-- Junaidi
BULANG Cahaya lebih terkenal sebagai judul novel yang dikarang Rida K Liamsi dari pada judul sebuah sajak. Kritikus seperti Maman S Mahayana dan Musa Ismail telah mengulas novel ini. Bahkan Marhalim telah mengangkat novel ini ke dalam bentuk pertunjukkan dengan judul ‘’Opera Bulang Cahaya’’. Saya terusik untuk mengulas ‘’Bulang Cahaya’’ dalam bentuk sajak yang ternyata lebih dahulu ada dari pada novel. Dalam blog pribadi Rida K Liamsi, sajak ‘’Bulang Cahaya’’ terhimpun dalam kumpulan puisi Tempuling. Berdasar catatan pada bagian akhir sajak ‘’Bulang Cahaya’’, sajak ini lebih awal ditulis dari pada novel Bulang Cahaya, yakni tahun 1977/2011. Ini menandakan sajak ‘’Bulang Cahaya’’ sangat penting bagi kehadiran novelnya. Agaknya, sajak ‘’Bulang Cahaya’’ jadi saripati dari novel Bulang Cahaya. Sajak ‘’Bulang Cahaya’’ menjadi ruh dalam penyusunan cerita yang terdapat dalam novel Bulan Cahaya.
Diperlukan energi ekstra untuk memaknai sajak ini karena terdapat kata-kata Melayu lama yang perlu dicarikan rujukannya pada kamus bahasa Melayu. Penggunaan metafora berlatarbelakang Melayu juga membuat saya harus memainkan pikiran pada alam Melayu. Namum, alur pikir yang mantap dan permainan irama yang elok mendorong saya terus berpikir, merasakan dan menulis penafsiran sajak ini. Pembacaan sajak ‘’Bulang Cahaya’’ yang saya lakukan bisa saja beda dengan pembacaan yang dilakukan orang lain. Bahkan penafsiran yang saya buat mungkin beda dengan intensi penyairnya. Ini sangat mungkin terjadi sebab pembacalah yang memaknai suatu karya. Bahkan ketika sajak itu dibaca, pada saat itulah pemaknaan sesungguhnya terjadi. Jadi kita sebagai pembaca punya hak otonomi untuk menafsirkan karya sastra. Penafsiran yang saya lakukan hanya berdasar rujukan yang ada, perenungan dan permainan pikiran. Sepanjang saya mampu memberi justifikasi terhadap penafsiran yang saya buat maka penafsiran itu bisa diterima adanya.
Proses pembacaan sajak ‘’Bulang Cahaya’’ diawali dengan meneroka judulnya. Judul sajak ini terdiri atas dua kata ‘’bulang’’ dan ‘’cahaya’’. Perlu diingat yang digunakan kata bulang bukan bulan. Tak ada salah ketik di sini. Kata bulang nyaris tak terdengar penggunaannya dalam bahasa sehari-hari. Mau tak mau, kata bulang harus dilacak maknanya pada rujukan yang ada karena maknanya sangat penting dalam proses pemaknaan sajak ini secara keseluruhan. Rujukan pertama yang bisa dipertimbangkan adalah pengakuan Rida K Liamsi dalam pengantar novel Bulang Cahaya, yakni (bulang cahaya) tak serta-merta merujuk dan menunjuk pada nama tokoh- tokoh dalam novel ini. Tidak juga untuk menandai peristiwa-peristiwa utamanya yang jadi teras novel ini. Judul ini lebih dimaksudkan untuk melambangkan sebuah sisi kehidupan, sebuah percikan waktu dan dinamika hidup, di mana cinta, harapan, dendam, benci dan ketidakberdayaan menyatu dan berbancuh di dalamnya. Bila dilihat pada penafsiran yang ditulis Musa Ismail (Riau Pos, 13 Desember 2009) terhadap novel Bulang Cahaya, kata bulang cahaya merujuk pada dua hal, yakni Kampung Bulang (tempat Tengku Buntat pernah tinggal) dan panggilan kesayangan Raja Djaafar pada Tengku Buntat. Menariknya, sajak ini ditulis sebelum novel itu ada. Sehingga penafsiran bulang cahaya berdasar novel Bulang Cahaya tampaknya tak sesuai diterapkan dalam menafsirkan sajak ‘’Bulang Cahaya’’. Alhasil, kita harus menafsirkannya sendiri.
Rujukan kedua yang mungkin membantu kita untuk menemukan makna bulang dengan melihat Kamus Bahasa Indonesia (2008), yakni: 1. kain dsb yg dililitkan pd kepala; 2 perhiasan dr emas yg dipakai pengantin di kepala; 3 a tali pengika taji; b cara mengikat taji pd kaki ayam sabungan. Tampaknya, arti dalam Kamus Bahasa Indonesia tidak terlalu membantu untuk mencari makna bulang. Rujukan ketiga yang sangat membantu untuk menemukan makna bulang adalah Kamus Dewan (2005), yakni Kamus Bahasa Melayu yang diterbitkan di Malaysia. Dalam kamus ini diperoleh makna yang bisa mengarahkan kita untuk menafsirkan kata bulang, yakni: 1.kain dll yang dililitkan pada kepala a) ikat kepala b) sl [sastra lama] kekasih 2. pengikat taji. Arti kata yang paling mendekati adalah ‘kekasih’, yang dahulunya digunakan dalam sastra lama. Mengapa kata kekasih yang paling mendekati? Bila diamati secara mendalam, puisi ini memang berisikan perasaan mendalam seorang terhadap kekasihnya. Penggunaan kata bulang memberikan kesan bahwa gagasan yang terkandung dalam sajak ini sangat ‘Melayu’ sehingga ketika kita membaca sajak ini kita harus melewati pintu gerbang alam Melayu. Dengan masuk ke alam Melayu, perabaan kita terhadap tanda-tanda yang terdapat dalam puisi ini akan lebih mendekati. Penggunaan kata bulang memberi kesan khas dan tidak klise sebab kata ini sangat jarang digunakan. Pengangkatan kembali kosa kata lama ke dalam karya sastra masa kini menunjukkan ketekunan penyair dalam menggali alam pikiran yang melatarbelakangi penciptaan sajaknya. Selain itu, penggunaan kata lama juga memberikan kontribusi dalam penyelamatan kosa kata tertentu agar tidak punah.
Bagaimana pula makna cahaya yang mengikuti kata bulang? Kata cahaya bermakna percikan waktu. Lebih jelas lagi, cahaya bermakna sepenggal pengalaman cinta yang dirasakan aku lirik terhadap kekasihnya. Kata cahaya menegaskan betapa singkatnya pengalaman cinta itu dan harus pula berakhir dengan perpisahaan. Pengalaman cinta hadir dalam waktu singkat, setelah itu berakhir seperti hilangnya cahaya. Bila hendak ditegaskan, gabungan bulang cahaya bermakna pengalaman jatuh cinta dalam waktu sesaat saja. Artinya, aku lirik merasakan begitu singkatnya cinta. Kenikmatan jatuh cinta yang dirasakan harus berakhir dengan perpisahan antara aku lirik dan kekasihnya.
Puisi ini dibuka dengan gambaran seekor elang putih: Elang putih//berekor panjang//mengigal berahi//di ujung tanjung//mengirim isyarat//ke semua pintu.
Elang putih adalah sejenis burung buas yang memiliki penglihatan tajam dan banyak ditemukan di daerah lautan. Elang putih dikenali punya kekuatan, keberanian dan ketajaman mata. Sosok elang putih menandai seorang laki-laki yang gagah dan perkasa. Dalam sajak ini, elang putih merupakan tamsil seorang laki-laki yang sedang memiliki perasaan cinta yang sangat kuat pada kekasihnya. Sang laki-laki ingin menyampaikan pesan bahwa ia sedang jatuh cinta. Kata mengigal berasal dari kosa kata Melayu dan jarang digunakan dalam bahasa Indonesia saat ini. Ungkapan mengigal berahi mengisyaratkan perasaan cinta yang sangat mendalam. Frasa ujung tanjung semakin memperkuat latar kehidupan laut dalam sajak ini. Frasa semua pintu mengisyaratkan bahwa elang putih sebagai aku lirik ingin menyampaikan kepada dunia betapa besar cinta kepada kekasihnya.
Pada bait berikutnya aku lirik secara jelas menyampaikan perasaan cintanya: terima cintaku//cinta tak berkeris//cinta tak bersuku//cinta yang tak tersurat//dalam lagu-lagu.
Ungkapan cinta tak berkeris dan cinta tak bersuku menarik untuk ditafsirkan. Kata ini membuat orang berpikir secara mendalam untuk menafsirkannya. Ungkapan cinta tak berkeris bisa ditafsirkan sebagai cinta yang sangat tulus atau cinta yang lurus tidak seperti keris yang berkeluk-keluk. Ketulusan cinta aku lirik semakin dipertegas dengan ungkapan cinta tak bersuku, yang bermakna cinta yang tidak berbagi dengan orang lain. Artinya, cinta aku lirik hanya untuk kekasihnya. Sedangkan ungkapan cinta yang tak bersurat//dalam lagu-lagu merujuk pada ketulusan cinta yang sangat mendalam dan tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata seperti yang terdapat dalam lagu-lagu. Dalam lagu memang sering didengarkan betapa sangat mudah orang mengucapkan kata cinta secara artifisial.
Pada bagian berikutnya, aku lirik terus mengungkapkan perasaannya: Angin berkisar//perahu berlayar//ku dengar sendumu//di ujung sitar. Ungkapan perahu berlayar mempertegas suasana lautan yang melatarbelakangi penciptaan sajak ini. Ungkapan perahu berlayar bertujuan untuk memberikan suasa yang sedih ketika diikuti oleh ungkapan ku dengar sendumu//di ujung sitar. Kata sendu memberikan kesan bahwa kekasih aku lirik juga berada dalam perasaan sedih karena ditinggalkan aku lirik. Dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008) tidak ditemukan kata sitar tetapi dalam Kamus Dewan (2005) kata sitar bermakna sejenis alat bunyi bunyian yang bertali (seperti kecapi). Bagaimana menafsirkan kata sitar ini dalam hubungannya dengan perasaan sedih? Di sini penyair tampaknya dengan bebas memainkan imajinasinya untuk menyampaikan betapa dramatisnya suasana pada saat kekasih aku lirik sedang bersedih melepas kepergiannya seolah-olah diringi oleh dentingan senar sitar yang khas.
Rasa kehilangan aku lirik terhadap kekasihnya diungkapan seperti layang-layang yang putus benangnya: layang-layang//bertali benang//putus benang//tali belati//cinta ku lepas, cinta ku kenang//cinta sejati, ku biar pergi//hati ku kusut//rindu ku hanyut//berahi ku luput. Perumpamaan layang-layang yang putus benangnya bermakna hilang pegangan hidup atau pujaan hati aku lirik karena harus berpisah dengan kekakasihnya. Dalam bagian ini digambarkan layang-layang bertali benang dengan tali belati. Ini bermakna betapa kuatnnya hubungan cinta mereka seperti kuatnya tali belati. Meskipun talinya kuat, akhirnya putus juga. Aku liriknya mengakui bahwa cintanya telah berakhir tapi ia akan kenang selalu sebagai suatu kisah yang bermakna dalam kehidupannya. Cinta sejati ini harus ditinggalkan meskipun hatinya terasa sedih. Penggunaan kata rindu kuhanyut semakin memperkuat berakhirnya cinta aku lirik. Kesan makna lebih mendalam diungkap dengan kata hanyut. Hilangnya harapan aku lirik untuk hidup dengan kekasihnya diperkuat lagi dengan berahi ku luput. Ada penekanan makna perasaan cinta lagi di sini dengan penggunaan kata berahi.
Kegundahan hati aku lirik disebabkan kehilangan kekasihnya dilanjutkan pada bait berikut ini: Ombak gemuruh//mengobar dendam//membakar hari//mengubur mimpi//mengirim rindu//ke semua pintu. Ungkapan ombak gemuruh memberikan makna perasaan berkecamuk dalam diri aku lirik dan perasaan sakit hati yang sangat mendalam ditunjukkan dengan ungkapan mengobar dendam. Ada kemarahan dalam diri aku lirik karena berpisah dengan kekasihnya. Ungkapan membakar hari bermakna melenyapkan semua kisah indah yang pernah dirasakan dengan kekasihnya. Selanjunnya, ungkapan mengubur mimpi bermakna hilang sudah harapan aku lirik untuk hidup bersama dengan kekasihnya. Rasa pedih ditinggal kekasihingin dikabarkan aku lirik kepada dunia.
Pada bait berikut ini penyair semacam menyampaikan pedih cinta yang dirasakannya: Inilah cinta ku//ku dulang jadi timah//ku pahat jadi patung//ku rendam jadi rempah//ku gulai bagai rebung//ku simpan duka ku//sampai ke ujung. Tamsil yang digunakan untuk menjelaskan cinta pada bagian ini menarik untuk ditafsirkan. Ungkapan ku dulang jadi timah bermakna aku lirik telah berupaya merajut cinta dengan kekasihnya dengan perumpamaan melinang atau mencuci biji-biji timah. Mengapa cinta menjadi timah? Agaknya cinta aku lirik telah membeku seperti logam atau timah sehingga tak ada lagi harapan untuk bersama dengan kekasihnya. Ungkapan ku pahat jadi patung bermakna cinta aku lirik dan kekasihnya ternyata tak bergerak atau statis seperti patung. Ungkapan ku rendam cinta menjadi rempah bermakna cinta hilang atau tak tampak lagi seperti zat atau rempah yang telah larut dalam makan sehingga tak tampak lagi. Selanjutnya, ada pula ungkapan ku gulai bagai rebung. Apa hubungannya cinta dengan gulang rebung? Mengapa rebung? Rebung adalah anak (bakal batang) buluh yang masih kecil. Ini bermakna cinta aku lirik belum sampai pada tujuannya tapi sudah putus ibarat rebung yang belum menjadi buluh tapi sudah digulai orang.
Pada bagian akhir bait ini, aku lirik mengakui bahwa ia memendam kesedihan karena berpisah dengan kekasihnya sampai akhir hidup. Bagi aku lirik, kisah cintanya sangat berkesan dalam hidupnya.
Dalam bait selanjunya aku lirik kembali menyampaikan perasaan cinta yang kandas dengan menggunakan kata-kata yang mengandung emosi marah: kemarau menderau//padang kerontang//sedih//pedih//dendam//rindu//sangkak//pantang//sumpah//seranah//jadi barah// jadi luka//sejarah. Kemarau memberikan makna betapa sakitnya hati aku lirik. Menariknya, kemarau diikuti kata menderau. Ini menunjukkan kondisi kontradiktif sebab yang menderau atau berbunyi itu biasa hujan bukan kemarau. Dalam Kamus Dewan (2005) kata menderau bermakna berbunyi seperti bunyi hujan yang dibawa angin. Kontradiksi ini sengaja digunakan untuk mengunggapkan suasana tak menentu atau berkecamuk yang dirasakan aku lirik kerena berpisah dengan kekasihnya. Padang kerontang semakin mempertegas perasaan sedih yang dirasakannya. Kemarahan aku lirik terhadap kondisi yang dirasakannya dapat dilihat dari penggunaan kata sedih, pedih, dan dendam. Tetapi tetap ada kerinduan kepada kekasihnya.
Kegundahan aku lirik diperkuat lagi dengan mengucapkan kata-kata mengandung arti marah dalam bahasa Melayu, yakni sangkak yang bermakna menentang, pantang yang bermakna melarang, sumpah yang bermakna mengutuk-ngutuk, dan seranah yang juga bermakna mengutuk-ngutuk. Bait ini diakhiri dengan gambaran cinta yang sangat menyakitkan dengan ungkapan jadi barah//jadi luka. Barah bermakna nanah dan luka bermakna kondisi yang menyakitkan. Menariknya, semua duka itu menjadi sejarah. Artinya, duka itu menjadi bagian kehidupan yang bermakna, penting dan tentu saja tak bisa terlupakan. Meskipun cinta berakhir duka, ia akan tetap dikenang.
Pada bagian akhir sajak ini, gambaran elang putih kembali ditampilkan seperti pada bagian awalnya. Elang putih//berekor panjang//mengingal sendiri//di ujung petang//mengirim rindu//ke semua pintu. Perbedaan gambaran elang putih pada bagian awal sajak dengan bagian akhir adalah pada bagian awal elang putih mengigal berahi, sedangkan pada bagian akhir ini elang putih mengigal sendiri. Perbedaan ini disebabkan berahi, hasrat, dan rasa cinta telah hilang akibat berpisah dengan kekasih. Suatu gambaran yang sangat elok yang dilakukan oleh penyair untuk menyusun alur pikiran dalam sajak ini. Kemudian sajak ini ditutup dengan ungkapan: kini cinta ku//jadi sembilu. Ini adalah akhir dari kisah cinta aku lirik, yakni cinta yang sangat menyakitkan. Sakitnya cinta seperti diiris semilu yang sangat tajam. Anehnya, meskipun cinta itu menyakitkan orang tetap ingin dan jatuh cinta.
Dr Junaidi, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unilak ini menyukai karya sastra dan kerap menganalisisnya diberbagai media massa. Bermastautin di Pekanbaru.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 25 November 2012
BULANG Cahaya lebih terkenal sebagai judul novel yang dikarang Rida K Liamsi dari pada judul sebuah sajak. Kritikus seperti Maman S Mahayana dan Musa Ismail telah mengulas novel ini. Bahkan Marhalim telah mengangkat novel ini ke dalam bentuk pertunjukkan dengan judul ‘’Opera Bulang Cahaya’’. Saya terusik untuk mengulas ‘’Bulang Cahaya’’ dalam bentuk sajak yang ternyata lebih dahulu ada dari pada novel. Dalam blog pribadi Rida K Liamsi, sajak ‘’Bulang Cahaya’’ terhimpun dalam kumpulan puisi Tempuling. Berdasar catatan pada bagian akhir sajak ‘’Bulang Cahaya’’, sajak ini lebih awal ditulis dari pada novel Bulang Cahaya, yakni tahun 1977/2011. Ini menandakan sajak ‘’Bulang Cahaya’’ sangat penting bagi kehadiran novelnya. Agaknya, sajak ‘’Bulang Cahaya’’ jadi saripati dari novel Bulang Cahaya. Sajak ‘’Bulang Cahaya’’ menjadi ruh dalam penyusunan cerita yang terdapat dalam novel Bulan Cahaya.
Diperlukan energi ekstra untuk memaknai sajak ini karena terdapat kata-kata Melayu lama yang perlu dicarikan rujukannya pada kamus bahasa Melayu. Penggunaan metafora berlatarbelakang Melayu juga membuat saya harus memainkan pikiran pada alam Melayu. Namum, alur pikir yang mantap dan permainan irama yang elok mendorong saya terus berpikir, merasakan dan menulis penafsiran sajak ini. Pembacaan sajak ‘’Bulang Cahaya’’ yang saya lakukan bisa saja beda dengan pembacaan yang dilakukan orang lain. Bahkan penafsiran yang saya buat mungkin beda dengan intensi penyairnya. Ini sangat mungkin terjadi sebab pembacalah yang memaknai suatu karya. Bahkan ketika sajak itu dibaca, pada saat itulah pemaknaan sesungguhnya terjadi. Jadi kita sebagai pembaca punya hak otonomi untuk menafsirkan karya sastra. Penafsiran yang saya lakukan hanya berdasar rujukan yang ada, perenungan dan permainan pikiran. Sepanjang saya mampu memberi justifikasi terhadap penafsiran yang saya buat maka penafsiran itu bisa diterima adanya.
Proses pembacaan sajak ‘’Bulang Cahaya’’ diawali dengan meneroka judulnya. Judul sajak ini terdiri atas dua kata ‘’bulang’’ dan ‘’cahaya’’. Perlu diingat yang digunakan kata bulang bukan bulan. Tak ada salah ketik di sini. Kata bulang nyaris tak terdengar penggunaannya dalam bahasa sehari-hari. Mau tak mau, kata bulang harus dilacak maknanya pada rujukan yang ada karena maknanya sangat penting dalam proses pemaknaan sajak ini secara keseluruhan. Rujukan pertama yang bisa dipertimbangkan adalah pengakuan Rida K Liamsi dalam pengantar novel Bulang Cahaya, yakni (bulang cahaya) tak serta-merta merujuk dan menunjuk pada nama tokoh- tokoh dalam novel ini. Tidak juga untuk menandai peristiwa-peristiwa utamanya yang jadi teras novel ini. Judul ini lebih dimaksudkan untuk melambangkan sebuah sisi kehidupan, sebuah percikan waktu dan dinamika hidup, di mana cinta, harapan, dendam, benci dan ketidakberdayaan menyatu dan berbancuh di dalamnya. Bila dilihat pada penafsiran yang ditulis Musa Ismail (Riau Pos, 13 Desember 2009) terhadap novel Bulang Cahaya, kata bulang cahaya merujuk pada dua hal, yakni Kampung Bulang (tempat Tengku Buntat pernah tinggal) dan panggilan kesayangan Raja Djaafar pada Tengku Buntat. Menariknya, sajak ini ditulis sebelum novel itu ada. Sehingga penafsiran bulang cahaya berdasar novel Bulang Cahaya tampaknya tak sesuai diterapkan dalam menafsirkan sajak ‘’Bulang Cahaya’’. Alhasil, kita harus menafsirkannya sendiri.
Rujukan kedua yang mungkin membantu kita untuk menemukan makna bulang dengan melihat Kamus Bahasa Indonesia (2008), yakni: 1. kain dsb yg dililitkan pd kepala; 2 perhiasan dr emas yg dipakai pengantin di kepala; 3 a tali pengika taji; b cara mengikat taji pd kaki ayam sabungan. Tampaknya, arti dalam Kamus Bahasa Indonesia tidak terlalu membantu untuk mencari makna bulang. Rujukan ketiga yang sangat membantu untuk menemukan makna bulang adalah Kamus Dewan (2005), yakni Kamus Bahasa Melayu yang diterbitkan di Malaysia. Dalam kamus ini diperoleh makna yang bisa mengarahkan kita untuk menafsirkan kata bulang, yakni: 1.kain dll yang dililitkan pada kepala a) ikat kepala b) sl [sastra lama] kekasih 2. pengikat taji. Arti kata yang paling mendekati adalah ‘kekasih’, yang dahulunya digunakan dalam sastra lama. Mengapa kata kekasih yang paling mendekati? Bila diamati secara mendalam, puisi ini memang berisikan perasaan mendalam seorang terhadap kekasihnya. Penggunaan kata bulang memberikan kesan bahwa gagasan yang terkandung dalam sajak ini sangat ‘Melayu’ sehingga ketika kita membaca sajak ini kita harus melewati pintu gerbang alam Melayu. Dengan masuk ke alam Melayu, perabaan kita terhadap tanda-tanda yang terdapat dalam puisi ini akan lebih mendekati. Penggunaan kata bulang memberi kesan khas dan tidak klise sebab kata ini sangat jarang digunakan. Pengangkatan kembali kosa kata lama ke dalam karya sastra masa kini menunjukkan ketekunan penyair dalam menggali alam pikiran yang melatarbelakangi penciptaan sajaknya. Selain itu, penggunaan kata lama juga memberikan kontribusi dalam penyelamatan kosa kata tertentu agar tidak punah.
Bagaimana pula makna cahaya yang mengikuti kata bulang? Kata cahaya bermakna percikan waktu. Lebih jelas lagi, cahaya bermakna sepenggal pengalaman cinta yang dirasakan aku lirik terhadap kekasihnya. Kata cahaya menegaskan betapa singkatnya pengalaman cinta itu dan harus pula berakhir dengan perpisahaan. Pengalaman cinta hadir dalam waktu singkat, setelah itu berakhir seperti hilangnya cahaya. Bila hendak ditegaskan, gabungan bulang cahaya bermakna pengalaman jatuh cinta dalam waktu sesaat saja. Artinya, aku lirik merasakan begitu singkatnya cinta. Kenikmatan jatuh cinta yang dirasakan harus berakhir dengan perpisahan antara aku lirik dan kekasihnya.
Puisi ini dibuka dengan gambaran seekor elang putih: Elang putih//berekor panjang//mengigal berahi//di ujung tanjung//mengirim isyarat//ke semua pintu.
Elang putih adalah sejenis burung buas yang memiliki penglihatan tajam dan banyak ditemukan di daerah lautan. Elang putih dikenali punya kekuatan, keberanian dan ketajaman mata. Sosok elang putih menandai seorang laki-laki yang gagah dan perkasa. Dalam sajak ini, elang putih merupakan tamsil seorang laki-laki yang sedang memiliki perasaan cinta yang sangat kuat pada kekasihnya. Sang laki-laki ingin menyampaikan pesan bahwa ia sedang jatuh cinta. Kata mengigal berasal dari kosa kata Melayu dan jarang digunakan dalam bahasa Indonesia saat ini. Ungkapan mengigal berahi mengisyaratkan perasaan cinta yang sangat mendalam. Frasa ujung tanjung semakin memperkuat latar kehidupan laut dalam sajak ini. Frasa semua pintu mengisyaratkan bahwa elang putih sebagai aku lirik ingin menyampaikan kepada dunia betapa besar cinta kepada kekasihnya.
Pada bait berikutnya aku lirik secara jelas menyampaikan perasaan cintanya: terima cintaku//cinta tak berkeris//cinta tak bersuku//cinta yang tak tersurat//dalam lagu-lagu.
Ungkapan cinta tak berkeris dan cinta tak bersuku menarik untuk ditafsirkan. Kata ini membuat orang berpikir secara mendalam untuk menafsirkannya. Ungkapan cinta tak berkeris bisa ditafsirkan sebagai cinta yang sangat tulus atau cinta yang lurus tidak seperti keris yang berkeluk-keluk. Ketulusan cinta aku lirik semakin dipertegas dengan ungkapan cinta tak bersuku, yang bermakna cinta yang tidak berbagi dengan orang lain. Artinya, cinta aku lirik hanya untuk kekasihnya. Sedangkan ungkapan cinta yang tak bersurat//dalam lagu-lagu merujuk pada ketulusan cinta yang sangat mendalam dan tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata seperti yang terdapat dalam lagu-lagu. Dalam lagu memang sering didengarkan betapa sangat mudah orang mengucapkan kata cinta secara artifisial.
Pada bagian berikutnya, aku lirik terus mengungkapkan perasaannya: Angin berkisar//perahu berlayar//ku dengar sendumu//di ujung sitar. Ungkapan perahu berlayar mempertegas suasana lautan yang melatarbelakangi penciptaan sajak ini. Ungkapan perahu berlayar bertujuan untuk memberikan suasa yang sedih ketika diikuti oleh ungkapan ku dengar sendumu//di ujung sitar. Kata sendu memberikan kesan bahwa kekasih aku lirik juga berada dalam perasaan sedih karena ditinggalkan aku lirik. Dalam Kamus Bahasa Indonesia (2008) tidak ditemukan kata sitar tetapi dalam Kamus Dewan (2005) kata sitar bermakna sejenis alat bunyi bunyian yang bertali (seperti kecapi). Bagaimana menafsirkan kata sitar ini dalam hubungannya dengan perasaan sedih? Di sini penyair tampaknya dengan bebas memainkan imajinasinya untuk menyampaikan betapa dramatisnya suasana pada saat kekasih aku lirik sedang bersedih melepas kepergiannya seolah-olah diringi oleh dentingan senar sitar yang khas.
Rasa kehilangan aku lirik terhadap kekasihnya diungkapan seperti layang-layang yang putus benangnya: layang-layang//bertali benang//putus benang//tali belati//cinta ku lepas, cinta ku kenang//cinta sejati, ku biar pergi//hati ku kusut//rindu ku hanyut//berahi ku luput. Perumpamaan layang-layang yang putus benangnya bermakna hilang pegangan hidup atau pujaan hati aku lirik karena harus berpisah dengan kekakasihnya. Dalam bagian ini digambarkan layang-layang bertali benang dengan tali belati. Ini bermakna betapa kuatnnya hubungan cinta mereka seperti kuatnya tali belati. Meskipun talinya kuat, akhirnya putus juga. Aku liriknya mengakui bahwa cintanya telah berakhir tapi ia akan kenang selalu sebagai suatu kisah yang bermakna dalam kehidupannya. Cinta sejati ini harus ditinggalkan meskipun hatinya terasa sedih. Penggunaan kata rindu kuhanyut semakin memperkuat berakhirnya cinta aku lirik. Kesan makna lebih mendalam diungkap dengan kata hanyut. Hilangnya harapan aku lirik untuk hidup dengan kekasihnya diperkuat lagi dengan berahi ku luput. Ada penekanan makna perasaan cinta lagi di sini dengan penggunaan kata berahi.
Kegundahan hati aku lirik disebabkan kehilangan kekasihnya dilanjutkan pada bait berikut ini: Ombak gemuruh//mengobar dendam//membakar hari//mengubur mimpi//mengirim rindu//ke semua pintu. Ungkapan ombak gemuruh memberikan makna perasaan berkecamuk dalam diri aku lirik dan perasaan sakit hati yang sangat mendalam ditunjukkan dengan ungkapan mengobar dendam. Ada kemarahan dalam diri aku lirik karena berpisah dengan kekasihnya. Ungkapan membakar hari bermakna melenyapkan semua kisah indah yang pernah dirasakan dengan kekasihnya. Selanjunnya, ungkapan mengubur mimpi bermakna hilang sudah harapan aku lirik untuk hidup bersama dengan kekasihnya. Rasa pedih ditinggal kekasihingin dikabarkan aku lirik kepada dunia.
Pada bait berikut ini penyair semacam menyampaikan pedih cinta yang dirasakannya: Inilah cinta ku//ku dulang jadi timah//ku pahat jadi patung//ku rendam jadi rempah//ku gulai bagai rebung//ku simpan duka ku//sampai ke ujung. Tamsil yang digunakan untuk menjelaskan cinta pada bagian ini menarik untuk ditafsirkan. Ungkapan ku dulang jadi timah bermakna aku lirik telah berupaya merajut cinta dengan kekasihnya dengan perumpamaan melinang atau mencuci biji-biji timah. Mengapa cinta menjadi timah? Agaknya cinta aku lirik telah membeku seperti logam atau timah sehingga tak ada lagi harapan untuk bersama dengan kekasihnya. Ungkapan ku pahat jadi patung bermakna cinta aku lirik dan kekasihnya ternyata tak bergerak atau statis seperti patung. Ungkapan ku rendam cinta menjadi rempah bermakna cinta hilang atau tak tampak lagi seperti zat atau rempah yang telah larut dalam makan sehingga tak tampak lagi. Selanjutnya, ada pula ungkapan ku gulai bagai rebung. Apa hubungannya cinta dengan gulang rebung? Mengapa rebung? Rebung adalah anak (bakal batang) buluh yang masih kecil. Ini bermakna cinta aku lirik belum sampai pada tujuannya tapi sudah putus ibarat rebung yang belum menjadi buluh tapi sudah digulai orang.
Pada bagian akhir bait ini, aku lirik mengakui bahwa ia memendam kesedihan karena berpisah dengan kekasihnya sampai akhir hidup. Bagi aku lirik, kisah cintanya sangat berkesan dalam hidupnya.
Dalam bait selanjunya aku lirik kembali menyampaikan perasaan cinta yang kandas dengan menggunakan kata-kata yang mengandung emosi marah: kemarau menderau//padang kerontang//sedih//pedih//dendam//rindu//sangkak//pantang//sumpah//seranah//jadi barah// jadi luka//sejarah. Kemarau memberikan makna betapa sakitnya hati aku lirik. Menariknya, kemarau diikuti kata menderau. Ini menunjukkan kondisi kontradiktif sebab yang menderau atau berbunyi itu biasa hujan bukan kemarau. Dalam Kamus Dewan (2005) kata menderau bermakna berbunyi seperti bunyi hujan yang dibawa angin. Kontradiksi ini sengaja digunakan untuk mengunggapkan suasana tak menentu atau berkecamuk yang dirasakan aku lirik kerena berpisah dengan kekasihnya. Padang kerontang semakin mempertegas perasaan sedih yang dirasakannya. Kemarahan aku lirik terhadap kondisi yang dirasakannya dapat dilihat dari penggunaan kata sedih, pedih, dan dendam. Tetapi tetap ada kerinduan kepada kekasihnya.
Kegundahan aku lirik diperkuat lagi dengan mengucapkan kata-kata mengandung arti marah dalam bahasa Melayu, yakni sangkak yang bermakna menentang, pantang yang bermakna melarang, sumpah yang bermakna mengutuk-ngutuk, dan seranah yang juga bermakna mengutuk-ngutuk. Bait ini diakhiri dengan gambaran cinta yang sangat menyakitkan dengan ungkapan jadi barah//jadi luka. Barah bermakna nanah dan luka bermakna kondisi yang menyakitkan. Menariknya, semua duka itu menjadi sejarah. Artinya, duka itu menjadi bagian kehidupan yang bermakna, penting dan tentu saja tak bisa terlupakan. Meskipun cinta berakhir duka, ia akan tetap dikenang.
Pada bagian akhir sajak ini, gambaran elang putih kembali ditampilkan seperti pada bagian awalnya. Elang putih//berekor panjang//mengingal sendiri//di ujung petang//mengirim rindu//ke semua pintu. Perbedaan gambaran elang putih pada bagian awal sajak dengan bagian akhir adalah pada bagian awal elang putih mengigal berahi, sedangkan pada bagian akhir ini elang putih mengigal sendiri. Perbedaan ini disebabkan berahi, hasrat, dan rasa cinta telah hilang akibat berpisah dengan kekasih. Suatu gambaran yang sangat elok yang dilakukan oleh penyair untuk menyusun alur pikiran dalam sajak ini. Kemudian sajak ini ditutup dengan ungkapan: kini cinta ku//jadi sembilu. Ini adalah akhir dari kisah cinta aku lirik, yakni cinta yang sangat menyakitkan. Sakitnya cinta seperti diiris semilu yang sangat tajam. Anehnya, meskipun cinta itu menyakitkan orang tetap ingin dan jatuh cinta.
Dr Junaidi, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unilak ini menyukai karya sastra dan kerap menganalisisnya diberbagai media massa. Bermastautin di Pekanbaru.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 25 November 2012
No comments:
Post a Comment