-- Jakob Sumardjo*
• Judul: Pesta Obama di Bali
• Penulis: Nurinwa Ki S Hendrowinoto
• Penerbit: Udayana University Press, Juli 2009
• Tebal: 170 halaman
NOVEL pendek Nurinwa Ki S Hendrowinoto, Pesta Obama di Bali (2009), mengingatkan peristiwa Manohara yang langsung dibikin sinetron mengikuti cara berpikir dunia pop. Mumpung masih menjadi pembicaraan, fakta dikemas dalam fiksi menunggangi sebuah kepopuleran. Bukan sesuatu yang jelek karena tujuannya adalah mendompleng penasaran publik demi bisnis.
Masalahnya adalah antara fakta dan fiksi. Novel jelas fiksi, imajinasi, pikiran tentang fakta kehidupan ini. Kejarannya adalah pemaknaan, penilaian, yang dapat membentuk sikap seseorang. Fiksi ujungnya yang terdalam adalah pandangan dunia penulisnya. Sebuah pandangan dunia yang otentik miliknya akan segera terangsang oleh peristiwa-peristiwa bersama, sehingga muncullah karya fiksinya, yang berarti pikirannya, imajinasinya, dunianya. Fiksi menjadi makna.
Pesta Obama di Bali mengisahkan penari Bali, Nyi Legong yang tidak mau mengenakan BH dan celana dalam sejak G-30 S-PKI tahun 1965 sebagai protes moral atas kebiadaban yang menimpa dirinya. Suaminya salah ciduk dan dia sendiri diperkosa oleh para penyidiknya. Sumpah getir yang dijalaninya ini tiba-tiba luluh ketika Obama terpilih menjadi presiden. Ia mau menari lagi dengan mengenakan kutang dan celana dalam. Namun, tariannya dalam pesta tersebut meningkat menjadi kesurupan dan terjadilah peristiwa memalukan yang mengakibatkan Nyi Legong dan mereka yang terlibat berurusan dengan polisi setempat. Semuanya berakhir happy end dengan perkawinan Nyi Legong dengan jenderal Amerika pincang yang membuat heboh pesta Obama tersebut.
Ambisius
Kisah sederhana ini dikembangkan oleh Nurinwa dalam opininya yang bernada kritik terhadap Indonesia, baik politik, budaya, sastra, bahkan menyinggung agama. Sebuah cakupan yang benar-benar ambisius dan memerlukan penguraian yang tidak sederhana. Namun, novel ini terlalu pendek buat ambisinya tersebut. Itulah sebabnya, ia merencanakan mengembangkannya menjadi sebuah trilogi novel seperti dimuat dalam iklan bukunya.
Setelah hampir 30 tahun Nurinwa tidak menulis novel (ada dua novelnya), kini dia mulai menulis lagi fiksi. Selama rentang waktu itu dia sibuk menulis peristiwa-peristiwa berupa biografi para jenderal dan mantan jenderal Orde Baru yang dikerjakan dalam semboyan ”lebih cepat lebih baik” ala Nurinwa. Cara kerja semacam inilah yang menuntun irama Nurinwa dalam menulis novel ini.
Mutu dan waktu, itulah soalnya. Mungkinkah dalam waktu hitungan bulan sebuah fiksi (pemikiran) dapat mengakar dalam, pada jantung peristiwanya? Bisa saja asal persiapan berupa obsesi pemikiran penulisnya telah lama terpendam. Peristiwa Obama hanyalah rangsangan bagi kreasinya.
Novel ini paradoks, cepat tapi mau dalam, pop tapi mau serius, humor tapi getir. Penulisnya menendang sana-sini ke segala arah peradaban Indonesia. Semuanya jelek. Jelek karena kita tidak otentik, suka meniru saja. Tidak berani memiliki dasar pemikiran sendiri. ”Saya juga pernah mendengar dari seorang intelektual yang pesimis katanya bangsa Indonesia sulit bisa menjadi bangsa besar meskipun kaya raya, karena bangsa ini belum pernah melahirkan filsuf” (hal 65).
Tidak percaya diri dalam berpikir otentik inilah yang menjadi dasar Indonesia ”tidak dibaca dunia”, menurut penulisnya. Seperti kisah dalam novel ini, manusia Indonesia menaruh harapan dirinya bukan pada presidennya sendiri, tetapi pada Presiden Amerika, Obama.
Ukuran pemikiran manusia Indonesia adalah pikiran global dunia. Hal yang benar di Amerika benar buat Indonesia. Sampai pada peristiwa G-30 S dihubungkan dengan Amerika (CIA). ”Pengakuan buku mantan anggota CIA yang menyebut seorang tokoh Indonesia agen CIA makin menguatkan bahwa Amerika punya peran dalam menggulingkan Bung Karno,” (hal 64). Indonesia tidak hidup dari dirinya sendiri, tetapi dari sikap dan tindakan bangsa lain.
Novel ini pada dasarnya sindiran terhadap mentalitas semacam itu seperti dilihat oleh penulisnya. Hampir segalanya tak bisa dibanggakan kalau tidak berani bangkit dengan otentitasnya sendiri. Itulah yang dikerjakan Boccacio di Italia, Chaucer di Inggris, dan Rabelais di Perancis, mengikuti pendapat Jean Couteau yang dilampirkan dalam buku ini.
Namun perbedaannya juga jelas dengan para raksasa satiris tersebut, mereka mengeksplorasi dan mengalami kebobrokan secara rinci dalam karya-karya cukup tebal. Nurinwa yang suka ngebut dalam berkarya ini, berhasil memunculkan bernas-bernas sendirian, meski kadang mengutip pendapat orang lain, yang masih perlu dipertanggungjawabkan dalam penggambaran-penggambaran yang lebih sistemik.
* Jakob Sumarjo, Pengamat Sastra
Sumber: Kompas, Minggu, 26 Juli 2009
No comments:
Post a Comment