KEPALA SD Negeri Palmerah 07, Jakarta Barat, Tjiah Kursiah, belum pernah mendengar tentang buku sekolah elektronik alias buku pelajaran digital. Apalagi mengunduhnya. Di sekolah mereka memang sudah ada akses internet dengan berlangganan ke salah satu perusahaan penyedia jasa telekomunikasi. Mereka berlangganan atas inisiatif sendiri.
Hanya ada satu unit komputer yang terhubung ke jaringan internet di sekolah tersebut. Itu pun cuma digunakan untuk keperluan administrasi, seperti penerimaan siswa baru (PSB) sistem online baru-baru ini. Adapun Tjiah dan para guru di sana mengaku tak pernah sekali pun melihat wujud buku sekolah elektronik, termasuk versi cetaknya yang disebut-sebut sebagai buku pelajaran murah.
Sejauh ini, pengadaan buku pelajaran di sekolah itu masih seperti dulu. Ada pihak penerbit yang datang menawarkan buku pelajaran dan pihak sekolah memilih buku yang cocok. ”Bukunya sudah lolos penilaian, dan kata orang yang berjualan, mereka sudah ada izin. Jadi boleh dibeli atau legal,” ujarnya.
Buku-buku tersebut dibeli dengan menggunakan sepenuhnya dana pemerintah. Selain menerima dana tahunan dari pos bantuan operasional sekolah (BOS) dari pemerintah pusat, juga BOS buku senilai Rp 6,6 juta untuk 298 siswa, mereka juga mendapat dana bantuan operasional pendidikan (BOP) dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebesar Rp 60.000 per siswa per bulan.
Pembelian dilakukan bertahap hingga tersedia buku untuk semua mata pelajaran bagi semua murid. ”Buku-buku itu kami pinjamkan ke murid. Mereka bisa membawanya pulang. Syaratnya dirawat dengan baik. Bahkan, buku lembar kerja siswa (LKS) pun kami berikan gratis,” ujarnya.
Sekolah-sekolah (negeri) di DKI Jakarta memang relatif beruntung. Lain halnya mereka yang ada di daerah. Juga para siswa di pinggiran Ibu Kota. Sebagian besar para orangtua murid, terutama di perkotaan, harus merogoh kocek sendiri untuk kebutuhan buku sekolah anak-anak mereka.
Versi cetak
Kalau hanya mengandalkan BOS buku, jelas tidak memadai. Sementara untuk bisa menikmati ”buku murah”, buah dari kebijakan buku sekolah elektronik, pun ternyata hingga tahun kedua ini masih sebatas harapan. Ternyata, mengimplementasikan sebuah kebijakan—betapapun mungkin maksudnya baik—masih jadi persoalan besar di negeri ini.
Ketua Pusat Buku Indonesia (PBI) Firdaoes Umar mengatakan, telah ada kegiatan sosialisasi mengenai buku pelajaran murah (buku yang telah dibeli hak ciptanya dan dicetak untuk dijual sesuai harga eceran tertinggi yang ditentukan pemerintah). Namun, tetap diperlukan sosialisasi gencar secara nasional agar penggunaan buku itu semakin luas.
Sejauh ini telah masuk permintaan terhadap buku pelajaran murah tersebut dari beberapa daerah. Termasuk di luar Pulau Jawa yang minim toko buku. Untuk daerah luar Jawa, yang biaya pengiriman tinggi, sekolah biasanya memesan secara berkelompok, sekitar 15-30 sekolah.
”Pemesanan paling banyak untuk jenjang sekolah dasar,” ujarnya.
Sejauh ini telah ada sekitar 230 judul buku versi cetak teks pelajaran yang sudah dibeli hak ciptanya masuk ke Pusat Buku Indonesia, mulai dari jenjang SD, SMP, hingga SMA dan SMK. Percetakan yang memasok ke pusat buku tersebut sekitar 10 percetakan. Beberapa toko buku juga sudah mulai tertarik memasarkan buku-buku tersebut.
Kepala Pusat Perbukuan Indonesia Depdiknas Sugijanto juga mengaku pihaknya sudah menyosialisasikan keberadaan buku elektronik ini. Surat edaran kepada semua gubernur dan pemerintah kabupaten/kota agar dana bantuan yang disalurkan pemerintah untuk pembelian buku dipergunakan untuk membeli buku murah tersebut juga sudah dikirim.
”Kami juga sudah menyebarkan cakram berisi materi buku pelajaran tersebut. Kami berharap nantinya berkembang percetakan di daerah. Kalau sekolah mencetak langsung dari komputer, tentu harganya sangat mahal,” ujarnya.
Dia memperkirakan ada sejumlah penyebab mengapa buku pelajaran murah tersebut belum populer di masyarakat. Salah satunya terkait masih sedikit jumlah judul buku murah dibandingkan buku terbitan para penerbit yang sudah ada di pasar. Saat ini terdapat sekitar 3.000 judul buku pelajaran yang diterbitkan oleh sekitar 250 penerbit. Adapun buku elektronik versi cetak masih sepersepuluhnya dan distribusinya pun baru dimulai dua tahun belakangan.
Berbagai upaya tampaknya memang sudah dilakukan. Terlepas apakah upaya itu sudah maksimal atau belum, yang pasti hingga kini beban para orangtua untuk mendapatkan pendidikan murah—apalagi benar-benar gratis—sekaligus bermutu masih jauh dari harapan. Entah sampai kapan.... (INE/ELN/KEN)
Sumber: Kompas, Jumat, 24 Juli 2009
No comments:
Post a Comment