Tuesday, August 10, 2010

[65 Tahun Indonesia] Pancasila 2010

-- Franz Magnis-Suseno SJ

BANGSA Indonesia menjadi kenyataan karena dua kali ada komponen bangsa merelakan kedudukan dominannya demi persatuan bangsa.

Unjuk rasa dari Aliansi Jogja untuk Indonesia Damai di Perempatan Kantor Pos Besar Yogyakarta, beberapa waktu lalu. Mereka menyampaikan dukungan kepada pemerintah untuk berpegang teguh pada amanat UUD 1945 dan Pancasila. Mereka juga menolak tindak kekerasan yang mengatasnamakan agama. (KOMPAS/WAWAN H PRABOWO)

Dalam Sumpah Pemuda 1928 para pemuda Jong Djawa merelakan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia. Andaikata bahasa Jawa yang dijadikan bahasa Indonesia, Republik Indonesia akan dipahami sebagai Republik Jawa Raya dengan akibat bahwa kaum Sunda, Minang, Bugis, Batak, dan lain-lain sangat mungkin tidak akan ikut.

Peristiwa kedua adalah penetapan lima sila Pancasila sebagai dasar negara dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Kesepakatan itu memastikan bahwa Indonesia menjadi milik seluruh rakyat Indonesia tanpa membedakan menurut agama. Kesediaan para wakil umat Islam untuk tidak menuntut kedudukan khusus dalam undang-undang dasar meski mereka merupakan mayoritas terbesar memungkinkan persatuan bangsa dari Sabang sampai Merauke.

Menemukan kembali

Sekarang, 65 tahun kemudian, kita amat perlu menemukan kembali semangat para pendiri itu. Kesediaan saling menerima dalam perbedaan tercekik oleh kepicikan intoleransi, kecurigaan, dan kebencian primordial. Orang yang mau beribadat menurut cara yang tidak berkenan pada tetangganya dicaci-maki, diancam, bahkan diusir. Adapun mereka yang dipercayai mengurus bangsa, daripada melindungi seluruh bangsa, diam atau bicara cengeng-oportunis. Kecengengan itu yang membuka ruang bagi pelbagai kelompok preman-preman yang mengganggu orang lain seakan-akan mereka itu menjadi wakil Tuhan.

Ternyata, kepemimpinan yang berani menjadi barang langka. Tidak ada visi kebangsaan jauh ke depan dan, karena itu, bangsa tenggelam dalam lumpur perasaan-perasaan curiga, kerdil, tertutup, dan cari aman sendiri.

Mediokritas kehidupan politik bangsa Indonesia tecermin dalam suatu kenyataan yang bisa membuat kita geleng kepala. Sebenarnya negara kita ini tidak di pinggir jurang kehancuran. Proses-proses kehidupannya berlangsung lumayan lancar (dengan kekecualian lalu lintas di kota-kota besar), keamanan umum hampir di mana-mana bagus, perekonomian menunjukkan tanda-tanda kemajuan, sarana transportasi jarak menengah dan jauh cukup bagus, konflik berdarah tidak mengancam (kecuali di wilayah Papua), bahkan demokrasi yang masih banyak kekacauannya kelihatan cukup solid (dan media luar negeri sering menyuarakan pujian).

Namun, situasi lumayan itu tidak tecermin dalam kesadaran kita di Indonesia. Itu bukan kesalahan media, melainkan akibat mediokritas dan oportunisme kelas politik. Sejak Oktober tahun lalu, skandal demi skandal, ketidakjujuran, sabotase terhadap pemberantasan korupsi, disaksikan seluruh masyarakat.

Ada contoh lucu: Sebenarnya ada dasar hukum pengadaan rumah aspirasi. Namun, yang dicoba digolkan oleh DPR bukan rumah aspirasi, melainkan dana aspirasi. Karena rakyat langsung mencium akal busuk dalam usaha dana aspirasi, dana miring itu kandas. Apa yang dilakukan oleh warga-warga DPR? Sekarang, mereka mengajukan rumah aspirasi sebagai proposal. Jelas mengapa rakyat amat mencurigai ”dana rumah aspirasi” itu sebagai akal baru untuk—pokoknya—mengisi dompet mereka lagi.

Sarana elite

Tanpa visi ke depan, tanpa kepemimpinan yang berani bertindak secara meyakinkan melawan korupsi, intoleransi dan pelanggaran hukum oleh kelompok-kelompok ekstremis, rakyat merasa semakin tidak berdaya, tidak diperhatikan, hanya dimanfaatkan. Itu sangat berbahaya. Kalau demokrasi kita dalam pandangan rakyat merosot menjadi sarana sebuah elite untuk melayani diri sendiri, mereka yang menawarkan ideologi yang lain daripada Pancasila akhirnya akan diberi kesempatan.

Sikap muak terhadap ulah eksekutif, legislatif, dan yudikatif kita mendukung kecenderungan dalam masyarakat untuk melupakan segala cita-cita dan tenggelam dalam hedonisme konsumeristik. Masyarakat semakin ketagihan gaya hidup yang ditawarkan oleh iklan dan promosi setiap hari, oleh keinginan untuk melalui cara apa pun masuk ke kalangan mereka yang sudah menikmatinya. Perasaan kebangsaan dan solidaritas dengan saudara-saudari sebangsa yang masih dalam kekurangan semakin menguap. Berkembanglah bangsa yang berdiri di satu pihak atas egois-egois konsumeris, di lain pihak atas fanatik-fanatik.

Apakah kita masih dapat keluar dari lubang hitam alam kebangsaan nirmakna ini? Apakah masih ada harapan bahwa para pemimpin dan wakil kita keluar dari oportunisme cengeng mataduwiten menemukan keberanian, visi, dan tanggung jawab yang barangkali pernah mereka cita-citakan sendiri? Apakah mereka berani menindak setiap penyelewengan dari Pancasila? Itulah tantangan yang kita hadapi sekarang.

* Franz Magnis-Suseno SJ, Rohaniwan dan Guru Besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

Sumber: Kompas, Selasa, 10 Agustus 2010

No comments: