-- F Djoko Poerwoko*
LIMA hari menjelang Hari Bakti TNI AU yang jatuh setiap tanggal 29 Juli, Laksamana Madya Omar Dani meninggalkan kita, Jumat (24/7) pukul 13.50 di RSAU Lanud Halim PK.
Kepergian Omar Dani tidak mendadak. Ia beberapa kali keluar-masuk rumah sakit.
Dari 85 tahun usianya, 29 tahun di antaranya hidup di dalam tahanan Pemerintah Indonesia hasil putusan Mahkamah Militer Luar Biasa yang dibacakan tepat pada Hari Natal 1966 pukul 00.00.
Sidang maraton yang ”wajar” selama 30 hari menjatuhkan putusan hukuman mati untuk mantan Panglima Angkatan Udara, dan hanya diberi waktu 90 menit untuk membuat pembelaan.
Waktu sesingkat itu digunakan tertuduh yang secara keseluruhan tidak jauh berbeda dari duplik terdahulu. Kalau toh ada hanya mengingatkan majelis hakim bahwa saat ini tertuduh sudah bukan saja menjadi ”rakyat biasa”, tetapi ”rakyat luar biasa” karena telah dipecat sebagai Menteri/Panglima AU sejak 1 September 1966, pemecatan terjadi sebelum pengadilan. Seiring dengan putusan hukuman mati, segala tanda jasa, termasuk Bintang Sakti yang diperoleh Omar Dani, dicabut.
Meski dijatuhi hukuman mati, eksekusi tak pernah dijalankan. Sejak 1980, putusan hukuman mati berubah menjadi hukuman seumur hidup, dan sejak 16 Agustus 1995, Omar Dani dibebaskan dari Rumah Tahanan Militer Budi Utomo. Sebelumnya, Omar Dani sempat ditahan di Wisma AURI, Cibogo, LP Cipinang, dan Inrehab Nirbaya.
”Bapak tidak ingin menuntut Pak Harto...?” kata penulis di Lanud Iswahyudi pada awal 2001, saat Omar Dani bersama mantan Kasau lainnya melakukan kunjungan nostalgia ke Yogyakarta, Malang, dan Madiun.
Dengan lirih, Omar Dani menjawab ”tidak”, dan menambahkan ”...Uripku saiki luwih kepénak timbang dhèwèké.... (Saat ini hidupku lebih enak daripada dia (Pak Harto)”. Itulah Omar Dani yang dalam berbagai kesempatan diskusi tetap menghormati Pak Harto sebagai pimpinan nasional.
Perjalanan singkat
Dilantik sebagai Menteri/ Panglima AU saat berusia 38 tahun atau sembilan tahun sejak menjadi perwira, berkarya di Angkatan Udara 12 tahun dan ditahan 29 tahun. Praktis hidup di tahanan lebih lama daripada masa pengabdian untuk negara. Namun, itulah jalan hidup cicit Sunan Pakubuwono IX, Raja Surakarta Hadiningrat yang sejak Sekolah Rakyat di Solo ingin menjadi garuda yang terbang di angkasa daripada menjadi bebek yang hidup di sawah.
Keinginan itu tertulis dalam buku Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran, dan Tanganku edisi revisi (2005). Cetakan pertama dan kedua (2001) dengan judul sama hilang di pasaran begitu dirilis. Sementara cetakan ketiga dikirim by name.
Perwira Tinggi kelahiran Solo, 23 Januari 1924, ini tabu disebut namanya semasa Orde Baru berkuasa. Meski sudah dibebaskan sejak 16 Agustus 1995, gambarnya baru menghiasi kantor jajaran TNI AU pada pertengahan 2000. Selama itu, foto resmi Laksamana Madya Omar Dani tidak ada dalam deretan pejabat AU. Seolah negara, rakyat, bangsa Indonesia dan TNI AU sendiri harus melupakan jasa seorang panglima yang pernah memimpin Angkatan Udara terkuat di belahan bumi selatan periode 1960-an.
”...Operasi Dwikora tahun 1964, saat itu dipimpin Laksamana Madya Omar Dani,” penggal pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di luar teks saat meresmikan Monumen Trikora dan Dwikora di halaman Mabes TNI, Cilangkap (26/2). Sayang, saat itu Omar Dani tidak hadir karena sakit meski panitia mengundangnya.
Hari ini, Sabtu (25/7), jasadnya akan dimakamkan di TPU Jeruk Purut, Jakarta Selatan, satu liang lahat dengan istri yang meninggal 10 tahun lalu.
Mantan anak buah dan bangsa akan menyaksikan Pahlawan Dirgantara dimakamkan sebagai rakyat biasa tanpa balutan Merah Putih.
Selamat jalan Pak Omar Dani, orang yang tak mempunyai rasa benci terhadap sesama.
* F Djoko Poerwoko, Marsekal Muda TNI (Purn); Anggota Perhimpunan Purnawirawan AU
Sumber: Kompas, Sabtu, 25 Juli 2009
1 comment:
artikel yg menarik bos
salam kenal dari www.karawanginfo.com
Post a Comment