Jakarta, Kompas - Selama 10 tahun terakhir pers di Indonesia menghadapi bermacam tantangan yang bersumber dari persoalan internal dan eksternal. Satu dari dua persoalan internal pers paling mencolok adalah penggunaan bahasa jurnalistik. Lembaga Pers Dr Soetomo mensinyalir pers sering kali menggunakan bahasa yang salah, tidak gramatikal, susah dicerna, bahasa gado-gado, bias, ofensif, dan belum baku.
”Padahal, pers adalah ’bisnis kata-kata bermakna’. Pers dapat pula membentuk perilaku masyarakat dalam berbahasa. Jika pers menggunakan banyak bahasa yang salah, efek kesalahan itu akan menular ke masyarakat,” kata Direktur Eksekutif Lembaga Pers Dr Soetomo, Priyambodo RH, Rabu (22/7) di Jakarta.
Untuk mendorong penggunaan bahasa jurnalistik yang cerdas dan benar, Lembaga Pers Dr Soetomo—dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Ke-21—pada seri lokakarya media massa hari kedua, Rabu (22/7), menghadirkan pembicara pakar bahasa dan konsultan Pusat Bahasa, Anton M Moeliono, presenter Metro TV, Desi Anwar, dan pakar pendidikan Arief Rachman.
Anton M Moeliono mengatakan, globalisasi tidak perlu menjadi alasan penginggrisan bahasa di Indonesia. Yang patut dicatat, globalisasi dan pasar bebas di dalam ekonomi dunia tidak mengakibatkan penginggrisan bahasa di Jerman, Perancis, Italia, Jepang, Korea, dan China.
Menjawab pertanyaan peserta, Anton mengatakan, bahasa jurnalistik bisa jadi pegangan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa. ”Kita tidak perlu membenci bahasa asing, tetapi kita perlu menyerap,” ujarnya.
Desi Anwar mengatakan, bahasa jurnalistik bukanlah bahasa yang baik. Sebab, bahasa jurnalistik sarat dengan jargon.
Menurut Desi Anwar, tujuan bahasa adalah alat komunikasi, menyampaikan pesan, mengungkapkan perasaan, menceritakan kejadian, memberikan pandangan dalam kode atau wadah (bahasa) yang disepakati sehingga dipahami dengan mudah. Bahasa mempermudah pemahaman terhadap apa yang disampaikan, bukan mempersulit atau menutupi.
Arief Rachman mengemukakan, bahasa adalah refleksi dan identitas yang paling kokoh dari sebuah budaya. Bahasa menjadi alat pengikat yang sangat kuat untuk mempertahankan eksistensi suatu budaya masyarakat.
”Penggunaan bahasa Indonesia dalam keseharian bukanlah sikap antibahasa asing. Penggunaan bahasa Inggris dalam keseharian harus dicarikan padanan katanya yang sesuai,” ujarnya. (NAL)
Sumber: Kompas, Kamis, 23 Juli 2009
No comments:
Post a Comment