-- Fedli Azis
Sosok yang dianggap paling berjasa dalam dunia teater Riau dan masih memberi pengaruh besar dari generasi ke generasi hingga hari ini adalah Idrus Tintin. Pendobrak dominasi sandiwara klasik/tradisi lewat istilah ‘’teater cis’’ ini, meski telah tiada namun tidak pernah dilupakan. Bahkan pelaku teater muda di Pekanbaru dan sekitarnya bersama Dewan Kesenian Riau (DKR) memperingati hari lahirnya sehari suntuk.
Persembahan teater pada hari kelahiran Idrus Tintin di Laman Bujang Mat Syam komplek Bandar Serai, depan Anjung Seni Idrus Tintin, Sabtu (10/11/2012) malam. (Foto: teguh prihatna/riau pos)
RATUSAN pekerja teater berkumpul dan menggelar sebuah panggung di Laman Bujang Mat Syam komplek Bandar Serai. Warga kota yang sengaja datang atau sekadar singgah di sana ikut larut dalam helat sederhana yang digagas DKR tersebut. Malam itu, semua orang yang hadir sedang memperingati hari lahir Idrus Tintin. Seorang seniman sejati yang mengabdikan hidupnya hanya untuk seni, terutama seni drama atau lebih populer dengan sebutan teater.
Tidak hanya pelaku yang telah berusia lanjut, muda-muda bahkan para kanak-kanak tak ketinggalan berpartisipasi dan berapresiasi untuk mengenang jasa almarhum Idrus Tintin yang dipercaya banyak kalangan sebagai peletak pertama terapan teater modern di Riau. Hari lahirnya itu pula diperingati untuk pertama kalinya sebagai Hari Teater Modern Riau yakni 10 November. Paling tidak, jasa-jasanya untuk mengembangkan seni akting sejak muda hingga tutup usia 2003 lalu patut dijadikan contoh, bahwa sosok seniman satu ini nyaris tak tergantikan.
‘’Hari lahir Idrus Tintin digagas kawan-kawan teater muda sebagai hari Teater Modern Riau dan DKR memberi dukungan atas keinginan dan harapan mereka itu. Apalagi kita tidak bisa mungkiri bahwa almarhum menjadikan dunia panggung pilihan hingga akhir hayatnya,’’ ulas Ketua Umum DKR Kazzaini Ks meyakinkan.
Pelaku teater yang muda-muda tidak pernah patah arang meski mereka merasakan betul adanya ruang kosong alias keterputusan generasi antara pelaku tua dengan pelaku muda-muda. Alhasil mereka berjalan sendiri-sendiri tanpa dukungan dan bantuan, sekadar kritik dan saran dari generasi terdahulunya. Ini juga menjadi pemicu bagi mereka untuk terus menghasilkan karya-karya terbaik yang dipentaskan diberbagai helat budaya dan seni, baik memenuhi undangan pihak lain maupun menggelar pementasan secara mandiri.
‘’Saya pikir, pelaku teater yang masih muda-muda terus bergeliat dan menemukan solusi untuk lepas dari segala keterbatasan. Kita lihat saja, dalam tahun ini saja sudah ada tiga pagelaran teater yang dihasilkan oleh tiga komunitas independen seperti Teater Selembayung dengan ‘’Melodi Pengakuan’’ (diangkat dari legenda Lancang Kuning), Teater Matan dengan ‘’Hikayat Puyu-puyu’’ (diangkat dari legenda ‘’Syair Ikan Terubuk’’) serta Rumah Sunting dengan ‘’Peri Bunian’’ (diangkat dari legenda lahirnya kerajaan Siak Sri Indrapura),’’ ulas Hang Kafrawi, salah seorang pelaku teater dan karya sastra.
Peringatan Hari Teater Modern Riau yang digelar untuk pertama kalinya pada Sabtu, 10 November 2012 lalu itu, juga diharapkan sebagai hari kebangkitan teater Riau. Ditambah lagi, komunitas seni peran kian bertambah dalam keterkosongan festival yang biasa dilaksanakan berbagai institusi/lembaga budaya beberapa tahun belakangan ini. Banyak komunitas yang berupaya untuk menepis anggapan miring seperti yang kerap dilontarkan banyak orang dengan sebutan ‘seniman festival’ meski predikat itu sulit untuk ditanggalkan.
Komunitas teater, terutama yang independen memang tidak lagi berorientasi pada lomba-lomba. Bahkan mereka sudah berani menolak untuk ikut lomba, baik yang digelar di Riau maupun di luar provinsi ini. Artinya, mereka kian berani untuk bersaing dengan komunitas teater daerah lain yang lebih maju dalam hal publikasi dan apresiasi masyarakat. Orientasi mereka bergeser dari ‘seniman festival’ menuju menciptakan iklim perteateran yang lebih mapan, baik dalam karya maupun menjaring masyarakat penontonnya sendiri. Ini jelas terlihat saat pementasan mereka digelar, penonton tidak bisa lagi menonton secara gratis melainkan harus terlebih dahulu membeli tiket.
Sosok Idrus Tintin
Selain dikenal sebagai tokoh teater di Riau, Idrus Tintin yang lahir di Kota Rengat (Indrahiri Hulu) 10 November 1932 juga seorang penyair. Derus, panggilan kanak-kanaknya juga dipanggil dengan sebutan ‘’Burung Waktu’’. Sejak kecil, Idrus hidup berpindah-pindah bersama kedua orang tua dan tiga saudaranya. Anak ketiga dari pasangan Tintin dan Tiamah ini, memulai kiprahnya dalam dunia akting pada 1943 saat bermain drama dalam bahasa Jepang produksi Raja Khadijjah. Di Tarempa (Kepri), dia mendirikan sanggar bernama ‘’Gurinda’’.
Pada 1959, untuk memperluas wawasan dan pengalamannya, Idrus hijrah ke Jawa dan berkenalan dengan Asrul Sani, WS Rendra, B Jayakesuma, Soekarno M Noor, Ismet M Noor, Teguh Karya, Chairul Umam serta banyak lagi. Dan pertemuan itulah yang menjadi titik tolak bagi Idrus mendalami seni teater modern. Setelah itu, Idrus pulang kampung ke Rengat untuk mendirikan sanggar dan mengikuti festival yang dilaksanakan Pemerintah Provinsi Riau dengan naskah berjudul ‘’Pasien’’ pada 1964. Empat tahun kemudian, 1968 menyutradarai naskah berjudul ‘’Tanda Silang’’ di Gedung Trikora Pekanbaru. Dia juga menggarap teater kolosal di Balai Dang Merdu Pekanbaru berjudul ‘’Harimau Tingkis’’. Di Di tahun yang sama, bersama Armawi KH menubuhkan wadah pembinaan teater di Riau yang diberi nama Teater Bahana. Idrus Tintin meninggal diusia 71 tahun pada 14 Juli 2003 silam akibat stroke. Dia meninggalkan tujuh anak dan seorang istri.
‘’Saya memang tidak mengenal langsung sosok Idrus Tintin dan saya sangat penasaran untuk mengetahui dirinya secara mendalam. Selama ini, saya hanya tahu dari cerita-cerita dan tulisan-tulisan di internet tentang sosok yang terbilang unik ini. Saya baru membaca karya-karya puisinya namun belum pernah jumpa naskah drama yang ditulisnya,’’ ungkap Ekky.
Dalam tulisan tentang Idrus Tintin di MelayuOnline dan pendapat banyak seniman/budayawan Riau dikatakan; banyak tokoh kesenian sependapat bahwa Idrus lebih menonjol dengan keaktorannya dalam dunia teater daripada dunia kepenyairan.
Oleh karena itu, Idrus lebih menonjol aspek oralnya daripada aspek tulisnya. Dilihat dari sisi ini, Idrus dianggap sebagai seseorang yang memiliki kemampuan untuk menjadikan hal-hal tragedi menjadi komedi. Dalam dunia teater, tidak bisa dilupakan bahwa Idrus sosok yang berhasil mendobrak dominasi sandiwara tradisional/klasik yang disebutnya ‘teater cis’.
Dalam pemikiran Idrus, sandiwara tradisional atau klasik terkesan eksklusif (menutup diri) terhadap unsur-unsur baru. Berbeda halnya dengan teater modern atau kontemporer yang penuh nuansa alternative dan kreasi. Pemikirannya tersebut banyak memberi pengaruh pada para seniman di Riau dan Kepulauan Riau hingga hari ini.
Pertahankan Lokalitas
Usai menggelar belasan pertunjukan teater —berlatar belakang Gedung Teater Tertutup Anjung Seni Idrus Tintin— mereka berkumpul di selasar Bandar Serai untuk melanjutkan acara dengan diskusi tentang teater Riau hai ini. Jam menunjukkan pukul 23.00 WIB dan hujan mulai menyimbah kota hingga larut malam. Diskusi dipandu Eriyanto Hadi (Sekretaris Umum DKR) dan Hang Kafrawi, disaksikan langsung oleh berbagai pelaku teater berusia lanjut seperti Temul Amsal, Tengku Ubaidillah, Mosthamir Thalib dan beberapa orang lainnya.
Pembicaraan menjadi lebih hidup saat peserta diskusi banyak yang menyoalkan sekitar teater tradisi maupun modern Riau. Tiga pelaku teater perempuan yang ikut hadir malam itu seperti Rina Nazaruddin Entin, Dewi Mulkhaidah Ningsing dan Kunni Masrohanti percaya bahwa hal-hal yang berbau tradisi Melayu masih mewarnai karya-karya mereka hingga hari ini.
Mereka percaya bahwa teater modern Riau memiliki ciri khas yang tidak dimiliki daerah lain. Melayu Riau memiliki kekayaan yang tak ternilai harganya dan harus tetap dipertahankan agar tidak tergerus dimakan rayap zaman. ‘’Jika tidak kita yang melakukannya, lalu siapa lagi,’’ kata mereka.
Beberapa pelaku teater lainnya seperti Saho Riau, Deni Afriadi dan lainnya tidak hanya menyoal pada karya panggung. Mereka juga membahas tentang naskah-naskah drama yang lahir dari anak-anak lokal yang juga tidak lepas dari pengaruh hikayat, legenda dan mitos Melayu. Sekedar menyebut nama, sesuai yang diungkapkan Saho Riau antara lain Tenas Effendy, Sudarno Mahyuddin, Dasri al Mubari, GP Ade Dharmawi, Hang Kafrawi, Marhalim Zaini, Fedli Azis, M Paradison, Rina NE dan banyak lagi.
Naskah-naskah yang mereka hasilkan, sudah ada yang dibukukan, namun lebih banyak tersimpan di lemari masing-masing atau sebagai arsip di DKR sebagai pemenang Sayembara Penulisan Naskah Drama, terutama naskah-naskah penulis berusia muda.
‘’Kita selalu mengatakan, karya anak-anak lokal minim bahkan tidak ada. Menurut saya ini pernyataan yang keliru sebab naskah-naskah lokal cukup banyak, apalagi di DKR namun belum dibukukan sama sekali. Jika kita ingin lebih bersusah-susah mencari maka naskah itu pasti didapatkan. Saya hanya mengingatkan, jangan selalu mengatakan karya-karya luar hebat dan memenuhi dramaturgi dan semacamnya. Coba pelajari naskah kawan-kawan kita, baru setelah itu berkomentar. Kami juga mengharapkan, DKR segera untuk membukukan naskah-naskah tersebut,’’ ujar Saho Riau panjang lebar.
Menanggapi hal itu, Kazzaini yang ikut diskusi hingga usai berjanji untuk mewujudkan keinginan bersama tersebut.
Paling tidak, 2013 mendatang DKR akan berupaya mencetak naskah-naskah drama yang tersimpan itu dan menyebarkannya secara luas, hingga ke sekolah-sekolah di Riau.
‘’Itu sudah kami rencanakan namun tentunya harus bersabar. Tidak hanya itu, ke depan kami akan menggarap serius peringatan Hari Teater Modern ini dengan cakupan yang lebih luas dari sekarang,’’ katanya.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 18 November 2012
Sosok yang dianggap paling berjasa dalam dunia teater Riau dan masih memberi pengaruh besar dari generasi ke generasi hingga hari ini adalah Idrus Tintin. Pendobrak dominasi sandiwara klasik/tradisi lewat istilah ‘’teater cis’’ ini, meski telah tiada namun tidak pernah dilupakan. Bahkan pelaku teater muda di Pekanbaru dan sekitarnya bersama Dewan Kesenian Riau (DKR) memperingati hari lahirnya sehari suntuk.
Persembahan teater pada hari kelahiran Idrus Tintin di Laman Bujang Mat Syam komplek Bandar Serai, depan Anjung Seni Idrus Tintin, Sabtu (10/11/2012) malam. (Foto: teguh prihatna/riau pos)
RATUSAN pekerja teater berkumpul dan menggelar sebuah panggung di Laman Bujang Mat Syam komplek Bandar Serai. Warga kota yang sengaja datang atau sekadar singgah di sana ikut larut dalam helat sederhana yang digagas DKR tersebut. Malam itu, semua orang yang hadir sedang memperingati hari lahir Idrus Tintin. Seorang seniman sejati yang mengabdikan hidupnya hanya untuk seni, terutama seni drama atau lebih populer dengan sebutan teater.
Tidak hanya pelaku yang telah berusia lanjut, muda-muda bahkan para kanak-kanak tak ketinggalan berpartisipasi dan berapresiasi untuk mengenang jasa almarhum Idrus Tintin yang dipercaya banyak kalangan sebagai peletak pertama terapan teater modern di Riau. Hari lahirnya itu pula diperingati untuk pertama kalinya sebagai Hari Teater Modern Riau yakni 10 November. Paling tidak, jasa-jasanya untuk mengembangkan seni akting sejak muda hingga tutup usia 2003 lalu patut dijadikan contoh, bahwa sosok seniman satu ini nyaris tak tergantikan.
‘’Hari lahir Idrus Tintin digagas kawan-kawan teater muda sebagai hari Teater Modern Riau dan DKR memberi dukungan atas keinginan dan harapan mereka itu. Apalagi kita tidak bisa mungkiri bahwa almarhum menjadikan dunia panggung pilihan hingga akhir hayatnya,’’ ulas Ketua Umum DKR Kazzaini Ks meyakinkan.
Pelaku teater yang muda-muda tidak pernah patah arang meski mereka merasakan betul adanya ruang kosong alias keterputusan generasi antara pelaku tua dengan pelaku muda-muda. Alhasil mereka berjalan sendiri-sendiri tanpa dukungan dan bantuan, sekadar kritik dan saran dari generasi terdahulunya. Ini juga menjadi pemicu bagi mereka untuk terus menghasilkan karya-karya terbaik yang dipentaskan diberbagai helat budaya dan seni, baik memenuhi undangan pihak lain maupun menggelar pementasan secara mandiri.
‘’Saya pikir, pelaku teater yang masih muda-muda terus bergeliat dan menemukan solusi untuk lepas dari segala keterbatasan. Kita lihat saja, dalam tahun ini saja sudah ada tiga pagelaran teater yang dihasilkan oleh tiga komunitas independen seperti Teater Selembayung dengan ‘’Melodi Pengakuan’’ (diangkat dari legenda Lancang Kuning), Teater Matan dengan ‘’Hikayat Puyu-puyu’’ (diangkat dari legenda ‘’Syair Ikan Terubuk’’) serta Rumah Sunting dengan ‘’Peri Bunian’’ (diangkat dari legenda lahirnya kerajaan Siak Sri Indrapura),’’ ulas Hang Kafrawi, salah seorang pelaku teater dan karya sastra.
Peringatan Hari Teater Modern Riau yang digelar untuk pertama kalinya pada Sabtu, 10 November 2012 lalu itu, juga diharapkan sebagai hari kebangkitan teater Riau. Ditambah lagi, komunitas seni peran kian bertambah dalam keterkosongan festival yang biasa dilaksanakan berbagai institusi/lembaga budaya beberapa tahun belakangan ini. Banyak komunitas yang berupaya untuk menepis anggapan miring seperti yang kerap dilontarkan banyak orang dengan sebutan ‘seniman festival’ meski predikat itu sulit untuk ditanggalkan.
Komunitas teater, terutama yang independen memang tidak lagi berorientasi pada lomba-lomba. Bahkan mereka sudah berani menolak untuk ikut lomba, baik yang digelar di Riau maupun di luar provinsi ini. Artinya, mereka kian berani untuk bersaing dengan komunitas teater daerah lain yang lebih maju dalam hal publikasi dan apresiasi masyarakat. Orientasi mereka bergeser dari ‘seniman festival’ menuju menciptakan iklim perteateran yang lebih mapan, baik dalam karya maupun menjaring masyarakat penontonnya sendiri. Ini jelas terlihat saat pementasan mereka digelar, penonton tidak bisa lagi menonton secara gratis melainkan harus terlebih dahulu membeli tiket.
Sosok Idrus Tintin
Selain dikenal sebagai tokoh teater di Riau, Idrus Tintin yang lahir di Kota Rengat (Indrahiri Hulu) 10 November 1932 juga seorang penyair. Derus, panggilan kanak-kanaknya juga dipanggil dengan sebutan ‘’Burung Waktu’’. Sejak kecil, Idrus hidup berpindah-pindah bersama kedua orang tua dan tiga saudaranya. Anak ketiga dari pasangan Tintin dan Tiamah ini, memulai kiprahnya dalam dunia akting pada 1943 saat bermain drama dalam bahasa Jepang produksi Raja Khadijjah. Di Tarempa (Kepri), dia mendirikan sanggar bernama ‘’Gurinda’’.
Pada 1959, untuk memperluas wawasan dan pengalamannya, Idrus hijrah ke Jawa dan berkenalan dengan Asrul Sani, WS Rendra, B Jayakesuma, Soekarno M Noor, Ismet M Noor, Teguh Karya, Chairul Umam serta banyak lagi. Dan pertemuan itulah yang menjadi titik tolak bagi Idrus mendalami seni teater modern. Setelah itu, Idrus pulang kampung ke Rengat untuk mendirikan sanggar dan mengikuti festival yang dilaksanakan Pemerintah Provinsi Riau dengan naskah berjudul ‘’Pasien’’ pada 1964. Empat tahun kemudian, 1968 menyutradarai naskah berjudul ‘’Tanda Silang’’ di Gedung Trikora Pekanbaru. Dia juga menggarap teater kolosal di Balai Dang Merdu Pekanbaru berjudul ‘’Harimau Tingkis’’. Di Di tahun yang sama, bersama Armawi KH menubuhkan wadah pembinaan teater di Riau yang diberi nama Teater Bahana. Idrus Tintin meninggal diusia 71 tahun pada 14 Juli 2003 silam akibat stroke. Dia meninggalkan tujuh anak dan seorang istri.
‘’Saya memang tidak mengenal langsung sosok Idrus Tintin dan saya sangat penasaran untuk mengetahui dirinya secara mendalam. Selama ini, saya hanya tahu dari cerita-cerita dan tulisan-tulisan di internet tentang sosok yang terbilang unik ini. Saya baru membaca karya-karya puisinya namun belum pernah jumpa naskah drama yang ditulisnya,’’ ungkap Ekky.
Dalam tulisan tentang Idrus Tintin di MelayuOnline dan pendapat banyak seniman/budayawan Riau dikatakan; banyak tokoh kesenian sependapat bahwa Idrus lebih menonjol dengan keaktorannya dalam dunia teater daripada dunia kepenyairan.
Oleh karena itu, Idrus lebih menonjol aspek oralnya daripada aspek tulisnya. Dilihat dari sisi ini, Idrus dianggap sebagai seseorang yang memiliki kemampuan untuk menjadikan hal-hal tragedi menjadi komedi. Dalam dunia teater, tidak bisa dilupakan bahwa Idrus sosok yang berhasil mendobrak dominasi sandiwara tradisional/klasik yang disebutnya ‘teater cis’.
Dalam pemikiran Idrus, sandiwara tradisional atau klasik terkesan eksklusif (menutup diri) terhadap unsur-unsur baru. Berbeda halnya dengan teater modern atau kontemporer yang penuh nuansa alternative dan kreasi. Pemikirannya tersebut banyak memberi pengaruh pada para seniman di Riau dan Kepulauan Riau hingga hari ini.
Pertahankan Lokalitas
Usai menggelar belasan pertunjukan teater —berlatar belakang Gedung Teater Tertutup Anjung Seni Idrus Tintin— mereka berkumpul di selasar Bandar Serai untuk melanjutkan acara dengan diskusi tentang teater Riau hai ini. Jam menunjukkan pukul 23.00 WIB dan hujan mulai menyimbah kota hingga larut malam. Diskusi dipandu Eriyanto Hadi (Sekretaris Umum DKR) dan Hang Kafrawi, disaksikan langsung oleh berbagai pelaku teater berusia lanjut seperti Temul Amsal, Tengku Ubaidillah, Mosthamir Thalib dan beberapa orang lainnya.
Pembicaraan menjadi lebih hidup saat peserta diskusi banyak yang menyoalkan sekitar teater tradisi maupun modern Riau. Tiga pelaku teater perempuan yang ikut hadir malam itu seperti Rina Nazaruddin Entin, Dewi Mulkhaidah Ningsing dan Kunni Masrohanti percaya bahwa hal-hal yang berbau tradisi Melayu masih mewarnai karya-karya mereka hingga hari ini.
Mereka percaya bahwa teater modern Riau memiliki ciri khas yang tidak dimiliki daerah lain. Melayu Riau memiliki kekayaan yang tak ternilai harganya dan harus tetap dipertahankan agar tidak tergerus dimakan rayap zaman. ‘’Jika tidak kita yang melakukannya, lalu siapa lagi,’’ kata mereka.
Beberapa pelaku teater lainnya seperti Saho Riau, Deni Afriadi dan lainnya tidak hanya menyoal pada karya panggung. Mereka juga membahas tentang naskah-naskah drama yang lahir dari anak-anak lokal yang juga tidak lepas dari pengaruh hikayat, legenda dan mitos Melayu. Sekedar menyebut nama, sesuai yang diungkapkan Saho Riau antara lain Tenas Effendy, Sudarno Mahyuddin, Dasri al Mubari, GP Ade Dharmawi, Hang Kafrawi, Marhalim Zaini, Fedli Azis, M Paradison, Rina NE dan banyak lagi.
Naskah-naskah yang mereka hasilkan, sudah ada yang dibukukan, namun lebih banyak tersimpan di lemari masing-masing atau sebagai arsip di DKR sebagai pemenang Sayembara Penulisan Naskah Drama, terutama naskah-naskah penulis berusia muda.
‘’Kita selalu mengatakan, karya anak-anak lokal minim bahkan tidak ada. Menurut saya ini pernyataan yang keliru sebab naskah-naskah lokal cukup banyak, apalagi di DKR namun belum dibukukan sama sekali. Jika kita ingin lebih bersusah-susah mencari maka naskah itu pasti didapatkan. Saya hanya mengingatkan, jangan selalu mengatakan karya-karya luar hebat dan memenuhi dramaturgi dan semacamnya. Coba pelajari naskah kawan-kawan kita, baru setelah itu berkomentar. Kami juga mengharapkan, DKR segera untuk membukukan naskah-naskah tersebut,’’ ujar Saho Riau panjang lebar.
Menanggapi hal itu, Kazzaini yang ikut diskusi hingga usai berjanji untuk mewujudkan keinginan bersama tersebut.
Paling tidak, 2013 mendatang DKR akan berupaya mencetak naskah-naskah drama yang tersimpan itu dan menyebarkannya secara luas, hingga ke sekolah-sekolah di Riau.
‘’Itu sudah kami rencanakan namun tentunya harus bersabar. Tidak hanya itu, ke depan kami akan menggarap serius peringatan Hari Teater Modern ini dengan cakupan yang lebih luas dari sekarang,’’ katanya.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 18 November 2012
No comments:
Post a Comment