Wednesday, November 21, 2012

Petualangan Seno Gumira Ajidarma

-- Monalisa

NAMA Seno Gumira Ajidarma atau SGA mungkin tidak akan mengemuka di dunia sastra kalau puisi pertamanya tidak dimuat di majalah Aktuil.

Seno Gumira Ajidarma (Kompas/was)

"Saya tidak akan terus menulis barangkali, jika puisi pertama saya tidak dimuat di majalah Aktuil," kata Seno, yang sampai sekarang masih menjalani profesi sebagai wartawan dan fotografer.

Remy Sylado, redaktur majalah yang menjadi bacaan wajib anak muda Indonesia tahun 1970-an itu, rupanya punya andil cukup besar dalam mendorong Seno untuk menulis.

Remy meloloskan puisi Seno, yang dia sebut puisi cukup "jelek." Pada masa itu Remy menyuntikkan eksperimen sastra mbeling yang mempengaruhi Seno, yang ketika itu mulai meraba-raba dunia sastra.

"Bung Remy saya kira berpengaruh besar. Dia bisa menghancurkan mitos sastra. Saya mengalami itu, dunia sastra mbeling yang dikembangkan Remy Sylado," kata Seno.

Seno akhirnya malang melintang di dunia sastra Indonesia dengan gaya penulisannya yang khas, meramu kritik politis dengan cerita fiksi yang indah.

Kredibilitas Seno kini tidak diragukan lagi. Sederet penghargaan telah ia terima, termasuk diantaranya Sea Write Awards (1987), Dinny O'Hearn Prize for Literary (1997), serta meraih Khatulistiwa Literary Awards tahun 2004 dan 2005.

Tahun 2012 pria yang lahir di Boston pada 19 Juni 1958 itu juga mendapatkan Achmad Bakrie Awards, namun dia menolak menerimanya.

Esais Damhuri Muhamad menyebut setiap detak napas kepengarangan Seno yang ditemukan pada beberapa karyanya seperti "Saksi Mata", "Penembak Misterius", "Jazz, Parfum dan Insiden" serta "Kematian Donny Osmond" adalah fakta-fakta kisah pembunuhan biadab, juga kekerasan atas nama keamanan, yang dimainkan menjadi deretan prosa.

"Semua itu berubah menjadi tepung imajinasi yang tidak dapat dipilah lagi mana fakta, mana fiksi. Keduanya menyatu, berkelit-kelindan, bersenyawa dalam sebuah adonan bernama cerita," kata Damhuri dalam Bincang Tokoh Dewan Kesenian Jakarta Rabu (14/11) lalu.

Teknik meramu itu tampaknya membuat Seno bebas menghadirkan fakta secara tersirat di tengah kondisi sosial politik yang ingin "membungkam kebenaran."

Seno yang berprofesi sebagai wartawan memilih bicara lewat sastra saat jurnalisme masih dikekang.

Pendekar cerpen

Guru Besar Sastra Universitas Indonesia, Melani Budianta, mengibaratkan Seno sebagai pendekar cerpen Indonesia yang piawai.

"Misinya tidak lepas untuk melakukan kritik terhadap kekuasaan, solidaritas terhadap orang yang terpinggirkan, perjuangan yang sifatnya kemanusiaan tetapi dengan cara yang berbeda," jelas Melani.

Kalau meminjam istilah dunia persilatan, Melani menjelaskan, Seno terlahir dari perguruan sastra tahun 1950-an dan 1960-an.

Seno tumbuh dalam dunia petualangan Karl May, karya klasik "Sebatangkara" oleh Hector Mallot dan "Tom Sawyer" karya Samuel Langhorne Clemens (Mark Twain), serta komik wayang R.A. Kosasih dan komik petualangan Jan Mintaraga.

"Dunia imajinasi yang hingar bingar dan meriah di masa remaja itulah yang membangkitkan gairah imajinasi dan eksplorasi ke dunia mengarang pada diri Seno Gumira Ajidarma," kata Melani.

Imajinasi itu membawa Seno mengembara, menjelajah

Selepas Sekolah Menengah Pertama (SMP), Seno melakukan perjalanan ke Pulau Sumatera selama tiga bulan karena terasuki cerita Karl May tentang petualangan Old Shatterhand dan kepala suku rimba Apache, Winnetou.

Waktu itu Seno belum mengetahui fakta yang kemudian membuatnya kecewa, yakni bahwa cerita Karl May hanya karangan belaka.

Bak pendekar, ia mengembara menelusuri hutan-hutan Sumatera yang masih perawan dan berlumpur, menyaksikan langsung bis-bis yang harus menyeberangi kali dengan getek, rumah-rumah yang masih bisa diangkut, dan menjadi buruh pabrik kerupuk di Medan, Sumatera Utara, selama sebulan.

"Orang dulu bilangnya minggat. Maunya keliling Indonesia tetapi rupa-rupanya pulang lagi," kata ayah fotografer Timur Angin itu.

"Yang didapat banyak, banyak sekali. Seru," kenangnya.

Meski akhirnya kembali lagi ke rumah dan meneruskan sekolah, jiwa petualang Seno terus melesak-lesak.

Putra fisikawan dan pakar energi surya, Prof. MSA Sastroamidjojo, itu pun kemudian memilih jalannya sendiri, berpetualang menjadi seniman.

Setelah puisinya dimuat di majalah Aktuil, ia tertantang untuk mengirimkan puisi ke majalah Horison dan berhasil menembus majalah sastra itu saat berusia 17 tahun.

Gaya khas

Pada usia 19 tahun Seno mulai menggeluti profesi wartawan. Saat itu pula dia menikahi Ikke Susilowati dan memantapkan diri hidup di dunia sastra dan jurnalistik, meski dia mengambil jurusan sinematografi di Insitut Kesenian Jakarta (dulu LPKJ).

Cerpen demi cerpen ia garap dan lama kelamaan gaya bercerita khas terlihat dalam karya-karyanya, seperti cerita-cerita untuk Alina, tokoh Sukab, dan romantisme senja.

Menurut Melani, Seno bereksperimen dari satu cerpen ke cerpen lain. Dan dia kadang memainkan cerita yang berbingkai, atau bermain-main dengan majas hiperbola dan metafora dalam imaji dan alur yang penuh kejutan.

"Akhirnya ia menemukan gayanya, gaya Seno yang menjadi ciri khasnya, yang seringkali disebut surealistis. Gaya yang main-main, penuh dengan kritik sosial dan politik," katanya.

Seno, yang sempat menggunakan nama samaran Mira Sato, membebaskan imajinasinya dengan mencoba berbagai wahana.

Ia meluaskan audiensnya lewat karya komiknya atau naskah drama "Mengapa Kau Culik Anak Kami" serta menovelkan film yang sudah jadi, "Biola Tak Berdawai."

"Sifat mbeling-nya pun sampai pada novel tebalnya, Nagabumi, yang kadang bisa membuat kita tertawa tetapi juga jengkel," tambah Melani.

Ratusan karya

Pengembaraan Seno dalam dunia sastra sudah membuahkan ratusan cerpen, 12 antalogi cerpen, delapan novel, tiga komik, dan macam-macam karya lainnya.

Seno, yang menyebut kreativitas menulisnya "tergantung keadaan" dan tidak memiliki ritual khusus untuk menulis, tidak secara khusus mempelajari teknik menulis untuk menghasilkan karya-karyanya.

"Perkara ketrampilan dan teknik, sebetulnya tidak pernah saya sadari bagaimana mempelajarinya kecuali sering menulis saja. Itu tergantung keadaan," ujar Seno.

Saat masih sibuk bekerja di lapangan sebagai wartawan dan hanya punya sedikit waktu untuk menulis, dia akan lebih sering membuat cerita pendek.

Dia membuat novel pertamanya, "Jazz, Parfum dan Insiden," saat dicekal oleh perusahaan tempat dia bekerja.

"Jadi nganggur dan waktunya ada. Itu obsesi saya yang saat menjadi wartawan tidak bisa tersalur," kata seniman berambut gondrong itu.

Seno juga mengaku tidak pernah pusing memikirkan aliran tulisannya, dan apakah tulisannya bagus atau tidak. Dia menyerahkan semuanya kepada pembaca.

Yang pasti dia berkarya seiring dengan pergulatan hidup. Saat dia menjadi penghayat senja yang menganggap senja itu romantis, ia menuangkannya dalam "Negeri Senja" dan "Sepotong Senja Untuk Pacarku."

"Tetapi itu dulu, sekarang tidak romantis lagi. Perhatiannya sudah beda, sudah berubah," kata Seno yang sekarang juga menjadi dosen.

Petualangan Seno sampai sekarang masih berlanjut dan dia akan terus berkarya. "Setiap saat bisa, asal pengen," katanya. (ANT)

Sumber: Oase, Kompas.com, Rabu, 21 November 2012

No comments: