Saturday, November 17, 2012

Cerita Silat, Melengkapi Perjalanan Sastra Indonesia

-- Chaerul Abshar

PADA awalnya, cerita silat adalah sekedar suatu cabang dari ilmu pengetahuan tentang sastra. Namun dewasa ini, cerita silat sudah menjadi pelenggap sejarah perjalanan sastra Indonesia.

    Cerita silat banyak mengupas kisah-kisah seputar aspek kependekaran yang biasanya berlandaskan keadilan dan persaudaraan.

    Satu ciri yang sifatnya umum dari cerita silat adalah menggambarkan kemahiran dan ketrampilan berkelahi tokoh-tokohnya. Di belakang semua pertempuran yang menjadi daya tarik utamanya, terdapat unsur yang lebih penting, yaitu penekanan pada nilai-nilai kepahlawanan, keadilan, kesetiakawanan dan patriotisme.

    Kombinasi antara pesona pertempuran yang membungkus nilai-nilai luhur inilah yang menjadi perhatian banyak orang sejak zaman pra kemerdekaan Indonesia hingga era modernisasi sekarang ini.

    Cerita silat di Indonesia berakar pada sastra wuxia. Salah satu cabang ilmu ssatra yang lahir di China pada abad ke-19, dan terjemahannya, sejak awal abad ke-20 menjadi bacaan para peranakan China yang kebanyakan sudah tidak mampu berbahasa China tetapi menguasai bahas Melayu.

    Pola cerita silat dalam perkembangannya hingga dewasa ini masih terpengaruh sekali oleh sastra lama, seperti kisah Tepi Air (Shuihuzhuan). Cerita seperti itu melibatkan banyak tokoh dan peristiwa dalam alur yang sebenarnya sangat sederhana. Mulai perempat pertama abad ke-20, semua surat kabar peranakan China (Tionghoa) memuyat cerita silat secara bersambung. Bahkan di tahun 1929 terbit bulanan yang secara khusus memuat cerita silat di bawah judul Goedang Tjerita atau Tjerita Silat (1929), yang segera disusul dalam cerita-cerita silat lainnya.

    Gaya bercerita silat seperti yang dilakukan oleh banyak surat kabar peranakan China (Tionghoa) rupanya bisa berjalan panjang dan lama. Peminatnya pun banyak, tersebar di berbagai daerah.

    Nanti seusai perang dunia ke-2, barulah lahir penulis-penulis baru dengan membawa gaya penulisan baru pula. Merekalah yang kemudian memberi semangat perubahan dunia sastra cerita silat.

    Pada era itulah masyarakat pembaca cerita silat diu era perubahan mengenali nama-nama penulis baru, diantaranya adalah Wang Dulu, Jin Yong, Liang Yusheng, dan Gu Long.

    Keseringan penulis baru itu menampilkan gaya bercerita silat yang benar-benar baru membuat masyarakat pengamat menilai nama-nama penulis cerita silat baru itu sebagai perintis aliran baru.

    Nama-nama penulis baru cerita silat itu tidak saja menampilkan karya-karya baru mereka di sejumlah surat kabar peranakan China (Tionghoa) tetapi lebih dari itu, mereka juga menampilkan cerita silat terjemahan dari daratan China.

    Dan masyarakat pembaca cerita silat menerima bahkan menyukai kualitas cerita silat terjemahan mereka. Akibatnya, setiap pekan beragam cerita silat terjemahan dari daratan China terbit di sejumlah majalah dan suratkabar peranakan China.

    Bahkan promosi jual cerita silat terjemahan selalu dilakukan sejak jauh-jauh hari. Dampaknya, masyarakat pecinta ceruita silat asli dari daratan Chna selalu antri untuk membeli terbitan cerita silat itu di media massa.

    Masyarakat pecinta cerita silat terjemahan di Indonesia menyukai certa silat terjemahan dari daratan China karena cerita silat terjemahan dari China selalu menghadirkan nafas baru tentang pembentukan karakter bangsa, tentang semangat berbuat adil dan semangat bertindak yang sebenarnya.

    Apalagi ketika itu Indonesia sedang dalam persiapan menghadapi kemerdekaannya, sehingga banyak penulis cerita silat peranakan di negeri ini meniru beragam gaya patriotisme para pendekar dalam berbuat kebajikan.

    Pada era itu pula cerita silat sangat disukai dan memiliki komunitas pembaca yang amat luat tidak saja di kota-kota besar, tetapi meluas hingga di kota kecil. Itu sebabnya cerita silat saat itu dikenal di berbagai lapisan tokoh masyarakat. Buku-buku cerita silat bahkan menjadi ajang pergaulan yang berkelas. Seolah ada kesan, siapapun dia jika tidak tau tentang cerita silat benar-benar akan dianggap sebagai warga yang bodoh dan tidak gaul.

    Ketika sentimen anti China di dasawarsa 1960-an meledak, berubahan drastis pun terjadi. Kenyataan itu bahkan dirasakan amat mengganggu kebiasaan membaca cerita silat di kalangan penggemarnya.

    Bersamaan dengan itu cerita silat terjemahan dari China berangsur-angsur menghilang, dan pada gilirannya beragam penerbitan cerita silat gulung tikar dan tutup. Untung saja para pribumi banyak juga yang tetap mempertahankan kehadiran cerita silat. Mereka kemudian menghasilkan cerita-cerita silat dengan warna kedaerahan. Maka muncullah cerita cilat khas Bugis, Minahasa, Minangkabau, Sunda, Banten dan banyak lagi.

    Kini minat generasi muda untuk terus menikmati cerita silat makin menggembirakan. Seiring dengan itu, komunitas pecinta cerita silat di Jakarta, Bogor, Bekasi, Tangerang, Bandung dan Lampung, Minggu (18/11) besok akan berkumpul di hotel Puncak, Cianjur, Jawa Barat. Mereka tidak sekadar bertemu dan melepas kangen, tapi juga membahas masa depan cerita silat Indonesia. Oleh karena itu mereka akan menghadirkan dalam acara pembahasan tersebut sejumlah tokoh cerita silat di Indonesia, dan memberikan sejumlah pandangannya, diantaranya budayawan Arswendo Atmowiloto dan kalangan pakar dalam bidang cerita silat dari fakultas sastra Universitas Tarumanegara, Jakarta.

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 17 Nopember 2012

No comments: