Sunday, July 12, 2009

Sastra, Tragedi, dan Kejutan Imajinasi

-- Munawir Aziz*

TRAGEDI menjadi medan transformasi dalam ruang kontestasi sastra. Karya sastra yang penuh dengan luapan imajinasi dan sederet ide, dimulai dengan petualangan pencarian jati diri dan tragedi. Dunia sastra memungkinkan tragedi merasuk dan bersemayam dengan penuh intrik, menjadi ruang penting dengan subjek berjejal. Sastrawan menikmati petualangan kreativitasnya ketika bergelut dengan tragedi, kesedihan, dan pertikaian. Milan Kundera menjadi contoh betapa tragedi mampu menghias dan menampilkan wajah karya lebih bombastis. Milan Kundera, sastrawan ekspatriat yang lahir pada 1929 di Brno, Cekoslovakia, meluapkan kreativitasnya untuk memerdekakan diri, mengungkap kritik, dan mengukuhkan eksistensi berpikir. Milan Kundera berteman dengan tragedi. Setelah pindah ke Prancis, Kundera meluncurkan La livre du rire et de l`oubli (The Book of Laughter and Forgetting) untuk mengkritik tanah kelahirannya, dengan menelanjangi kebusukan pemerintah komunis Cekoslovakia.

**

tragedi tak sekadar menguntit kedamaian hidup. Tragedi juga menjadi energi di tengah kontestasi dan itu, terbukti dalam deretan kisah hidup Edward Said. Pelopor kajian postcolonial ini sering dirajam dendam oleh lingkungan dan power budaya barat. Edward Said dengan jenius, canggih, dan cemerlang menuliskan karya yang menggemparkan dunia. Kajian postcolonial yang digelutinya menjadi kajian penting untuk membaca dan menafsirkan kembali identitas, sejarah, dan perkembangan wilayah dunia ketiga, daerah bekas jajahan imperialis.

Memoar hidupnya yang berjejak pada Out of Place (2000), menjadi penanda penting betapa tragedi sangat akrab dengan nafas Edward Said. Berbagai penghinaan, penindasan, dan kondisi mencekam akibat gemuruh perang, menjadi ingatan yang menembus perasaan terdalam. Said menggerakkan serpihan ingatan masa kecilnya untuk menuliskan karya ini.

Dalam kesaksiannya, memoar ini menjadi pengakuan imajiner terhadap rentetan panjang kehidupan Edward Said. Intelektual dan penulis prolifik ini lahir di Yerusalem dan menjalani hidup di tengah kegetiran situasi konflik. Edward Said kecil kemudian bermukim serta belajar di Kairo, Mesir. Studi postcolonialism yang digagas Said, lahir dari latar kebencian akan konflik dan penindasan imperialis. Ketidakadilan tak hanya melintas dalam bidang ekonomi politik, namun menukik di ruang budaya dan pengetahuan. Said sadar bahwa ada ketimpangan ketika negara penjajah menulis tentang daerah jajahannya. Negeri tertindas akan mengalami ketidakadilan dan kekacauan sejarah. Dari mutiara keringat dan refleksi kritis, studi postcolonialism mengguncang dunia. Tentu dengan sederet tragedi yang membentang di jejak hidup Said.

Tentang proses kreatif dan misi intelektualnya, Said menyatakan, "Menulis berarti mencari sesuatu dari kata per kata, menanggung sakit berarti melakukan banyak sekali langkah pengobatan yang membawamu dari keadaan demi keadaan. Lalu dengan berbagai jenis karya, saya mengatasi penyakit ini," ungkap Said.

Milan Kundera, Edward W. Said, dan beberapa sastrawan intelektual penting lain, membuktikan bahwa tragedi menjadi cerita mengejutkan di sekitar karya. Tragedi dan penindasan diri akan menghiasi proses menjadi sastrawan dan intelektual kelas atas dengan segenap penafsiran dan bias pemberitaan. Milan Kundera bernafas dengan tragedi, berkarib dengan rasa humor. Ungkapan frasa "Manusia berpikir, Tuhan pun tertawa", membuktikan seni intelektual Milan Kundera. Di tengah penderitaan, Kundera menemukan perisai humor untuk melempar nada putus asa ke jurang paling dalam, palung paling kelam.

Kegetiran dan tragedi juga termaktub dalam karya Gabriel Garcia Marquez. Di negeri ini, Pramoedya Ananta Toer merupakan cermin tragedi yang abadi. Pram diringkus dengan penjara di Pulau Buru.

Perselingkungan sastra dan tragedi sejatinya bukan mematikan sastrawan. Justru, kemapananlah yang menjadi ancaman serius. Kemapanan mampu menikam daya kreatif tanpa ampun. Keringnya karya sastra dahsyat negeri ini, juga diawali dengan iklim instan penciptaan sastra. Pada titik inilah, tragedi dibutuhkan untuk meringkus kemapanan, bukan mengekang diri. Keinsyafan atas tragedi akan mengentaskan sastrawan dari silent minority, menjadi spoken minority dalam ruang aspirasi. Penjara, bencana, dan cinta adalah tragedi dengan warna-warni. Dan sastrawan, bertugas melakukan refleksi untuk menerjemahkan tragedi dalam ruang pemaknaan baru dengan kejutan-kejutan imajinatif bagi dunia.***

* Munawir Aziz, peneliti sastra, bergiat di Cepdes Jakarta.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 12 Juli 2009

No comments: