-- Raka Santeri
KETUHANAN Yang Mahaesa sebagai sila pertama Pancasila tampaknya masih belum dihayati benar oleh masyarakat pemeluk agama ataupun oleh aparat pemerintah sendiri. Padahal, sila pertama ini adalah dasar yang memberikan ”roh” kepada empat sila yang lainnya.
Aktivis Masyarakat Cinta Republik memperingati Hari Lahir Pancasila dengan menggelar aksi teatrikal di perempatan Tugu Yogyakarta, Selasa (1/6). Mereka mengajak masyarakat kembali mengutamakan penerapan ideologi Pancasila dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari. (KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO)
Bukti kurang dihayatinya sila Ketuhanan Yang Mahaesa itu dapat kita lihat dari terus berlanjutnya kebencian yang disusul kekerasan atas nama agama tanpa tindakan berarti dari pemerintah untuk menghentikannya. Padahal, sebentar lagi kita memperingati ulang tahun ke-65 hari proklamasi kemerdekaan kita. Dalam usia ini, negara seharusnya sudah mampu memberi perlindungan kepada segenap warga masyarakatnya serta mencegah tindakan barbar dari mana pun datangnya.
Agama dan Tuhan
Faktor utama penyebab berlanjutnya kebencian dan kekerasan atas nama agama mungkin karena sebagian masyarakat kita lebih memuliakan agama daripada Tuhan. Mereka lupa bahwa agama— betapapun mulianya—adalah sarana untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, dan Tuhan Yang Mahasuci hanya bisa didekati dengan kesucian hati yang terpancar dalam perbuatan penuh kasih dan sayang: memberi dan melayani. Karena itulah pula, Tuhan disebut Mahapengasih dan Mahapenyayang.
Karena kecenderungan lebih memuliakan agama daripada Tuhan, maka wahyu Tuhan pun hendak dikapling-kapling. Kebenarannya dikotak-kotakkan menurut agama masing-masing, seolah Tuhan tak mampu menciptakan kebenaran universal bagi seluruh umat manusia. Pandangan, tindakan, atau sikap yang tampak berbeda dari ajaran yang diyakini segera dicurigai dan harus disingkirkan, dilawan, kalau perlu dengan tindak kekerasan.
Sikap pemeluk agama seperti itu ternyata menimbulkan kebingungan pada sejumlah orang. ”Buat apa agama kalau memecah belah di antara kita,” komentar seorang mahasiswa dalam suatu acara Mahasiswa Lintas Agama Se-Bali, 5-7 Agustus lalu.
Temannya yang lain bertanya, ”Dalam setiap agama terdapat ajaran yang berbeda-beda. Apakah ajaran Tuhan yang sesungguhnya?” Sebelumnya, saya mendapat undangan bedah buku Keyakinan Yang Membebaskan dan Kebohongan. Ternyata, penulisnya telah keluar dari agama yang dipeluknya dan kini hanya percaya kepada Tuhan.
Dalam kaitan ini menjadi relevan seruan kitab suci Weda yang berbunyi ”Om, anobadrah kratavo yantu visvatah” (Ya Tuhan, semoga kebenaran datang dari segala penjuru). Seruan Weda ini menganjurkan umat Hindu menerima kebenaran dari mana pun datangnya: dari ilmu pengetahuan, dari filsafat, dari mistik, dan dari ajaran agama ataupun kepercayaan lainnya.
Ukuran kebenaran adalah mampu lebih mendekatkan diri kepada Tuhan melalui empat jalan (catur marga): bhakti marga (kasih sayang yang tulus ikhlas), karma marga (kerja sebagai ibadah), jnana marga (ilmu pengetahuan untuk kebaikan manusia dan alam lingkungannya), serta yoga marga (mendekatkan diri kepada Tuhan melalui meditasi dan samadi). Kekayaan budaya menjadi cara pemujaan yang paling umum dalam bhakti marga, seperti terlihat pada meriah dan indahnya sesajen dalam upacara-upacara di Bali.
Tri Hita Karana
Ketuhanan Yang Mahaesa sebagai sumber (roh) keempat sila lainnya menjadikan Pancasila harus diwujudkan dalam semangat kesucian dan kasih sayang pula. Dalam sudut pandang agama Hindu, mewujudkan masyarakat Indonesia yang Pancasilais termasuk dalam tujuan agama: mokshartham jagathita atau membangun kemakmuran lahiriah dan kesempurnaan batiniah. Kemakmuran lahiriah semata akan membuat masyarakat Indonesia tidak berbahagia karena akan kering dan kasar jiwanya. Sementara mengejar kesempurnaan jiwa semata akan membuat bangsa kita tertinggal dalam perkembangan globalisasi yang sangat pesat, khususnya di bidang ekonomi.
Maka, kemakmuran lahiriah dan kesempurnaan batiniah harus diusahakan serentak. Di sini, terjalin Tri Hita Karana, yaitu hubungan yang harmonis antara manusia dan Tuhan, antara manusia dan manusia, serta antara manusia dan alam lingkungannya. Manusia menjadi titik pusat hubungan karena oleh manusia dan untuk manusialah pada akhirnya segenap usaha pembangunan dilakukan.
Manusia yang menjadi subyek dan obyek pembangunan harus mengembangkan keadilan dan keadaban bagi kemajuan mereka sendiri (Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab). Sebagai filsafat bangsa dan negara, Pancasila memiliki visi dasar yang bersumber pada hakikat manusia yang dirahmati oleh Tuhan Yang Mahaesa.
Keesaan Tuhan yang tecermin pada konsep dharma dalam agama Hindu menjiwai sesanti Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa. Manusia Indonesia pun dalam mengejar cita-cita pembangunannya harus bulat dalam tekad membangun Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kalau demikian halnya, ya Tuhan, mengapa kami membenci?
* Raka Santeri, Wartawan dan Wakil Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia Bali
Sumber: Kompas, Selasa, 10 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment