-- Hikmahanto Juwana
INSIDEN tiga petugas Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau yang dibawa ke Johor dan dimintai keterangan oleh Marine Police Malaysia menjelang peringatan kemerdekaan RI, 17 Agustus lalu, telah menyulut emosi publik di Indonesia.
Ketiga petugas DKP saat itu sedang bertugas memastikan bahwa kapal nelayan Malaysialah yang sedang digiring oleh Kapal Dolphin 015 milik DKP menuju Batam guna pemeriksaan. Lima belas nelayan Malaysia diduga menangkap ikan tanpa izin dengan kapal pukat harimau di wilayah perairan RI. Dari 15 nelayan, tujuh di Kapal Dolphin 015 dan diperiksa di Batam.
Koordinat
Dalam menanggapi kisruh perbatasan kali ini: untuk menentukan siapa salah dan siapa benar harus dipastikan dulu letak terjadinya penangkapan atas nelayan Malaysia oleh DKP.
Diberitakan, Kepala Kepolisian Daerah Kepulauan Riau Brigjen Pol Pudji Hartanto membawa tiga nelayan asal Malaysia melakukan pemeriksaan atas titik koordinat lokasi insiden penembakan ke udara yang dilakukan oleh Marine Police Malaysia. Sayang, hingga sekarang belum diperoleh informasi atas hasil pemeriksaan itu. Bahkan, tidak ada berita apakah otoritas kita melakukan pemeriksaan secara akurat titik koordinat terjadinya penangkapan. Padahal, titik koordinat sangat penting untuk menentukan salah benarnya Malaysia atau Indonesia. Tanpa tahu koordinat yang akurat atas terjadinya penangkapan, ada tiga skenario yang salah satunya mungkin terjadi.
Pertama, sebagaimana diargumentasikan oleh otoritas dan diberitakan oleh media Malaysia, penangkapan oleh DKP terjadi di wilayah Malaysia, tepatnya di perairan dekat Kota Tinggi, Johor Bahru. Kedua, sebagaimana diargumentasikan otoritas dan diberitakan media Indonesia, penangkapan oleh DKP terjadi di wilayah Indonesia, tepatnya di perairan Tanjung Berakit, Bintan Utara, Kepulauan Riau. Ketiga, mengingat hingga saat ini belum terdapat kesepakatan batas laut antara Indonesia dan Malaysia di perairan Tanjung Berakit dan Kota Tinggi, bisa jadi insiden berlangsung di wilayah klaim tumpang tindih antara Indonesia dan Malaysia.
Insiden ini tak seharusnya terselesaikan dengan pengembalian tiga petugas DKP ke Indonesia, tujuh nelayan ke Malaysia, serta dikirimnya nota protes oleh Kementerian Luar Negeri RI. Pemerintah perlu transparan agar publik percaya kepada pemerintah atas tugasnya menjaga kedaulatan NKRI. Salah satu langkah penting penyelesaian adalah pembentukan komite bersama antara Indonesia dan Malaysia untuk menentukan letak akurat koordinat penangkapan kapal nelayan Malaysia oleh DKP.
Arogansi
Bila menurut hasil komite bersama, koordinat terjadinya penangkapan oleh DKP berada di wilayah kedaulatan Indonesia, pemerintah perlu menempuh langkah yang tegas terhadap Malaysia. Malaysia harus minta maaf atas insiden yang terjadi.
Sebaliknya, bila koordinat berada di wilayah kedaulatan Malaysia, pemerintah perlu secara jantan meminta maaf kepada Malaysia atas kesalahan petugas DKP melaksanakan kewenangan hukumnya di luar wilayah RI. Namun, bila ternyata insiden terjadi di wilayah klaim tumpang tindih, kedua pemerintahan harus menyampaikan ini ke publik kedua negara. Publik harus tahu, tak ada pelanggaran kedaulatan atas negara masing-masing karena memang belum ada kesepakatan batas wilayah laut.
Apa pun hasil dari komite bersama, pemerintah sudah selayaknya menyampaikan peringatan keras kepada Pemerintah Malaysia agar para petugasnya tak melecehkan dan meremehkan kewibawaan para petugas dari Indonesia. Pelecehan ini akan menciptakan kesan di mata publik Indonesia: Malaysia arogan.
Pemborgolan dan pengenaan baju tahanan atas tiga petugas DKP sebagaimana disampaikan Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad merupakan bentuk arogansi otoritas Malaysia. Terlepas di mana koordinat penangkapan dilakukan, otoritas Malaysia seharusnya paham petugas DKP ini mewakili RI. Tidak tepat bila mereka diperlakukan sama seperti pelaku kejahatan. Bila arogansi otoritas Malaysia terus berlanjut dalam insiden di perbatasan di masa mendatang, bukan tak mungkin ini akan jadi batu sandungan bagi persahabatan kedua bangsa dan negara.
Hikmahanto Juwana, Guru Besar Hukum Internasional, Fakultas Hukum UI
Sumber: Kompas, Selasa, 24 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment