ALKISAH, Togog gelisah melihat moral para penguasa yang kerjanya hanya mencari untung sendiri. Mereka tak lagi memikirkan rakyatnya yang miskin. Rakyat akhirnya menjadi korban. Selalu diliputi ketakutan pada penguasanya.
Bukan pada Semar atau Batara Guru, Togog justru mengungkapkan kegelisahannya itu kepada raja dari Jepang. Boozu, demikian nama raja dari Negeri Sakura itu, menanggapi kegelisahan kakek tua Togog dengan ketus. Boozu menyebutnya bodoh karena baginya, sudah selayaknya rakyat takut pada raja. Tugas raja adalah memerintah, kedudukannya sangat tinggi sehingga tak akan menginjak tanah kotor yang dihuni rakyat. Togog pun diusir sang raja yang tersinggung.
Kisah unik Togog bertemu Boozu itu merupakan bagian dari cerita Wayang Kyokai Jepang dengan lakon Samudera, Samudera yang dipentaskan di Ndalem Yudoningrat, Yogyakarta, Selasa akhir Juli lalu. Pementasan itu merupakan bagian dari Gelar Ragam Wayang yang diselenggarakan Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), 26-30 Juli 2010.
Wayang Kyokai Jepang diciptakan warga Tokyo, Ryoh Matsumoto (83). Ryoh yang juga menjadi dalang utama dalam pertunjukan itu menuliskan berbagai kisah yang didasarkan pada karakter-karakter wayang purwa. ”Kisah-kisah ini saya kembangkan sendiri, tetapi dengan dasar cerita-cerita wayang Jawa,” kata lelaki yang juga telah menulis buku berbahasa Jepang mengenai wayang Jawa itu.
Gelar Ragam Wayang memang menampilkan berbagai jenis wayang dengan kisah uniknya masing-masing, yang tak akan ditemui pada pementasan wayang kulit. Selain Togog bertemu Boozu dalam Wayang Kyokai Jepang, gelaran itu, di antaranya juga menampilkan Kisah Nabi di Wayang Wahyu, Tragedi Kompor Gas Elpiji Bagong dalam Wayang Hip-Hop, dan pernikahan Pangeran Cirebon pada Wayang Golek Cepak dari Cirebon. Selain itu, terdapat pula Wayang Sasak dari Lombok. Total, ada lima jenis wayang dipentaskan tahun ini.
Semangat dan kreativitas
Pada perhelatan itu, terasa semangat dan kreativitas para pencinta wayang untuk terus mengembangkan wayang. Ryoh, misalnya, mengemas pementasan wayang kulit menjadi menarik dengan perspektif internasional.
Ia mempertemukan Togog, Bilung, dan Batara Guru dengan berbagai karakter dari Jepang dan Perancis. Lewat wayang, Ryoh ingin melebur batas negara dan budaya yang kerap memicu konflik di dunia. ”Lewat wayang, saya ingin menunjukkan semua orang itu sama,” ujarnya.
Ryoh juga mengembangkan sisi artistik pementasan wayang kulit dengan sentuhan pertunjukan modern. Pementasan Wayang Kyokai Jepang menggunakan tata suara dan tata lampu yang membuat panggung semakin meriah. Wayang itu juga dimainkan tiga dalang: satu dalang utama dan dua asisten dalang. Suara dalang pun telah disulih suara yang direkam sebelumnya. Perekaman dialog itu mengatasi kendala bahasa Ryoh yang tak bisa berbahasa Jawa dan Indonesia dengan lancar.
Pada Wayang Hip-Hop, sang dalang Ki Catur Kuncoro ”Benyek” menuturkan, ide membuat wayang hip hop muncul setelah ia bertemu grup hip hop asal Yogyakarta, KM 7 yang digawangi Boedhi Pramono dan Rendra. ”Sebelum wayang hip hop, sejak 2004 saya sudah sering bereksperimen membuat wayang. Saya merasa wayang kulit sudah stuck, jadi saya menikmati proses pencariannya,” kata Catur yang sudah membuat setidaknya lima jenis wayang.
Kepala Bidang Tradisi Seni dan Film Dinas Kebudayaan DIY Nursatwika menuturkan, ide menampilkan ragam wayang itu muncul saat kongres pewayangan di Yogyakarta tahun 2005 lalu. ”Waktu itu dalang Ki Enthus mengenalkan wayang kulit rai wong (wajah orang). Lalu ternyata ada peserta kongres lain yang juga mengembangkan wayang sendiri,” katanya.
Gelar ragam wayang digelar setahun sekali. Pesertanya adalah para dalang yang mengembangkan wayang di luar pakem wayang purwa, baik dari DIY maupun daerah lain. Acara digelar untuk mengenalkan ragam jenis wayang kepada publik. ”Kami memilih berbagai macam wayang di luar wayang kulit,” ujar Nursatwika yang menjadi penanggung jawab acara itu.
Nursatwika mengatakan, wayang yang ditampilkan pada acara itu memang berbeda dari pakem wayang purwa. Menurut dia, wayang purwa memiliki ruang tersendiri sehingga pengembangan wayang kontemporer tak berlawanan dengan pelestarian wayang purwa. ”Sebelum mengadakan acara ini, kami memberi tahu Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) dan dalang-dalang sepuh. Prinsipnya, kami ingin mengenalkan unsur pembaruan dalam wayang,” jelasnya.
Kepala Seksi Kesenian Dinas Kebudayaan Provinsi DIY Eni Lestari menuturkan, Indonesia kaya ragam wayang. Jumlahnya lebih dari 40 jenis. Gelar Ragam Wayang diharap menggugah kepedulian masyarakat terhadap kelestarian jenis-jenis wayang itu.
(IRENE SARWINDANINGRUM/ IDHA SARASWATI)
Sumber: Kompas, Minggu, 22 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment