Sunday, November 25, 2012

[Artikulasi] Mari Menulis

-- Utami Diah Kusumawati

Menulis kini bukan lagi wewenang para profesional seperti sastrawan dan wartawan. Orang awam pun bisa menulis asal ada kemauan. Bagaimana dengan Anda?

ANDA tertarik untuk menulis? Jangan ragu, menulis saja. Kini banyak contoh orang awam seperti karyawan, ibu rumah tangga, dosen, pengusaha, membuat buku ataupun novel. Siapa pun kini bisa membuat karya tulis dengan cara dan kemampuannya masing-masing. Tentu saja jangan membandingkan tulisan para orang awam tersebut dengan karya para sastrawan. Namun, membaca dan mempelajari hasil karya mereka tentunya tidaklah dilarang, malah justru bagus untuk membantu meningkatkan kualitas tulisan kita.

Oka Rusmini, misalnya, yang terkenal dengan gaya penceritaan yang mengalir dan terutama membahas persoalan perempuan. Atau Clara NG yang lebih banyak mengeksplorasi tentang kisah persoalan manusia urban - kontemporer. Dia termasuk produktif menghasilkan karya novel dan aktif di sastra cyber.

Ada pula Okky Madasari (28) yang telah menyelesaikan dua novelnya, "Entrok" dan "86" yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Okky awalnya bekerja sebagai wartawan di salah satu koran nasional di Jakarta. Namun, setelah menikah, atas dorongan dan dukungan suaminya ia memutuskan untuk fokus menulis novel dan keluar dari tempat bekerjanya. Di salah satu halaman novel pertamanya, Okky menulis bahwa ide novel pertamanya berasal dari keluarga besarnya di Magetan, tempat dia pertama kali belajar tentang kesetaraan dan toleransi. Dia juga menyatakan, banyak belajar tentang kesewenang-wenangan, ketidakadilan, dan kekerasan selama menjalani kerjanya sebagai wartawan. Pada awalnya dia menulis novel pertamanya untuk teman-teman dekatnya dan para pembaca setia blong-nya.

"Bisa selesai nulis novel tuh rasanya lega banget," kata Andina (27).

Andina ditemui usai acara "Bincang Tokoh DKJ" di Taman Ismai Marzuki Jakarta, beberapa waktu lalu. Perempuan ini akhirnya berhasil menyelesaikan novelnya yang pertama dan mengirimkannya untuk disertakan dalam lomba Penulisan Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta 2012. Meski dia tidak menargetkan menjadi juara, tetapi lomba tersebut baginya merupakan perayaan karena telah berhasil menyelesaikan apa yang telah dia mulai, yakni menulis novel perdananya. Andina mulai menulis novelnya sekitar setahun lalu. Sempat terhenti akibat kesibukan kerjanya sebagai wartawan. Namun, akhirnya kerja kreatifnya selesai juga pada bulan Agustus tahun ini.

Sedangkan Wa Ode Wulan Ratna, cerpenis yang mendapatkan penghargaan Khatulistiwa Literary Award untuk kumpulan cerita pendek berjudul "Cari Aku di Canti" pada tahun 2008 mengatakan, dia berhasil menyelesaikan lima belas cerita pendeknya tersebut dalam waktu setahun. Sebelumnya ke-15 cerpennya itu telah diterbitkan di beberapa media dan memenangkan beberapa sayembara cerpen. Khatulistiwa Literary Award sendiri merupakan sebuah penghargaan sastra yang digagas oleh Richard Oh dan diberikan kepada cerpenis, penyair, dan novelis.

Wa Ode, yang juga bekerja sebagai dosen di salah satu perguruan tinggi swasta di Jakarta, mengatakan, dia menulis di sela kegiatannya sehari-hari yang sibuk.

"Aku menyiasatinya dengan banyak membaca buku berisi topik tentang hal-hal yang ingin kutulis dalam ceritaku saat mengajar dan mengurus kegiatan, di antaranya tentang HAM, Melayu, dan edukasi. Sementara saat libur bekerja, barulah aku menulis. Sebenarnya menulis itu proses yang sangat cepat kalau kita sudah tahu apa yang mau ditulis. Jika mengalami kebuntuan, biasanya disebabkan oleh pengetahuan baca yang kurang," katanya seperti memberi kiat.

Wa Ode mengatakan, dibutuhkan disiplin khusus untuk menyelesaikan sebuah tulisan. Dia misalnya menyisihkan waktu pada bulan puasa - di mana biasanya volume pekerjaannya jadi lebih sedikit - khusus untuk menulis.

Senada denganWa Ode, WidaWarida, cerpenis dan penyair asal Jawa Barat, yang juga seorang ibu rumah tangga mengatakan, dia menyisihkan waktu saat malam- saat anak-anaknya sudah terlelap - untuk menulis. Dia biasa menulis tepat pukul 12 malam hingga saat siang, sebelum kembali memulai pekerjaan domestik dan mengurus anak.

"Dulu waktu saya belum menikah, saya punya banyak waktu untuk menulis. Saya juga sering pergi keluar dengan teman-teman untuk berdiskusi, sehingga banyak pengetahuan dan motivasi untuk menulis," kata perempuan yang telah menghasilkan karya cerpen berjudul Perempuan dalam Reruntuhan Musim dan Pada Lelaki Harian Rimba ini.

Wida mengatakan, ada perubahan waktu yang dialaminya sebelum dan sesudah menikah. Dia mengaku sempat mengalami demotivasi menulis usai menikah. Hal itu disebabkan oleh rutinitas dan lingkup pergaulan domestik yang mengurangi waktunya untuk menulis. Dia, yang tadinya disibukkan oleh lingkup aktivitas diskusi, kini sibuk mengurusi anak, memasak, merapihkan rumah dan melakukan pekerjaan dosmetik lainnya setiap hari. Hal itu ia rasakan sempat membatasi ruang kreatifnya.

"Tetapi, akhirnya saya berpikir saya mesti mencari cara untuk kembali bisa menulis. Saya tak bisa hanya diam di rumah tanpa menghasilkan karya," katanya.

Akhirnya, ia mengatur waktunya. Jika pagi hingga (awal) malam dihabiskan untuk pekerjaan domestik, maka (larut) malam hingga siang - waktu di mana dia terbebas dari urusan domestik -- dihabiskannya untuk menulis. Untuk menambah pengetahuannya, dia banyak membaca buku dan bergabung dengan komunitas menulis -- Komunitas Ibu Doyan Nulis-- yang memberikannya peluang untuk mengirimkan karya. Komunitas menulis tersebut kemudian membuka seleksi pengarang untuk membuat antologi bersama.

"Meskipun jadi ibu rumah tangga, kalau rajin ikutan komunitas menulis, peluang akan banyak terbuka," katanya.

Interaksi Pembaca-Pengarang

Melihat fenomena munculnya penulis-penulis baru di masyarakat, Melanie Budianta, pengamat dan kritikus sastra dan dosen dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia menyikapinya secara positif. Menurutnya, generasi penulis sekarang berbeda dengan generasi penulis pada masa lalu. Sekarang adalah era digital, maka penulis era sekarang akrab dengan media sosial seperti twitter, facebook, atau blog. Tantangannya adalah bagaimana bisa memperkaya isi tulisan penulis sekarang dengan melakukan banyak diskusi dan proyek penulisan bersama.

"Sekarang adalah momen kolektif di mana sastra dan tulisan datang dengan berbagai bentuk. Generasi dahulu sebaiknya merangkul generasi muda sekarang untuk menghasilkan tulisan yang jauh lebih berkualitas," katanya memberi saran.

Senada dengan Melanie, Reno Azwir, editor akuisisi dari Noura Books (Mizan Group) mengatakan, penting bagi seorang pengarang untuk mengelola pembacanya melalui situs jejaring social seperti facebook, twitter, linkedln, atau blog. Pasalnya, psikologi pembaca di zaman sekarang berbeda dengan lima tahun lalu. Saat ini, pembaca sudah lebih terbuka terhadap pengarang.Tak jarang, kata Reno, pembaca ‘curhat' di twitter pengarangnya, baik mengenai isi buku atau pun persoalan keseharian mereka. Untuk bisa bertahan di pasaran, Reno menyarankan agar pengarang rajin mengelola pembacanya melalui media digital.

"Peluang untuk menerbitkan buku terbuka luas bagi siapa pun asalkan memenuhi criteria atau visi dan misi penerbitan, memiliki tema kuat dan unik yang tidak dimiliki pengarang lain, ada gaya bahasa yang kuat, hingga karakternya cocok untuk segmen pasar tertentu. Mizan sendiri sebulan bisa menerbitkan sampai 15 naskah. Kami mencari naskah dengan dua cara, berdasarkan kiriman sinopsis atau review oleh pengarang dan mencari lalu menghubungi langsung pengarangnya," ujarnya.

Dia mengatakan, saat ini, bukan eranya lagi pengarang mengirimkan naskah dan menunggu karyanya diterbitkan oleh penerbit. Pasalnya, penerbitan kini memperlakukan sistem yang berbeda pada naskah yang diterima.Kalau dinilai naskah tak berpotensi diterima di masyarakat, penerbit tak segan langsung menolak untuk terbit. Kalau dinilai layak, akan diterbitkan dalam sistem print on demand atau penerbit akan mencetak buku sesuai dengan permintaan pasar. Sistem promosinya melalui website online penerbitan sendiri. Selama beberapa waktu penerbitan lantas akan menilai apakah masyarakat menyukai karya tersebut atau tidak. Jika iya, maka karya tersebut baru akan dicetak menjadi buku. Proses tersebut menuntut pengarang untuk lebih mahir dalam merangkul pembaca dan memasarkan karyanya sendiri.

Jadi, saat ini peluang untuk menulis dan menerbitkan naskah bagi pengarang pemula sebenarnya sangat terbuka, namun era digital menuntut pengarang untuk bisa lebih mandiri dalam merangkul pembaca karya-karyanya sendiri. Nah, kalau Anda memahami hal ini, mengapa tidak segera menulis saja. Mari tulis apa saja yang bisa kita tulis.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 25 November 2012

No comments: