-- Utami Diah Kusumawati
SINERGISME sastra diperlukan dalam mewujudkan pembangunan nasional. Hal itu diungkapkan oleh budayawan sekaligus sastrawan Radhar Panca Dahana dalam acara jumpa pers dan bincang-bincang sastra bertajuk "Sinergi Sastra Indonesia" yang diadakan di Galeri Cemara, Senin (12/11).
"Sastra butuh bersinergi, baik antara pengarang sendiri ataupun dengan bidang lain di luar sastra untuk berkontribusi bagi pembangunan nasional," ujarnya.
Menurut Radhar, yang juga mendirikan forum Bale Sastra Indonesia dan Mufakat Budaya, dibutuhkan sebuah semangat dan kesadaran baru di kalangan pengarang untuk berani menyatukan dirinya sebagai alat atau cara mereka membela diri dari tekanan yang represif terhadap dunia kepengarangan. Hal itu salah satunya bisa dilakukan melalui pembentukan forum dan asosiasi pengarang, yang mempersatukan berbagai kalangan atau komunitas sastra, yang kini masih tersegregasi oleh berbagai kepentingan yang individualis dan pragmatis.
"Saat ini, silahturahmi yang positif antara para sastrawan sangat rendah jika dibandingkan dengan era sekitar tahun 1940-an. Pada tahun itu terdapat kekuatan literer yang bisa mendukung tujuan kebangsaan kita. Saat ini, semua itu semakin melemah, sebagian karena represi dari luar tetapi sebagian persoalan internal juga," ujarnya.
Persoalan-persoalan sastra semacam itu dibahas dalam acara Pertemuan Pengarang Indonesia (PPI) yang diadakan selama tiga hari (25 hingga 27 November 2012) di Benteng Fort Rotterdam, Makassar. Acara ini mengundang para pengarang, baik muda ataupun tua dari seluruh Indonesia sejumlah 150 orang. Menurut Ketua Pelaksana, Kurnia Effendy, atau akrab dipanggil Kef acara ini terutama bertujuan sebagai ajang silahturahmi para pengarang untuk berkomunikasi mengenai visi mereka dalam dunia kepengarangan Indonesia.
"Nanti akan terdapat pementasan monolog, dongeng, pembacaan puisi, kunjungan ke beberapa tempat yang mengisahkan sejarah sastra Indonesia, serta sidang pleno yang terbagi atas grup kerja dan membahas beberapa topik seperti potensi estetika lokal dalam sastra Indonesia, pertemuan kutub-kutub pemikiran antarkomunitas, hingga sinergi sastra," katanya merinci jadwal acara.
Dia berharap nantinya kegiatan ini mampu mendorong sebuah langkah aksi dan pembentukan forum asosiasi pengarang yang mewakili kawan-kawan di daerah. Sementara itu, Toety Heraty, penulis sekaligus doktor bidang filosofi, mengatakan, pengarang membutuhkan lingkungan yang mendukung proses kreativitasnya. Proses kreatif tersebut termasuk menyerap kekaryaan secara mendalam dan mampu menangkap kepekaan dan nuansa yang bagi orang lain tidak mampu diselami secara batiniah.
"Saya pikir pengarang butuh ruangan bagi dirinya sendiri untuk berkreasi dan mencipta karya tulis. Akan bagus kalau bisa disediakan sebuah tempat di mana para pengarang ini bisa mengarang atau menulis puisi tanpa terganggu dunia luar," ujar perempuan yang rajin mengikuti berbagai festival ini di antaranya Festival Penyair Internasional dan Iowa Writing Program.
Abdul Hadi WM, sastrawan, filsafat, dan budayawan Indonesia, mengatakan, dunia sastra Indonesia saat ini mengalami krisis kritik sastra bahkan kekosongan kritik sastra. Padahal, untuk bisa terus hidup di tengah masyarakat, kritik sastra dibutuhkan. Oleh karena itu, dia berharap melalui acara ini bisa juga mendorong kembali bergeliatnya kritik sastra. Apa lagi kalau orang sekaliber HB Yassin muncul saat ini ya Pak. Sang Paus Kritikus Sastra ini memang belum ada gantinya hingga kini.
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 25 November 2012
SINERGISME sastra diperlukan dalam mewujudkan pembangunan nasional. Hal itu diungkapkan oleh budayawan sekaligus sastrawan Radhar Panca Dahana dalam acara jumpa pers dan bincang-bincang sastra bertajuk "Sinergi Sastra Indonesia" yang diadakan di Galeri Cemara, Senin (12/11).
"Sastra butuh bersinergi, baik antara pengarang sendiri ataupun dengan bidang lain di luar sastra untuk berkontribusi bagi pembangunan nasional," ujarnya.
Menurut Radhar, yang juga mendirikan forum Bale Sastra Indonesia dan Mufakat Budaya, dibutuhkan sebuah semangat dan kesadaran baru di kalangan pengarang untuk berani menyatukan dirinya sebagai alat atau cara mereka membela diri dari tekanan yang represif terhadap dunia kepengarangan. Hal itu salah satunya bisa dilakukan melalui pembentukan forum dan asosiasi pengarang, yang mempersatukan berbagai kalangan atau komunitas sastra, yang kini masih tersegregasi oleh berbagai kepentingan yang individualis dan pragmatis.
"Saat ini, silahturahmi yang positif antara para sastrawan sangat rendah jika dibandingkan dengan era sekitar tahun 1940-an. Pada tahun itu terdapat kekuatan literer yang bisa mendukung tujuan kebangsaan kita. Saat ini, semua itu semakin melemah, sebagian karena represi dari luar tetapi sebagian persoalan internal juga," ujarnya.
Persoalan-persoalan sastra semacam itu dibahas dalam acara Pertemuan Pengarang Indonesia (PPI) yang diadakan selama tiga hari (25 hingga 27 November 2012) di Benteng Fort Rotterdam, Makassar. Acara ini mengundang para pengarang, baik muda ataupun tua dari seluruh Indonesia sejumlah 150 orang. Menurut Ketua Pelaksana, Kurnia Effendy, atau akrab dipanggil Kef acara ini terutama bertujuan sebagai ajang silahturahmi para pengarang untuk berkomunikasi mengenai visi mereka dalam dunia kepengarangan Indonesia.
"Nanti akan terdapat pementasan monolog, dongeng, pembacaan puisi, kunjungan ke beberapa tempat yang mengisahkan sejarah sastra Indonesia, serta sidang pleno yang terbagi atas grup kerja dan membahas beberapa topik seperti potensi estetika lokal dalam sastra Indonesia, pertemuan kutub-kutub pemikiran antarkomunitas, hingga sinergi sastra," katanya merinci jadwal acara.
Dia berharap nantinya kegiatan ini mampu mendorong sebuah langkah aksi dan pembentukan forum asosiasi pengarang yang mewakili kawan-kawan di daerah. Sementara itu, Toety Heraty, penulis sekaligus doktor bidang filosofi, mengatakan, pengarang membutuhkan lingkungan yang mendukung proses kreativitasnya. Proses kreatif tersebut termasuk menyerap kekaryaan secara mendalam dan mampu menangkap kepekaan dan nuansa yang bagi orang lain tidak mampu diselami secara batiniah.
"Saya pikir pengarang butuh ruangan bagi dirinya sendiri untuk berkreasi dan mencipta karya tulis. Akan bagus kalau bisa disediakan sebuah tempat di mana para pengarang ini bisa mengarang atau menulis puisi tanpa terganggu dunia luar," ujar perempuan yang rajin mengikuti berbagai festival ini di antaranya Festival Penyair Internasional dan Iowa Writing Program.
Abdul Hadi WM, sastrawan, filsafat, dan budayawan Indonesia, mengatakan, dunia sastra Indonesia saat ini mengalami krisis kritik sastra bahkan kekosongan kritik sastra. Padahal, untuk bisa terus hidup di tengah masyarakat, kritik sastra dibutuhkan. Oleh karena itu, dia berharap melalui acara ini bisa juga mendorong kembali bergeliatnya kritik sastra. Apa lagi kalau orang sekaliber HB Yassin muncul saat ini ya Pak. Sang Paus Kritikus Sastra ini memang belum ada gantinya hingga kini.
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 25 November 2012
No comments:
Post a Comment