Friday, August 13, 2010

[65 Tahun Indonesia] Permusyawaratan yang Hilang

-- Anita Yossihara

”SAYA yakin bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakilan”.

Sebagian mobil yang dirusak dan dibakar massa di Kompleks Kantor Pemerintah Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Mei 2010. Kerusuh- an yang meng- akibatkan 30 mobil rusak ini terjadi saat pe- nyampaian visi dan misi calon bupati/wakil bupati setempat. (KOMPAS/HERU SRI KUMORO)

Kalimat itu disampaikan Soekarno, Presiden pertama, saat berpidato pada tanggal 1 Juni 1945, hari lahir Pancasila. Soekarno mencoba menegaskan pentingnya kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan sebagai salah satu sila dalam Pancasila.

Soekarno, seperti dikutip Sunoto dalam buku Filsafat Pancasila, berpendapat bahwa demokrasi yang dianut Indonesia bukanlah demokrasi Barat. Demokrasi yang dikembangkan adalah demokrasi permusyawaratan yang mendatangkan kesejahteraan sosial. Sistem demokrasi yang didasarkan pada prinsip musyawarah untuk mencapai mufakat. Demokrasi permusyawaratan harus dilakukan dengan hikmat dan kebijaksanaan. Hal itu hanya bisa terwujud apabila demokrasi tidak berpedoman pada sistem mayoritas, tidak menggunakan hak veto, dan tidak menjadikan pemungutan suara sebagai prinsip. Pemungutan suara merupakan pilihan terakhir dan dilakukan dalam keadaan terpaksa.

Namun, model demokrasi yang digagas sebelum kemerdekaan Indonesia itu belum pernah dipraktikkan secara benar. Pada masa Orde Lama, misalnya, Indonesia pernah mengadopsi sistem demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin.

Begitu pula pada pemerintahan Orde Baru, demokrasi tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Sistem pemerintahan lebih mengarah ke otoritarian. Pemerintah cenderung tertutup dan represif, dengan membatasi kebebasan rakyat untuk berekspresi. Padahal, kebebasan berekspresi sudah dijamin Undang-Undang Dasar 1945.

Tuntutan kebebasan

Runtuhnya Orde Baru yang ditandai dengan mundurnya Presiden Soeharto pada Mei 1998 membawa angin segar bagi kehidupan demokrasi di Indonesia. Rakyat terus menuntut kebebasan penggunaan hak politiknya.

Gayung pun bersambut. Belenggu demokrasi yang mengekang kebebasan rakyat satu per satu dibuka.

Aturan pembatasan partai politik, yakni Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya, dicabut. UU itu mengatur hanya dua partai, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI), serta Golongan Karya yang bisa menjadi peserta pemilihan umum (pemilu).

Jaminan kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat yang diatur dalam konstitusi diwujudkan dengan terbitnya UU No 2/1999 tentang Partai Politik. UU itu membebaskan warga negara untuk membentuk partai politik (parpol) dengan syarat relatif mudah, secara kuantitatif. Sebuah parpol dapat dibentuk hanya dengan dukungan minimal 50 warga.

Aturan itupun disambut rakyat dengan gegap gempita. Menjelang Pemilu 1999, lahir ratusan parpol. Jumlah parpol yang terdaftar di Departemen Kehakiman pun mencapai 141.

Tuntutan penegakan hak politik rakyat tidak berhenti sampai di situ. Pemilihan presiden dan wakil presiden yang sebelumnya dilakukan dengan sistem perwakilan diubah dengan sistem pemilihan langsung.

Pemilihan langsung presiden dan wakil presiden itu diputuskan Majelis Permusyawaratan Rakyat pada 2002 saat mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945 untuk keempat kalinya. MPR menambah klausul Pasal 6a yang lebih kurang berbunyi presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Atas dasar itulah, sejak Pemilu 2004, rakyat memilih langsung presiden dan wakil presiden.

Anggota legislatif, mulai dari Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, hingga DPRD kabupaten/kota, juga dipilih langsung oleh rakyat.

Demikian pula kepala daerah. UU No 34/2004 tentang Pemerintah Daerah mengamanatkan kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat.

Sejak pertengahan tahun 2005, rakyat memiliki hak untuk memilih langsung gubernur-wakil gubernur, bupati-wakil bupati, dan wali kota-wakil wali kota.

Bukan hanya hak memilih, hak rakyat untuk dipilih pun dijamin konstitusi. Siapa pun bisa terlibat dalam pengelolaan negara asalkan memenuhi persyaratan dan dipilih dengan suara mayoritas.

Semu

Hasil pemilihan langsung oleh rakyat bisa dibilang lebih absah dibandingkan dengan model pemilihan melalui perwakilan. Namun, apakah dengan mengadopsi metode pemilihan langsung Indonesia sudah bisa dikatakan sebagai negara demokratis?

Robert A Dahl, seorang pemikir politik Amerika Serikat, merumuskan delapan indikator demokrasi. Indikator itu, antara lain, adalah kebebasan untuk membentuk dan bergabung dalam suatu organisasi, kebebasan mengeluarkan pendapat, hak untuk memberikan suara, keterbukaan untuk memperoleh jabatan politik, hak pemimpin politik untuk bersaing melalui pemungutan suara, hak untuk memperoleh informasi alternatif, diadakannya pemilu yang bebas dan jujur, serta lembaga yang membuat kebijaksanaan politik tergantung pada pemungutan suara dan ekspresi menentukan pilihan. Sebuah negara bisa dikatakan demokratis apabila delapan indikator demokrasi telah terpenuhi.

Hingga 12 tahun setelah reformasi, demokrasi di Indonesia masih tergolong semu. Ada beberapa indikator yang belum terpenuhi. Salah satunya pemilu yang bebas dan jujur. Sebab, rezim pemilu langsung justru melahirkan politik uang, kekerasan, dan kecurangan lain.

Suara rakyat menjadi komoditas yang biasa diperjualbelikan, terutama dalam pilkada. Rakyat pun menjadi pragmatis karena suara dianggap sebagai modal untuk memperoleh materi.

Hasil penelitian Political Research Institute for Democracy (Pride) Indonesia dalam Pilkada Mojokerto, Jawa Timur, bulan Mei lalu, bisa dijadikan rujukan fenomena politik uang dalam pilkada. Saat ditanya apa yang harus dilakukan bupati/wakil bupati agar bisa dipilih, 14,9 persen responden (400 orang) menjawab memberi uang. Sebanyak 10,6 persen menginginkan calon kepala daerah yang mau membagikan bahan pangan, 8,8 persen menginginkan perbaikan jalan, dan 5,3 persen berharap kepala daerah yang mau memberi modal usaha.

Selain itu, pembuatan kebijakan juga belum melibatkan rakyat. Suara rakyat masih sebatas alat hitung untuk mendapatkan kekuasaan atau jabatan tertentu. Kebijakan yang diambil hanya didasari pada kepentingan elite, bukan kepentingan dan keinginan rakyat.

Lihat saja proses pengusutan kasus pemberian dana talangan Rp 6,7 miliar untuk Bank Century oleh DPR. Rakyat menginginkan kasus tersebut diusut tuntas karena rakyat meyakini ada kesalahan dalam pemberian dana talangan Bank Century, tetapi DPR terkesan ragu.

Untuk menetapkan benar atau salah pemberian dana talangan Bank Century saja DPR masih perlu menggunakan pemungutan suara. Sembilan partai politik belum satu suara. Padahal, hasil penyelidikan panitia khusus yang disertai data-data seharusnya cukup untuk menetapkan salah atau tidaknya kebijakan tersebut.

Rupanya, prinsip permusyawaratan sudah mulai ditinggalkan. Para elite lebih senang menjalankan demokrasi yang lebih mengedepankan sistem mayoritas.

Demokrasi yang berjalan pun belum mampu menciptakan kesejahteraan rakyat, seperti tuntutan sila keempat Pancasila. (NTA)

Sumber: Kompas, Jumat, 13 Agustus 2010

No comments: