-- Bre Redana
SENI pada masa kini sebagian adalah urusan gaya hidup. Mencuatnya seni kontemporer jelas antara lain dikarenakan dukungan kolektor yang banyak duit, yang menjadikan karya seni tak lagi terpingit.
Lihatlah hotel Grand Candi di Semarang yang baru saja direnovasi dan akan mengadakan relaunch dalam waktu dekat, sebagai salah satu contoh. Mengikuti tren berkembangnya butik hotel—hotel dengan sentuhan khusus tak lagi dengan pendekatan massal—hotel ini ingin mencitrakan diri sebagai hotel galeri alias gallery hotel. Di hotel di daerah elite lama Semarang itu, karya-karya perupa yang sedang menjadi hot items saat ini terpampang sejak dari lobi, berbagai ruangan dari restoran, function room hingga ke kamar-kamar. Bagi sebagian orang Semarang yang mengenai seni kontemporer boleh jadi hanya dengar-dengar dari media massa, bisa melihat karya-karya seperti itu di ruang publik sekarang.
Pemilik hotel ini adalah Deddy Kusuma, kolektor terkemuka, yang pernah dilukis oleh perupa Ugo Untoro dalam gayanya yang khas, dandy, dengan judul ”The man who loves Roberto Cavalli” (sekadar informasi bagi yang kurang akrab dengan dunia konsumsi, Roberto Cavalli adalah merek fashion mahal). ”Ini usaha kami untuk mendidik masyarakat untuk mencintai seni, untuk tahu dan memahami seni Indonesia,” kata pengusaha yang tinggal di Jakarta ini. Di rumahnya di bilangan Pondok Indah, Deddy menyimpan ratusan karya seni terkemuka, yang sebagian baru saja dibukukan dalam judul Edge of Transference. Di kediamannya juga sering diselenggarakan perhelatan seni, berupa diskusi sambil pameran karya-karya koleksinya.
Ini apa
Akses publik terhadap karya seni kian terbuka. Ini tentu gejala tak terbayangkan taruhlah pada masa sekitar 20 tahun lalu. Waktu itu bahkan ada kekhawatiran, dengan berkembangnya kegiatan mengoleksi oleh sejumlah individu, karya-karya seni akan terpingit—terpisahkan dari publik. Sekarang kenyataannya, para kolektor terkemuka berlomba membuka ”museum”, menerbitkan buku koleksi, menampilkan karya-karya seni di ruang publik. Para pengusaha properti terkemuka menghadirkan berbagai art object di lahan usaha mereka.
Grand Candi hanya salah satu ruang publik, di mana edukasi publik mengenai karya seni kontemporer diam-diam berlangsung: tidak lewat bangku sekolah, tetapi lewat mekanisme konsumsi gaya hidup. Bagus juga, kalau mengingat sebagian besar pelanggan Grand Candi adalah pejabat. Biar pada pejabat tidak cuma mengerti golf dan para caddy, tetapi juga karya seni.
Memasuki lobi hotel ini, orang langsung menjumpai dua patung manusia setinggi lebih dari dua meter berwarna merah, karya seniman China, Chen Wenling.
Beberapa langkah kemudian, art object karya perupa lulusan Institute Saint Joseph Brussels Belgium, Redi Rahardian. Karya itu berupa bentuk masif semacam batu tergantung dan tersender pada palang-palang hitam. Dalam deretan ini ada lagi patung berupa orang digeret anjing, karya seniman China Lu Jia. Di sebelah karya Lu Jia patung karya Nyoman Nuarta, ”Borobudur”. Sementara di belakangnya lagi, karya Yani Maryani, ”Mother of Earth”.
Penataan
Itulah sebagian gambaran mengenai karya-karya trimatra yang digelar di hotel ini. Yang tak kalah banyak, terpampang di dinding sampai ke kamar-kamar adalah seni lukis, dari karya para perupa muda seperti Masriadi, Handiwirman, Gede Rata Yoga, Ngakan Made Ardana, sampai karya old master seperti Affandi dan S Sudjojono. Karya lukis dihadirkan dalam bentuk repro seukuran karya asli.
Menghadirkan karya seni dalam sebuah hotel seperti ini tentu menyimpan tantangan tersendiri. Tantangan itu antara lain berupa penataan, yang pasti berbeda problemnya dengan memajang karya-karya di galeri atau museum. Dalam beberapa hal, pihak hotel sudah cukup memperhitungkan, untuk kamar kelas Deluxe misalnya, yang menghiasi dinding adalah karya-karya pelukis muda. Meningkat ke Royal Suite, karya seniman seperti Sunaryo atau Astari. Lalu pada kamar istimewa Presidential Suite, begitu membuka pintu orang disambut lukisan potret diri Affandi. Di bagian kamar tidur ada lukisan gunung karya S Abdullah, berhadap-hadapan dengan karya Antonio Blanco.
Di luar itu, tampaknya masih perlu penataan ulang untuk beberapa art object. Ratusan patung karya seniman Putu Sutawijaya yang tergantung membentuk bulatan (judul instalasi ini ”Dancing in Full Moon”) di lobi, rasanya agak terlalu ketinggian. Dramatik karya itu sebagai art object menjadi agak berkurang karena sekilas terkesan menjadi semacam lampu kristal.
”Saya mau kok menurunkan, kalau pihak hotel meminta,” komentar Putu Sutawijaya. ”Sekalian nginap di situ, ha-ha-ha...”
Sumber: Kompas, Minggu, 26 Juli 2009
No comments:
Post a Comment