Friday, July 24, 2009

[Teroka] Dari Khotbah Bunga ke Sungai Tak Bicara

-- Tia Setiadi

PADA suatu pagi yang bening dan tenang, Sang Buddha mengumpulkan murid-muridnya yang paling tinggi pencapaian rohaninya di Taman Kijang yang terletak di daerah pedesaan Isipatana. Suasana hening aneh ketika itu.

Terasa ada kekhusyukan terpancar dari wajah-wajah para murid pinilih itu. Dedaunan dan burung-burung tak bergerak, seolah ikut khidmat menanti ajaran yang akan diwedar Sang Buddha. Yang mengherankan, sekian lama ditunggu-tunggu Sang Buddha masih juga tak mengatakan sepatah ajaran pun.

Dia hanya berdiam diri. Kemudian-masih tanpa kata-kata terucap Sang Buddha berjalan perlahan-lahan di hadapan para muridnya, sembari memutar-mutar setangkai bunga kuning. Pada saat itu seorang arhant bernama Kasyapa tiba-tiba tersenyum lebar. Maka Sang Buddha yang dicerahkan pun lantas berkata, ”Hari ini hanya Kasyapa yang terhormat yang memahami ajaranku.”

Selepas itu Sang Buddha pergi memasuki tempat samadhi-nya, meninggalkan para murid yang masih tercengang dan Kasyapa yang tersenyum arif. Syahdan, di kemudian hari Kasyapa menjadi keluarga pertama dari apa yang kita kenal sebagai Buddha Zen dan khotbah Sang Buddha yang singkat tanpa kata-kata itu disebut Sutra Bunga.

Hari-hari ini saya kerap teringat adegan indah Khotbah Bunga itu dan bersyukur bahwa di dunia kita yang sedih dan tak sempurna ini pernah hadir seorang pengkhotbah seperti Sang Buddha. Seorang pengkhotbah yang tahu batas kata-kata sekaligus melampauinya. Yang mengingatkan dan mengembalikan kita pada kepekaan indera-indera dan visi batin kita sendiri. Pada apa yang terdengar telinga dan tampak di depan mata, yang tersentuh mesra oleh kaki dan tangan kita: sekuntum bunga kuning yang baru mekar, derai angin di pepucuk daun, cahaya dan bayangan, pohon-pohon, dan udara segar.

Sang Buddha sadar betul bahwa ajaran dan kata-kata sering kali justru bisa memenjara dan mengasingkan kita dari bumi dan dunia, maka ia memandu murid-muridnya agar intim dengan alam raya, dengan ajaran-ajaran yang tak tertulis dalam kitab-kitab dan tak terucapkan para juru khotbah, tetapi hadir dan terpantul di mana-mana.

Rakit dan pengkhotbah

Sedihnya, kali ini kita justru dikepung dan dikelilingi oleh para pengkhotbah yang ceriwis, yang tak tahu batas kata-kata, yang terlampau berpegang kaku pada tafsir monolitik atas kitab-kitab tertulis dan mengabaikan rahasia kitab-kitab yang tak tertulis. Lihatlah, begitu gemarnya para pengkhotbah itu berdiam dalam mikrofon, meneriakkan dan menjejalkan ajaran-ajarannya.

Padahal, sang pengkhotbah sejati tak pernah menuntut kepatuhan dogmatis dari para pengikutnya. Bahkan ia selalu menekankan kepada muridnya untuk mencari dan menemukan pulau pembebasannya sendiri.

Sang Buddha telah mengatakan segala ajaran yang masih mungkin untuk dikatakan: daya jangkau pikiran dan keterbatasannya, indera-indera dan ilusinya. Sementara itu, segala ajaran yang tak terkatakan, dia kembalikan kepada keheningan. Tetapi, keheningan Sang Buddha bukanlah ungkapan suatu pengetahuan, melainkan ia menyingkap sesuatu yang datang setelah pantai pengetahuan berakhir: kearifan.

Sampai di sini, saya jadi teringat sebuah novel liris yang ditulis Herman Hesse, bertajuk Siddartha. Konon, setelah jauh mengembara mencari jati dirinya, berguru dan hidup bersama para pertapa, Siddharta tak juga tercerahkan dan dahaga jiwanya belum juga terpuaskan.

Kemudian tibalah dia di sebuah sungai dan Siddharta menyerah. Dia tak lagi mengingat ajaran atau bekerja keras menggapai pencerahan. Siddharta hanya mendengarkan suara arus sungai itu. Dan ketika dia mendengar, Siddharta benar-benar menyatu dengan mendengar, benar-benar suwung.

Siddharta mendengar ribuan jenis lagu sungai: ratap kerinduan, tetes-tetes kebijaksanaan, bulir rintihan dan tangisan, serta keceriaan anak-anak. Dalam keheningan dan kediamdiriannya Siddharta menyatu dengan keseluruhannya.

Kisah tentang Siddharta lagi-lagi mengingatkan kita akan keterbatasan ajaran dan kata-kata, dan mendorong kita membukakan pintu batin untuk menyambut arus sungai keheningan yang datang sebelum dan sesudah kata.

Indonesia sepertinya membutuhkan seseorang yang mau dan mampu berjihad menjadi ”Siddharta politik”, menjadi kearifan. Yang mungkin sepi, mungkin sendiri.

Sumber: Kompas, Sabtu, 25 Juli 2009

No comments: