Saturday, July 18, 2009

Redefinisi Film Sastra

-- Teguh Trianton*

SEBAGAI pengguna bahasa Indonesia, penikmat film dan sastra, saya dibuat bingung dengan sebuah terminologi baru yang secara tersurat mencakup dua bidang seni (sinematografi dan sastra) sekaligus. Terminologi atau istilah dimaksud adalah film sastra (FS) yang merupakan frase gabungan dari kata film dan sastra.

Frase ini belakangan biasa diucapkan pada kontestasi ihwal perkembangan dunia industri kreatif (film) terkini. Istilah FS ditengarai pertama kali muncul bersamaan dengan berterimanya film berjudul Ayat-Ayat Cinta (AAC) yang diadaptasi dari novel berjudul sama.

Novel AAC mendapat legitimasi dan label novel Islam serta berterima di masyarakat pascaekranisasi. Label islami dan ekranisasi membawa AAC pada perdebatan panjang mengenai kadar kesastraanya. Nah dari sini kemudian seolah-olah telah lahir genre film sastra, yaitu film yang membawa pesan religius, pendidikan, dan tidak vulgar.

Dari sini pula, publik penikmat dua genre karya seni-yang sesungguhnya memiliki karakteristik-berbeda itu diajak meraba-meraba apa sebenarnya difinisi FS yang dimaksud. Genre film baru atau hanya sebuah label atau bahkan hanya kemenoran bahasa.

Jika FS merupakan genre film baru, terminologi ini secara tidak langsung telah mendikotomi film-film lain. Istilah FS menjadi demarkasi bahwa ada film lain yang tidak masuk kategori ini. Istilah FS juga telah menyudutkan film-film lain yang bercerita tentang hedonism, virginitas, seksualitas, yang tidak secara terang-terangan dibungkus dengan label agama (Islam).

Ali Imron (2009) dalam satu makalahnya menyebutkan bahwa yang dimaksud FS adalah film yang diangkat dari karya sastra literer yang dipandang memiliki keharmonisan metode penceritaan dan ide yang dikandung. Di sini substansinya jelas pada kata "diangkat" atau diadaptasi. Sebab, keharmonisan penceritaan dan ide masuk pada wilayah teknis pengucapan.

Cara ucap film dan literer jelas berbeda. Film berucap melalui serangkaian sistem tanda yang bertumpuk dan kompleks, sedangkan sastra berucap dengan sistem tanda yang sangat sederhana berupa bahasa tulis. Dalam pandangan Pierce, sistem tanda pada film dan sastra memiliki kesamaan yaitu terdiri dari ikon, indeks, dan simbol.

Yang membedakan adalah tingkat kompleksitasnya. Ikon, indeks, dan simbol pada sastra dipresentasikan dengah bahasa tulis. Pada film ketiga, sistem tanda tersebut dipresentasikan dengan bahasa tulis, lisan, suara musik, alam, gambar latar, gambar bergerak, yang membentuk plot.

Nah, dengan demikian terminologi film sastra sesungguhnya telah memiliki padanan istilah yaitu ekranisasi, atau adaptasi, atau filmisasi karya sastra. Lalu pertanyaanya adalah kenapa istilah film sastra baru muncul belakangan. Sementara proses adaptasi karya sastra ke dalam film telah terjadi sejak lama.

'Ekranisasi'

Dalam catatan sejarah film di Indonesia terbaca bahwa sebagaian besar film layar lebar yang pernah diproduksi merupakan hasil adaptasi atau ekranisasi. Tahun 1977, Teguh Karya mengangkat novel Badai Pasti Berlalu (BPS) karya Marga T. (1974) menjadi sebuah film legendaries.

Bahkan, kepiawaian sutradara bekerjasama dengan penata musik latar (soundtrack) yang dipercayakan pada Eros Djarot dianggap mampu melahirkan sintesis estetika yang mumpuni. Namun BPS tak pernah disebut sebagai film sastra.

Pada yang paling klasik seperti film Romeo and Juliet, Hamlet, atau Julius Caesar di Eropa sampai Ramayana juga Mahabharata di Asia, tak sekalipun disebut sebagai film sastra. Termasuk Harry Potter.

Sesungguhnya pada kasus di Indonesia, jika yang dimaksud dengan film sastra adalah film adaptasi karya sastra, saya berani menyimpulkan bahwa hampir seluruh film yang beredar di bioskop adalah film sastra. Termasuk film popular sekalipun.

Kita ingat Eiffel I'm in Love, Dealova, Cintapucino, Jomblo, Kawin Kontrak, dan lain-lain. Ada lagi Si Doel Anak Betawi, Lupus, Gie. Atau yang terbaru, Laskar Pelangi, Perempuan Berkalung Sorban, semuanya dapat disebut film sastra karena diadaptasi dari karya sastra.

Redifinisi

Dalam pandangan saya, perlu redifinisi terminologi FS. Istilah ini sesungguhnya baru mendapatkan signifikansinya setelah berhadapan dengan tiga pertanyaan.

Pertama, apakah yang dimaksud FS hanya sebatas ekranisasi. Jika iya, semua film adalah film sastra kecuali film (animasi) yang tak memiliki rujukan dengan karya literer. Dan tak perlu ada dikotomi antara yang berlabel islami dan tidak islami. Sebab yang penting adalah pesan yang disampaikan bukan baju yang dikenakan.

Kedua, apakah yang dimaksud FS adalah film yang bercerita tentang kisah hidup seorang penulis (sastrawan). Jika ini, di Indonesia belum ada film layar lebar yang secara detail bercerita kehidupan penulis sastra. Artinya tak ada FS di Indonesia.

Ketiga, apakah FS adalah film yang cara bertuturnya menggunakan bahasa sastra, yang cenderung multiinterpretasi. Jika iya, film-film garapan Garin Nugroho dapat masuk pada ketegori ini. Sebab film Garin banyak memainkan simbol, indeks, dan ikon metaforis audio visual- yang bertumpuk.

Atau jangan-jangan terminologi film sastra hanya sebuah istilah--kemenoran bahasa--hasil bentukan dari dua kata yang memiliki rujukan yang berbeda, kemudian menjadi satu frase baru yang belum ada referensinya?

* Teguh Trianton, Penikmat seni, aktif di Beranda Budaya, Banyumas

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 18 Juli 2009

2 comments:

dini anggraheni, s.s said...

terimakasih atas sedikit ulasan tentang film sastra... karna saya memang sedang menghadapi permasalahan yang mengungkap bahwa: apakah film itu karya sastra? dari ulasan tadi saya mampu menarik kesimpulan sendiri,bahwa film memang bagian karya sastra asalkan merujuk pada karya sastra literal contohnya novel.

naeli_f said...

q pengagum. penikmat suka baca tapi tidak ahli dalam sastra. analisa TT terhadap sastra bagi saya sebagai pembaca memberikan arah bagaiman membangun mindset menganalisa suatu problem atau karya