-- Martin Lukito Sinaga
ADA sebuah catatan sejarah yang menarik tentang kerja misionaris Eropa (dimulai pada akhir abad ke-19) di sebuah kampung bernama Pekantan, Mandailing, Sumatera Utara. Di situ Islam bertumbuh pesat dan badan-badan misi Kristen Eropa amat ingin mengimbanginya.
Pertemuan Dewan Antaragama Indonesia yang diikuti tokoh-tokoh agama di Jakarta, Rabu (14/7). Hadir dalam acara itu antara lain Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, Kardinal Mgr Julius Darmaatmaja, Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Pdt AA Yewangoe, dan Ketua MUI Nazri Adlani. Para tokoh tersebut memprihatinkan masih adanya potensi konflik antarumat, ditandai dengan masih adanya perusakan tempat ibadah.(KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO)
Namun, ada pertikaian di antara badan misi itu sendiri khususnya karena kehadiran Heinrich Dirks, seorang Jerman asal Ukraina yang membawa paham anabaptis ke kampung Batak itu. Umumnya, paham tadi dinilai sebagai sesat di lingkungan gereja dan pada awal zaman Reformasi Protestan banyak kaum anabaptis yang disiksa karenanya.
Menghadapi soal ini, diadakanlah pertemuan antarlembaga misi itu. Salah satu kesimpulannya: jangan orang Eropa mengekspor persoalan ketegangan dan konfliknya ke Nusantara. Mesti diupayakan agar Kekristenan menemukan akar dan wajahnya di Indonesia.
Pada tahun 1976 kaum anabaptis hasil asuhan Dirks itu bergabung dengan Gereja ”Lutheran” Batak Angkola, sementara di Eropa gereja Anabaptis dan Lutheran belum bergabung. Ada hal penting lain yang kita bisa lihat berlangsung dalam penyatuan tersebut: ini adalah awal kemandirian gereja itu dari misi dan problem Eropa. Ia akan lebih bebas menetapkan sejarahnya sendiri dan selanjutnya bisa lebih mengakar di tanah Batak.
Gereja cari akar kebangsaan
Kisah dari kampung Batak tadi sedikit banyak mencerminkan pergulatan mendasar kekristenan di Indonesia. Dari Papua, Minahasa, Nusa Tenggara Timur, Toraja, sampai Kalimantan, Kekristenan dimulai sebagai bagian kerja, entah dari banyak lembaga-lembaga misi Eropa, entah dari gereja ”resmi” pemerintah kolonial Belanda. Semangat kerjanya didasari pada modus rohani Kekristenan yang saat itu dangkal saja: kesalehan rohani (pietisme) dan romantisme akan Christendom yang dibayangkan masih jaya.
Contohnya ada pada misionaris C Kruyt. Ia menulis agenda kerjanya berjudul ”Dari Kekafiran Menjadi Kristen” (1925). Di situ jelaslah maunya: agar terjadi alih agama dari penganut agama-agama primal di Nusantara menjadi Kristen. Sampai-sampai Gerry van Klinken (2003) menulis bahwa ”the history of Christianity in Indonesia is often studied as a history of conversion– and rightly so”.
Kita bisa membayangkan kalau seandainya proses seperti ini mulus tanpa selaan dan belokan, maka akan bertaburanlah ghetto-ghetto Kekristenan etnik—akibat konversi para penganut agama-agama primal Nusantara—di seantero Indonesia ini. Di situ bukan hanya bahwa orang Eropa berhasil mengekspor kesalehan dan romantismenya yang dangkal tadi, tetapi juga gereja di Indonesia akan sepenuhnya menjadi bagian dari proyek kolonialisme Barat.
Untunglah pada tahun 1950 sejumlah warga Kristen pribumi (non-Eropa) memutuskan untuk bersama-sama menempuh sejarah baru, sejarah yang disebut gerakan keesaan gereja, gerakan oikoumene. Melaluinya, gereja di Indonesia—mirip dengan peristiwa di Angkola tadi—hendak disapih dari ketergantungannya pada begitu banyak lembaga misi Eropa. Hendak pula diruntuhkan ghetto-ghetto gereja etnik yang selama ini membentenginya dari lingkungan tempat ia berjejas. Setelah itu, sejarah gereja Indonesia berubah menjadi sejarah bersama mencari akar dalam konteks kebangsaan Indonesia.
Maka, memang dalam niat bersama-sama memasuki konteks kebangsaan itu, melalui lembaga Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) pada tahun 1984 secara dramatis gereja-gereja di Indonesia membuka dan mengizinkan adanya dua arus menetap dalam perkembangan dirinya: arus iman Kristen selaku dasar hidupnya, dan Pancasila selaku asas dalam ia berkarya dalam masyarakat dan bangsa Indonesia.
Keputusan ini sungguh mendalam. Ini keputusan teologis karena gereja di Indonesia melihat bahwa pada Pancasila, khususnya melalui sila Ketuhanan Yang Mahaesa, terbuka koridor keterlibatan agama Kristen untuk berpartisipasi pada proyek bersama berbangsa. Dalam Pancasila ada tali-temali yang kukuh antara agama-agama, yang berketuhanan itu, dan hidup bersama-sama selaku satu bangsa dan negara.
Identitas ganda Kekristenan
Maka, sesungguhnya gereja di Indonesia memasuki arus river of no return di sini karena ia percaya bahwa Tuhan mengantarkannya bersama- sama, tidak sendiri-sendiri dalam ghetto gereja etnik, menjadi bagian dari bangsa ini melalui koridor yang dibuka oleh Pancasila tadi. Pada gilirannya gereja pun mengizinkan dimensi kebangsaan atau keindonesiaan memasuki dirinya. Jelaslah bahwa ada identitas ganda pada Kekristenan Indonesia. Di satu pihak, ia mengaitkan diri dengan sumber kepercayaannya, identitas teologisnya; dan pada pihak lain ia terus-menerus mengakarkan dirinya pada Indonesia, identitas kebangsaannya.
Dan, ini menyehatkan: teologinya menjadi realistis dan akar kebangsaannya menjadi kritis.
Semua kelompok agama di negeri ini tampaknya bisa menimba inspirasi dari modus beragama seperti ini. Kalau agama hanya bertumbuh pada satu identitas pasti, ia cenderung entah menjadi ghetto saat ia lemah atau menjadi momok kalau ia membesar bagi kehidupan bersama yang majemuk. Namun, kalau agama semata-mata menjadi ”agama kebangsaan”, civil religion, ia bisa terjebak pada nasionalisme sempit, yang tidak berkembang dan lenting, dan akan terpojok di era globalisasi ini.
Komitmen kebangsaan
Modus identitas ganda Kristen itu selanjutnya tentu perlu menemukan perenungan teologisnya yang baru dan segar agar kerja kebangsaannya pun relevan. Momen HUT Ke-65 Kemerdekaan RI ini menjadi saat tepat menetapkan langkah teologi yang bernas demi menguatkan komitmen kebangsaan tersebut.
Segera kita menemukan pentingnya perenungan kebebasan diajukan lagi, khususnya setelah 65 tahun bebas dari kolonialisme dan 12 tahun dari otoritarianisme politik. Jelas sekali bahwa praktik bebas dari kerangkeng besi penindasan telah menjadi pengalaman bersama warga Indonesia. Kini, kebebasan untuk mengajukan sebentuk perikehidupan baru tentu menjadi soal genting. Jangan sampai orang meragukan demokrasi dan kebebasan itu karena ia tak menghasilkan kualitas hidup yang lebih baik.
Maka, kebebasan yang juga menjadi pilar iman Kristen memang dapat menguatkan realitas kebebasan yang menjadi milik bangsa kita. Dalam paham Kristen (juga Islam), Allah menjadikan kita selaku ”citra” atau ”khalifah”-Nya dan kualitas mendasar yang dianugerahkan-Nya kepada manusia tadi ialah kebebasan. Kebebasan sedemikian menggandeng unsur tanggung jawab demi kesejahteraan ataupun kemaslahatan hidup orang lain sebagai pasangan menetapnya.
Di sini, komitmen kebangsaan akan makin kuat kalau dari dalam komunitas agama bisa dialami kebebasan yang membuka ruang bagi kesejahteraan bersama. Tersedianya ruang-ruang sosial tempat warga Indonesia mengalami kebebasan dan juga perbaikan mutu hidupnya akan menjadi pilar menguatkan komitmen kebangsaan itu. Ini sungguh penting di tengah modus hidup sehari-hari kita kini yang terlalu dijejali dengan tuntutan untuk sintas (survive) semata.
Selanjutnya, kualitas ruang sosial produk agama tadi perlu juga diwarnai dengan dimensi hospitality, sebuah tema global yang ingin menolak berkembangnya benturan peradaban dalam masyarakat kontemporer kita. Keterbukaan yang menerima sang liyan dengan ramah-tamah ini akan menjadikan suasana kebangsaan kita terbuka dan sehat.
Juga, kalau memang hospitality bertumbuh di masyarakat kita, maka aspek merawat pihak yang paling ”sakit” oleh beban ekonomi dan sosial akan pula menjadi prioritasnya. Di sini, suntikan segar dari komunitas Kristen—dan agama-agama lainnya—ke dalam komitmen kebangsaan itu akan sungguh membantu relevansi ataupun perwujudan konkret kebangsaan itu sendiri.
Martin Lukito Sinaga, Pendeta pada Gereja Kristen Protestan Simalungun; Kini Bekerja di Lutheran World Federation
Sumber: Kompas, Selasa, 10 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment