Sunday, November 25, 2012

Ikhtiar Mengistimewakan Desa

-- Riza Multazam Luthfy

Sejarah Desa, Sejarah Derita

SEJARAH desa menunjukkan sejarah yang kelam. Sejarah yang penuh dengan gema tangis, nada miris, keluh getir, dan penderitaan. Desa selalu diamini sebagai wilayah kecil dari sebuah negara, yang tidak banyak mendermakan andil dan pengaruh dalam pembangunan.

Ikhtiar mendulang ‘apresiasi’ terhadap desa merupakan hal urgent dalam menyongsong peradaban yang kokoh. Mustahil negara menjadi besar, jika para penguasa di dalamnya enggan memberi kesempatan kepada desa untuk turut ambil bagian dalam menjemput kemajuan. Dengan mengerahkan segala kemampuannya, dapat dipastikan desa bakal menyajikan capaian yang bernas dan memuaskan. Desa akan menunjukkan bahwa dirinya memang pantas dan layak untuk diajak serta dalam rangka mewujudkan kesejahteraan. Sayangnya, desa jarang sekaliatau bahkan tidak pernahmendapat kepercayaan untuk berunjuk gigi. Desa diperlakukan selaku anak kecil yang sama sekali belum mengenyam pendidikan.

Sudah banyak bukti yang tersebar, bahwa kehendak desa untuk tumbuh sering kali pupus, dikarenakan adanya intervensi pihak luar. Lebih dari itu, celakanya, intervensi yang berkelanjutan berubah menjadi otoriterisme. Padahal di manapun, otoriterisme memposisikan pihak penguasa selalu memiliki dalih atau alasan untuk memeras pihak yang dikuasai. Jadilah desa tidak terbentuk sesuai yang diinginkan. Apa yang kemudian terjadi pada desa merupakan hasil rekayasa (buatan) dari kekuasaan di atasnya yang lebih dulu ada. Kekuasaan itulah yang mengatur segala sesuatu mengenai desa. Sehingga, selain menjadi kurang cakap, hal tersebut menyebabkan desa kurang mandiri terhadap persoalan sendiri. Akhirnya desa menjadi pasif sekaligus tergantung kepada keputusan pihak lain.

Di jaman feodal, desa sangat sulit berkembang. Kebutuhan warga yang semestinya dicukupi desa tidak pernah terwujud. Hal ini disebabkan budaya penguasaan tanah desa oleh raja, selaku penguasa dalam kehidupan negara. Teori milik raja (vorstendomein), yang menetapkan bahwa raja adalah pemilik tanah seluruh kerajaan, dengan semena-mena diberlakukan.

Sebagai contoh di Jawa. Untuk menjadi petani saja, seseorang diwajibkan menyewa tanah dari bangsawan atau raja, dengan biaya selangit. Di sinilah terletak ketimpangan yang membabibuta. Tanah yang selayaknya bisa mereka manfaatkan untuk kepentingan sendiri, rupanya disalahgunakan oleh penguasa. Bukan hanya itu. Orang-orang yang bekerja untuk tuan mereka tidak mampu berbuat apa-apa. Karena sedikit saja menunjukkan perlawanan, atau gelagat yang kurang disukai, maka mereka akan menanggung risikonya: dijual kepada tuan lain atau dipasung. Akibatnya, rakyat (petani) merasakan penderitaan luar biasa. Mereka disamakan dengan hamba sahaya: diperas keringatnya, lalu hasil kerjanya dipersembahkan kepada raja. Tak ayal, jika masa panen tiba, orang-orang berduyun-duyun ke kota guna menyerahkan padi, jagung, palawija, serta hasil bumi lainnya untuk dinikmati sang raja.

Di jaman kolonial, nasib desa tidak banyak berubah. Momentum pembaruan desa yang sangat diharapkan, sekadar halusinasi belaka. Hal ini terjadi karena perkembangan desa berada di bawah kungkungan watak kolonial itu sendiri, dimana menurut Kartodirjo (dalam Suhartono, dkk, 2000) kolonialisme mempunyai ciri pokok yang berpangkal pada prinsip dominasi, eksploitasi, diskriminasi, dan dependensi. Proses ekspansi bangsa Eropa untuk mengambil sebanyak-banyaknya rempah-rempahyang pada waktu itu menjadi komoditi penting di pasar Eropamenjadikan desa sebagai lahan basah.

Dengan datangnya penguasa kolonial, tata hidup warga desa tidak menjadi lebih baik, justru sebaliknya, penderitaan yang dialami kian membabibuta. Jika diperhatikan lebih seksama, kolonialisme membawa citra berlawanan. Di satu sisi, para penguasa kolonial hendak membebasakan tanah dari genggaman raja atau kaum bangsawan. Akan tetapi, di sisi lain (dan ini lebih parah), mereka menindas petani demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Dan, semua yang terkandung di desa dikeluarkan secara paksa, untuk dibawa pulang ke Eropa.

Mengistimewakan Desa

Sebenarnya desa mempunyai hak untuk diperlakukan istimewa. Sejak dahulu kala, ‘keistimewaan’ sudah semestinya dilekatkan ke desa. Bersandar pada sejarah lahirnya UUD 1945, Mohammad Yamin (dalam Nimatul Huda, 2005) pernah melampirkan suatu rancangan sementara perumusan Undang-Undang Dasar yang berisi:

Pembangunan daerah Indonesia atas daerah yang besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.

Makna dan pengertian hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa dalam kalimat terakhir di atas belum sempat dibahas dalam agenda rapat-rapat yang digelar BPUPKI. Namun setelah rancangan UUD tersebut ditetapkan oleh PPKI dan diberi penjelasan resmi dalam Berita Republik Indonesia, Penjelasan Pasal 18 menyatakan bahwa volksgemeenschappen, semisal desa, negeri, dusun, atau marga dapat dianggap sebagai daerah bersifat istimewa. Meskipun demikian, ternyata sejarah berceloteh lain. Desa dan sekian volksgemeenschappen lainnya bernasib buruk, sebab tidak pernah dianggap istimewa.

‘’Sejarah derita’’ pada desa tak perlu berulang. Oleh sebab itulah, sudah saatnya desa dikembalikan pada ‘fitrah’-nya. Desa harus diperlakukan istimewa. Dalam rangka mengistimewakan desa tersebut ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.

Pertama, seyogyanya RUU Desa didukung oleh semua pihak. Pansus DPR dalam rangkaian kunjungan kerja ke China (pada tanggal 6-12 Juli 2012), tak perlu dicurigai jalan-jalan semata, jika pada akhirnya tim penyusun RUU tersebut mampu memahami konsep kedudukan pemerintahan kabupaten, provinsi, dan pemerintahan pusat di sana.

Kunjungan dengan lokasi tujuan di antaranya Hwangsi, yang dulu tergolong desa termiskin dan kini menjadi desa lima besar terkaya di China, tidak mungkin dipermasalahan jika benar-benar memberikan hasil yang maksimal. Dan lebih dari itu, apa yang dipetik bisa diadopsi dan disesuaikan dalam rangka penyusunan RUU Desa.

Kedua, desa tak boleh lagi dipandang sebelah mata. Desa merupakan kekuatan besar yang menjadi pondasi kemajuan negara. Oleh sebab itu, desa harus diberikan wewenang dan akses anggaran lebih longgar. Dengan demikian, dalam kondisi bagaimanapun, desa dituntut cekatan serta cakap dalam mengelola dirinya sendiri. Selain bisa meringankan tugas pemerintah pusat, hal tersebut secara bertahap dapat menjadikan desa selaku salah satu penyokong ekonomi negara, sehingga perekonomian Indonesia akan semakin membaik.

Ketiga, sayap pergerakan ekonomi mulai dini harus diperlebar ke desa. Bukan saatnya lagi mengandalkan kota sebagai satu-satunya penggerak perekonomian negara. Dengan berbagai permasalahan pada kota, desa -yang notabene mempunyai permasalahan lebih sedikit- merupakan alternatif terbaik untuk membantu menjalankan roda perekonomian Indonesia. Keempat, jenis pekerjaan yang semula hanya ada di kota harus tersedia di desa. Sudah barang tentu pekerjaan-pekerjaan yang cocok dengan demografi dan kultur desa. Jangan sampai dengan meluasnya lahan pekerjaan, permasalahan di desa malah ikut bertambah. Hal ini dalam rangka menghindari semakin banyaknya warga desa berhijrah, memburu kerja ke kota. Lagu ‘’Desa’’ (Iwan Fals): Desa harus jadi kekuatan ekonomi/ Agar warganya tak hijrah ke kota/ Sepinya desa adalah modal utama/ Untuk bekerja dan mengembangkan diri//, tampaknya perlu dihayati dan direnungkan.

Hal kedua, ketiga, dan keempat di atas mustahil dapat terrealisir tanpa adanya langkah nyata dari pemerintah. Mulai sekarang pemerintah harus gencar memberdayakan desa. Karena di desalah sejarah peradaban negara bermula. WS Rendra (1977) pernah berkoar dalam ‘’Sajak Sebatang Lisong’’-nya: Kita mesti keluar ke jalan raya/ keluar ke desa-desa/ mencatat sendiri semua gejala/ dan menghayati persoalan yang nyata//.

Jogjakarta, 2012

Riza Multazam Luthfy, Karya-karyanya dimuat di Kompas, Jawa Pos, Seputar Indonesia, Suara Pembaruan, Kedaulatan Rakyat, Pikiran Rakyat, Riau Pos, Radar Surabaya, Malang Post, Radar Malang, Radar Bojonegoro, Sumut Pos, Padang Ekspres, Haluan, Sumatera Ekspres, Jurnal Medan, Analisa, Waspada, Serambi Indonesia, Satelit Post, Basis, Sagang, Sabili, Annida, Okezone.com dan Kompas.com. Ia adalah ahlul mahad Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang. Sedang melanjutkan studi di program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 25 November 2012

No comments: