-- Beni Setia
BANYAK mata acara di Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2012, meskipun fokus utamanya mengarah pada ?Musyawarah Agung Penulis Cerita Silat dan Sejarah Nusantara?, yang diselenggarakan di Awadana Manohara Hotel, Borobudur, Magelang, 28?31 Oktober. Acara di mana para penulis bertemu. Kreator--menurut Yoke Darmawan--tak habis-habisnya mengeksplor berbagai kenyataan dengan mengaktifkan imajinasi. Si yang mengamati, mengumpulkan bahan-bahan dengan riset dan melihat dunia?baik hari ini, di masa silam, bahkan yang dibayangkan mungkin ada di masa depan?bersua. Namun, apa terjadi silaturahmi di antara para kreator itu?
Ternyata kekayaan imajinasi yang mengolah hal yang serba memungkinkan itu terkendala kendali yang dirumuskan sebagai tema Musyawarah. Aspek (cerita) silat itu membatasi sehingga fakta sejarah jadi seberapa jauh itu bisa dijadikan seting lokasi dan postulat tokoh yang senang berkelahi.
Selain itu, mengekslusifkan penerbit yang mau terlibat dalam acara?setidaknya di launching buku. Yang menyebabkan adanya pembicara berlatar belakang ilmu sejarah atau pelaku penelitian pada situs, dokumen, dan cerita (lisan) sejarah secara ilmiah dengan acuan akademik ketat, pun ada penafsir sejarah pengobral imajinasi yang memainkan fantasi ketimbang validasi fakta sejarah.
Pendekatan yang berbeda melahirkan asumsi serta hipotesa kebenaran sejarah yang bergradasi dan melahirkan teks yang sangat lain, yang terkait apa itu buku fiksi dan sejauh mana fiksi membiaskan fakta sejarah, dan apa itu buku fakta dan seberapa kuat fakta itu didukung referensi sahih.
Namun, gradasi itu tidak digarisbawahi, sehingga?selain inflasi kualitas narasumber?terjadi inflasi kualitas buku yang didiskusikan, serta (akhirnya) merontokkan minat peserta akan diskusi yang berlangsung. Minimal ada gap antara yang didiskusikan di ruang seminar, yang merujuk ke karya jadi?Api di Bukit Manoreh, karya S.H. Mintardja, peraih Sang Hyang Kamahayanikan Award 2012, atau Bende Mataram karya Herman Pratikta?,atau karya baru dan sedang diuji pembaca?terutama di forum launching buku dan merujuk ke penulis baru.
Ada semacam kehausan akan pengakuan yang dieksplisitkan. Ada kecemburuan terhadap apresiasi yang telah termanifestasikan jadi kuatnya pengakuan (masyarakat) pembaca atas karya yang dipublikasikan. Semacamn kemarahan, yang berangkat dari asumsi ego kreator yang merasa sama-sama cuma mengolah imajinasi meskipun memakai postulat seting sejarah berbeda, yang merasa bahwa apa pun yang ditulis S.H. Mintardja dan Herman Pratikta tidak jauh berbeda dengan apa yang ditulisnya?bahkan imajinasi dirinya lebih liar. Sekaligus lupa, bahwa menulis itu?sesuai hukum story telling yang merujuk pada seni meyakinkan orang lain yang kini banyak dieksplor salesman?cara untuk meyakinkan pembaca, yang amat tergantung dari apa kualitas dari pembaca.
Pembaca buku silat terlatih, misalnya, sesuai acuan resepsi dari Jauss, terbiasa menjadikan Sin Tiauw Hiap Lu, To Liong To, Soh Sih Kiam, Pendekar Super Sakti, Bende Mataram, atau Nagasastra Sabukinten sebagai standar. Pencinta sejarah akan bersikukuh dengan fakta sejarah dan menolak penafsiran fiksionalistik liar bersidasar superiorias etnik. Dan pengejar sensasi akan puas dengan kelebatan nonsens?terlebih bila dibumbu seksualitas. Lantas di mana tempat pengobral sensasi bertemu dengan si pencari validitas fakta dan dokumen sejarah? Di mana ruang temu dari pengapresiasi kemasifan fakta atau dokumen sejarah dengan penyesap imajinasi liar? Di mana ruang kompromi apresiator akademik fakta sejarah dengan penceracau fantasi?
Ada kecenderungan yang berawal dari toleransi yang bermuara dalam simpati, seperti yang terjadi pada pembicara tertentu di sesi terakhir musyawarah yang betema Napak tilas nusantara. Dan terkadang bermuara pada sikap antipati ekstrem karena merasa ada kekeliruan mendasar dalam pemanfaatan sumber referensi dari penulisan silsilah, atau terhadap sikap arogan bahwa imajinasi pengarang adalah segala-galanya?lupa kalau Roland Barthes sudah menghilangkan pengarang dari teks, sehingga sang pembaca jadi raja atas teks dan bisa semena-mena memperlakukannya. Gradasi itu tak terseberangi, meskipun telah ketat dirumuskan oleh steering committee.
Gagal disipadupadankan dalam seminar serta diskusi selama launching buku di Dunia Tera, padahal hal itu yang sebenarnya ingin dijembatani sehingga terlahir genre cerita silat dan sejarah Nusantara yang berkualitas?seperti diharapkan panitia dengan istilah sastra silat dan sastra sejarah Nusantara itu. Meskipun?ini yang penting?langkah telah dimulai, dan jejak pun tertera?minimalnya sebagian makalah terdokumentasi di buku Memori dan Imajinasi Nusantara: Musyawarah Agung Penulis Cerita Silat & Sejarah Nusantara, Samana Foundation. Magelang, 2012. Dan di tahun depan panitia menjanjikan tema Spices and maritime, yang lebih besar serta siap menayangkan aura trauma kolonial di Nusantara.
Beni Setia, pengarang
Sumber: Lampung Post, Minggu, 25 November 2012
BANYAK mata acara di Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2012, meskipun fokus utamanya mengarah pada ?Musyawarah Agung Penulis Cerita Silat dan Sejarah Nusantara?, yang diselenggarakan di Awadana Manohara Hotel, Borobudur, Magelang, 28?31 Oktober. Acara di mana para penulis bertemu. Kreator--menurut Yoke Darmawan--tak habis-habisnya mengeksplor berbagai kenyataan dengan mengaktifkan imajinasi. Si yang mengamati, mengumpulkan bahan-bahan dengan riset dan melihat dunia?baik hari ini, di masa silam, bahkan yang dibayangkan mungkin ada di masa depan?bersua. Namun, apa terjadi silaturahmi di antara para kreator itu?
Ternyata kekayaan imajinasi yang mengolah hal yang serba memungkinkan itu terkendala kendali yang dirumuskan sebagai tema Musyawarah. Aspek (cerita) silat itu membatasi sehingga fakta sejarah jadi seberapa jauh itu bisa dijadikan seting lokasi dan postulat tokoh yang senang berkelahi.
Selain itu, mengekslusifkan penerbit yang mau terlibat dalam acara?setidaknya di launching buku. Yang menyebabkan adanya pembicara berlatar belakang ilmu sejarah atau pelaku penelitian pada situs, dokumen, dan cerita (lisan) sejarah secara ilmiah dengan acuan akademik ketat, pun ada penafsir sejarah pengobral imajinasi yang memainkan fantasi ketimbang validasi fakta sejarah.
Pendekatan yang berbeda melahirkan asumsi serta hipotesa kebenaran sejarah yang bergradasi dan melahirkan teks yang sangat lain, yang terkait apa itu buku fiksi dan sejauh mana fiksi membiaskan fakta sejarah, dan apa itu buku fakta dan seberapa kuat fakta itu didukung referensi sahih.
Namun, gradasi itu tidak digarisbawahi, sehingga?selain inflasi kualitas narasumber?terjadi inflasi kualitas buku yang didiskusikan, serta (akhirnya) merontokkan minat peserta akan diskusi yang berlangsung. Minimal ada gap antara yang didiskusikan di ruang seminar, yang merujuk ke karya jadi?Api di Bukit Manoreh, karya S.H. Mintardja, peraih Sang Hyang Kamahayanikan Award 2012, atau Bende Mataram karya Herman Pratikta?,atau karya baru dan sedang diuji pembaca?terutama di forum launching buku dan merujuk ke penulis baru.
Ada semacam kehausan akan pengakuan yang dieksplisitkan. Ada kecemburuan terhadap apresiasi yang telah termanifestasikan jadi kuatnya pengakuan (masyarakat) pembaca atas karya yang dipublikasikan. Semacamn kemarahan, yang berangkat dari asumsi ego kreator yang merasa sama-sama cuma mengolah imajinasi meskipun memakai postulat seting sejarah berbeda, yang merasa bahwa apa pun yang ditulis S.H. Mintardja dan Herman Pratikta tidak jauh berbeda dengan apa yang ditulisnya?bahkan imajinasi dirinya lebih liar. Sekaligus lupa, bahwa menulis itu?sesuai hukum story telling yang merujuk pada seni meyakinkan orang lain yang kini banyak dieksplor salesman?cara untuk meyakinkan pembaca, yang amat tergantung dari apa kualitas dari pembaca.
Pembaca buku silat terlatih, misalnya, sesuai acuan resepsi dari Jauss, terbiasa menjadikan Sin Tiauw Hiap Lu, To Liong To, Soh Sih Kiam, Pendekar Super Sakti, Bende Mataram, atau Nagasastra Sabukinten sebagai standar. Pencinta sejarah akan bersikukuh dengan fakta sejarah dan menolak penafsiran fiksionalistik liar bersidasar superiorias etnik. Dan pengejar sensasi akan puas dengan kelebatan nonsens?terlebih bila dibumbu seksualitas. Lantas di mana tempat pengobral sensasi bertemu dengan si pencari validitas fakta dan dokumen sejarah? Di mana ruang temu dari pengapresiasi kemasifan fakta atau dokumen sejarah dengan penyesap imajinasi liar? Di mana ruang kompromi apresiator akademik fakta sejarah dengan penceracau fantasi?
Ada kecenderungan yang berawal dari toleransi yang bermuara dalam simpati, seperti yang terjadi pada pembicara tertentu di sesi terakhir musyawarah yang betema Napak tilas nusantara. Dan terkadang bermuara pada sikap antipati ekstrem karena merasa ada kekeliruan mendasar dalam pemanfaatan sumber referensi dari penulisan silsilah, atau terhadap sikap arogan bahwa imajinasi pengarang adalah segala-galanya?lupa kalau Roland Barthes sudah menghilangkan pengarang dari teks, sehingga sang pembaca jadi raja atas teks dan bisa semena-mena memperlakukannya. Gradasi itu tak terseberangi, meskipun telah ketat dirumuskan oleh steering committee.
Gagal disipadupadankan dalam seminar serta diskusi selama launching buku di Dunia Tera, padahal hal itu yang sebenarnya ingin dijembatani sehingga terlahir genre cerita silat dan sejarah Nusantara yang berkualitas?seperti diharapkan panitia dengan istilah sastra silat dan sastra sejarah Nusantara itu. Meskipun?ini yang penting?langkah telah dimulai, dan jejak pun tertera?minimalnya sebagian makalah terdokumentasi di buku Memori dan Imajinasi Nusantara: Musyawarah Agung Penulis Cerita Silat & Sejarah Nusantara, Samana Foundation. Magelang, 2012. Dan di tahun depan panitia menjanjikan tema Spices and maritime, yang lebih besar serta siap menayangkan aura trauma kolonial di Nusantara.
Beni Setia, pengarang
Sumber: Lampung Post, Minggu, 25 November 2012
No comments:
Post a Comment