pemujaan pada alam dalam puisi-puisi mereka adalah kesadaran tentang tempat kelahiran, tanah tumpah darah, pusaka leluhur dan warisan budaya. Di sana, ada pula komunitas, masyarakat, suku bangsa yang memperlihatkan ciri dan karakteristik yang sama dengan suku bangsa lain yang hidup di Nusantara. Mulailah konsep sebuah bangsa dihubungkan dengan tanah wilayah hidupnya.

Bagaimana masyarakat di wilayah Nusantara dapat berkomunikasi, berinteraksi, dan hidup berdampingan meski bahasa dan kebudayaannya berbeda? Bahasa Melayu makin disadari sebagai bahasa yang lebih terterima penduduk Nusantara lantaran punya sejarah panjang penyebarannya yang luas dan populis. Posisinya sebagai lingua franca memungkinkan berbagai suku bangsa dapat berkomunikasi, berinteraksi dan melahirkan kesadaran tentang bangsa yang sama. Belanda lalu memanfaatkan momentum itu. Dan suku bangsa non-Melayu laksana menerima begitu saja, take for granted. Jadilah bahasa Melayu makin memainkan peranan penting.

Melalui bahasa Melayu, beberapa penyair coba membalut pemikirannya tentang Tanah Air, bangsa dan bahasa dalam puisi-puisi mereka. Muhammad Yamin adalah salah seorang tokoh penting yang berada di balik gerakan itu. Dalam Kongres Pemuda Indonesia Pertama (1926), Muhammad Yamin menyatakan: “Bagi saya sendiri, saya mempunyai keyakinan bahwa bahasa Melayu lambat laun akan tertunjuk menjadi bahasa pergaulan umum ataupun bahasa persatuan bagi bangsa Indonesia dan bahwa kebudayaan Indonesia di masa yang akan datang akan terjelma dalam bahasa itu.” Dua tahun kemudian, Yamin membuat rumusan penting yang lalu dikenal sebagai Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, sebuah teks puisi yang berisi bayangan tentang sebuah Negara yang mempunyai Tanah Air, bangsa dan bahasa (Indonesia).
***

Puisi-puisi Pujangga Baru adalah bagian penting dari penyebarluasan kesadaran tentang Tanah Air, bangsa dan bahasa (Indonesia). Dari sana, datanglah kesadaran baru, bahwa semuanya bersumber dari manusia Indonesia yang kemudian mengejawantah dalam kebudayaannya. Maka, perkara kebudayaan Indonesia yang berakar dari kebesaran masa lalu, eksotisme dan keunikan etnisitas dengan segala keheterogenitasannya dan pengaruh-pengaruh kebudayaan asing adalah sebuah fakta budaya yang mesti dapat diwadahi oleh kebudayaan yang dinamis dan inklusif, yaitu kebudayaan Indonesia. Konsep Tanah Air, bangsa dan bahasa, mendapatkan tempat baru, semangat baru dan cara pandang baru: kebudayaan Indonesia.

Pada zaman Jepang, kembali puisi Indonesia bergerak sebagai penyebar semangat perlawanan. Puncaknya terjadi pada kiprah kepenyairan Chairil Anwar. Tokoh ini tidak hanya menegaskan peranan puisi dalam kehidupan sosial-budaya, bahkan perjuangan kebangsaan, tetapi juga menempatkannya sebagai ekspresi kebudayaan Indonesia yang modern. Melepas puisi-puisi Chairil Anwar pada model estetik puisi sebelumnya, tidak berarti hendak membenamkan tradisi ke dalam sebuah kuburan kematian, melainkan mengolahnya kembali menjadi sesuatu yang baru, modern dan visioner, lantaran bangsa ini tidak dapat pula mengabaikan berbagai pengaruh kebudayaan asing.

Chairil Anwar telah berhasil menjadikan puisi-puisinya sebagai buah pemikiran yang kreatif, dinamis dan penuh warna. Dengan demikian, Chairil Anwar telah membuat tonggak penting dalam menjadikan tradisi sebagai bahan dasar yang harus diolah kembali secara kreatif dan sekaligus menegaskan, bahwa puisi dapat juga berisi tentang pemikiran, filsafat atau apapun yang berkaitan dengan kehidupan manusia. Lewat Chairil Anwar pula bahasa Indonesia menjadi alat ekspresi tampak lebih bebas, lepas, tanpa beban.

Gerakan puisi Indonesia tahun 1950-an adalah pengembangan langkah yang dilakukan Chairil Anwar. Di sana, puisi menjadi ekspresi potret sosial zamannya, tentang kesadaran keindonesiaan dan kesadaran mengisi kemerdekaan.

Kembali, puisi memainkan peranannya dalam perjuangan kebangsaan ketika terjadi karut-marut politik melanda kehidupan bangsa Indonesia. Taufiq Ismail dan sejumlah penyair lain dalam gerakan Angkatan 66 adalah saksi bicara yang menegaskan posisi puisi dalam mengambil bagian dalam sebuah perjuangan bangsa.

Periode berikutnya, makin memperjelas, bahwa puisi pada hakikatnya tidak dapat dilepaskan dari berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia. Puisi bisa memasuki ruang pendidikan, etika kehidupan, doktrin agama dan semangat kebangsaan.
***

Meskipun sudah sangat jelas peranan puisi dalam perjuangan kebangsaan dan kehidupan bangsa Indonesia, sampai kini, kesadaran itu cenderung tumbuh di kalangan komunitas yang terbatas: penyair atau sastrawannya sendiri. Dalam kehidupan dunia pendidikan, puisi ditempatkan sekadar wacana penting untuk pelajaran, tetapi tidak sebagai bahan untuk membangkitkan gerakan penyadaran membentuk karakter. Dalam berbagai kegiatan peringatan hari-hari besar nasional, puisi juga dianggap penting, tetapi baru sekadar pelengkap perayaan itu melalui serangkaian pembacaan puisi. Para birokrat, juga sebagian menganggap puisi itu penting, tetapi sekadar alat untuk mendapatkan proyek atau popularitas.

Dengan kesadaran itu, secara sosiologis, puisi dalam kenyataannya tidak dapat dipisahkan dari semua aspek kehidupan bangsa Indonesia, tetapi belum mendapat semacam legitimasi sebagai gerakan kebudayaan yang massif. Oleh karena itu, diperlukan legitimasi kultural yang implikasinya akan menjadi sebuah gerakan kebudayaan dan penyadaran tentang kebanggaan sebuah bangsa. Itulah dasar pemikiran pentingnya dideklarasikan Hari Puisi Indonesia. Sebuah penanda untuk memulai gerakan kebudayaan dalam semua aspek kehidupan bangsa Indonesia.

Proklamasi Hari Puisi Indonesia akan menjadi titik kulminasi perjalanan panjang peranan puisi Indonesia dalam kehidupan bangsa Indonesia. Proklamasi Hari Puisi Indonesia sekaligus juga akan menjadi pintu masuk dan titik berangkat gerakan kebudayaan Indonesia. Kinilah saatnya kita membuat momentum penting bagi kehidupan bangsa Indonesia di masa depan. Kinilah saatnya menempatkan gerakan kebudayaan sebagai ujung tombak perjuangan. Maka, Deklarasi Hari Puisi Indonesia adalah titik awal langkah menuju bangsa Indonesia yang lebih baik dengan kebudayaan sebagai landasan perjuangannya! Bukankah UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) pun pada tahun 1999 sudah mencanangkan 21 Maret sebagai Hari Puisi Dunia! n

Maman S Mahayana, Pengajar FIB-UI, dosen tamu Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, Korea.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 11 November 2012

No comments: