-- Yayat Hendayana
TAK syak lagi, Proklamasi Kemerdekaan merupakan peristiwa teramat penting dalam sejarah kebangsaan dan kenegaraan kita. Masuk akal apabila peristiwa penting itu didokumentasikan dalam berbagai bentuk tertulis, tak terkecuali dalam bentuk karya sastra. Akan tetapi, merujuk Abdullah Mustappa (Lima Abad Sastra Sunda, 2000), jangan harap kita akan menemukan rekaman peristiwa penting itu dalam novel-novel Sunda. Tak ada proklamasi dalam novel Sunda.
Para pengarang novel Sunda membiarkan peristiwa penting itu berlalu begitu saja. Padahal, peristiwa itu adalah peristiwa nasional yang berdampak secara nasional pula, termasuk etnis Sunda di dalamnya. Apakah justru karena peristiwa itu bersifat nasional yang membuat para pengarang novel Sunda tidak tertarik untuk merekamnya dalam karya-karya mereka? Sebab, terhadap peristiwa yang bersifat lokal Jawa Barat, peristiwa DI/TII misalnya, para pengarang novel Sunda terkesan antusias untuk merekamnya ke dalam karya-karya mereka. Novel-novel Sunda yang mempunyai kaitan dengan peristiwa DI/TII tidak sulit dicari. Jauh berbeda dengan novel-novel Sunda yang ada kaitannya dengan Proklamasi Kemerdekaan.
Barangkali, bagi para pengarang novel Sunda, peristiwa lokal yang mempunyai kaitan langsung dengan kehidupan sehari-hari jauh lebih menarik daripada peristiwa yang terjadi pada skala nasional. Peristiwa G 30 S/PKI yang berpengaruh sangat besar bagi tatanan kehidupan kita, ternyata bernasib sama dengan Proklamasi Kemerdekaan. Peristiwa berskala nasional itu tak akan ditemukan rekamannya dalam novel-novel Sunda.
"Memang tidak ada keharusan seorang penulis mencatat zamannya," kata Abdullah Mustappa. "Namun, kalau gejolak sosial yang cukup fenomenal itu tidak mendorong seorang pengarang untuk terbangkitkan ilhamnya, siapa tahu ada sesuatu yang layak untuk diperhatikan." Siapa tahu hal itu merupakan pencerminan dari kondisi masyarakat pada zamannya yang menganggap tidak penting persoalan-persoalan yang tidak bersentuhan langsung dengan kepentingan hidup sehari-hari.
Reformasi tema cerita
Beruntung, ketidaktertarikan para pengarang Sunda terhadap peristiwa berskala nasional itu, dalam hal ini Proklamasi Kemerdekaan dan G 30 S/PKI, tidak berlangsung setiap zaman. Di zaman reformasi, zaman yang mendorong masyarakatnya bersikap kritis, terbuka, vokal, dan berani bertindak, rekaman terhadap peristiwa berskala nasional dapat kita jumpai dalam novel-novel Sunda.
Dalam sebelas tahun era reformasi (21 Mei 1998 s.d. 21 Mei 2009) dari enam novel Sunda yang terbit, ada tiga novel yang berkisah tentang gerakan reformasi, setidak-tidaknya menjadikan suasana reformasi sebagai bagian penting dari latar belakang ceritera. Novel-novel tersebut adalah Galuring Gending karya Tatang Sumarsono (Kiblat Buku Utama,2001), Sandekala karya Godi Suwarna (Kelir, 2007), dan Deng karya Godi Suwarna (Puri Pustaka, 2009). Dalam ketiga novel itu, peristiwa reformasi direkam dalam tema cerita. Galuring Gending dan Sandekala bertema "mahasiswa sebagai pelopor gerakan reformasi", sedangkan Deng mengedepankan tema "perjuangan rakyat di Era Reformasi dalam menuntut keadilan".
Seperti juga Galuring Gending karya Tatang Sumarsono, novel Sandekala karya Godi Suwarna menggambarkan keadaan di saat-saat akhir turunnya Soeharto dari tampuk kekuasaan Orde Baru. Kalau Tatang Sumarsono menggambarkan keadaan yang dialami masyarakat perkotaan, Godi Suwarna mengungkapkan keadaan masyarakat di sebuah kota kecil Ciamis, yang memperoleh imbas panasnya suhu politik ibu kota.
Apa yang digambarkan Godi Suwarna melalui Sandekala adalah gambaran keadaan umumnya kota-kota, besar ataupun kecil, di seluruh tanah air, yang masyarakatnya dihinggapi kecemasan luar biasa. Keadaan zaman yang haru-biru di saat-saat akhir pemerintahan Orde Baru dan menggeliatnya rezim baru yang berusaha meraih kekuasaan melalui apa yang disebut gerakan reformasi, sangat terwakili oleh apa yang digambarkan Sandekala karya Godi Suwarna. Termasuk di dalamnya gambaran tentang terjadinya pertentangan yang tajam antara pihak yang menghendaki pembaharuan dan pihak yang ingin tetap mempertahankan status quo. Selain menggambarkan panasnya suasana politik, Sandekala juga menggambarkan keadaan masyarakat perdesaan pada zamannya, dengan segala persoalannya, yang tak kalah sengitnya dari persoalan-persoalan yang dihadapi orang-orang kota.
Jika Galuring Gending dan Sandekala mencerminkan keadaan masyarakat di zaman pergantian rezim, dari Orde Baru ke reformasi, Deng karya Godi Suwarna menggambarkan suasana ketika kita sudah berada di era reformasi, ketika kekuasan telah beralih rezim. Namun , keadaan di zaman sebelumnya, yaitu zaman Orde Baru terungkapkan pula melalui percakapan tokoh-tokohnya. Perjuangan di era reformasi yang dilakukan penduduk yang bermukim tidak jauh dari Pasir Harendong dan Pasir Kinanti, pada dasarnya adalah lanjutan dari apa yang mereka perjuangkan di masa Orde Baru.
Reformasi teknik penceritaan
Salah satu ciri dari masyarakat di masa reformasi adalah menggebu-gebunya semangat pembaharuan, semangat untuk memperbaharui segala hal yang merupakan produk zaman sebelumnya. Hal itu terjadi juga dalam dunia kepengarangan. Pembaharuan tidak saja terjadi dalam tema cerita, sebagaimana dikemukakan tadi, melainkan juga dalam teknik penceritaan. Semangat pembaharuan yang sangat kental mewarnai alam pikiran masyarakat zaman reformasi, tercermin dengan jelas dalam penyajian alur cerita dan pengambilan sudut pandang.
Dalam Sandekala dan Deng, alur cerita tidak tersusun secara "normal" sebagaimana layaknya novel yang terikat pada konvensi penulisan novel (Sunda) zaman sebelumnya. Sandekala yang mengisahkan dampak dari pergolakan sosial-politik di tanah air menjelang dan sesudah kejatuhan Soeharto terhadap suasana kehidupan di kota kecil Kawali, penyusunan alurnya dibaurkan dengan alur cerita Perang Bubat ketika Kawali masih menjadi ibu kota Kerajaan Galuh. Alur yang sulam-menyulam dalam Sandekala itu, antara haru-biru gerakan reformasi masa kini dan kisah patriotik Perang Bubat di masa lalu, jelas merupakan hal baru dalam teknik penceritaan novel Sunda. Penyusunan alur yang demikian itu tentu saja merupakan pembaharuan dari konvensi penyusunan alur sebelumnya yang cenderung bersifat linear yang kadang-kadang diselipi di sana-sini dengan kisah-kisah kilas balik tetapi dengan benang merah dari cerita yang sama, bukan dengan cerita dari masa lalu yang jauh.
Dalam Deng, pembauran itu terjadi antara cerita tentang perjuangan menegakkan keadilan dan legenda Sangkuriang. Kendati jarak waktunya berjauhan, pembauran alur antara cerita masa kini dan kisah masa lalu itu terasa harmonis, karena kedua-duanya disambungkan dengan benang merah yang sama, yaitu pembangunan telaga. Cerita di masa kini adalah perjuangan menegakkan keadilan berupa tuntutan pembayaran ganti rugi tanah yang digunakan untuk pembangunan telaga, sedangkan kisah di masa lalu adalah perjuangan Sangkuriang membangun telaga serta membuat perahu untuk digunakan lalayaran dengan Dayang Sumbi.
Pengambilan sudut pandang yang menyimpang dari konvensi dalam zaman sebelumnya tampak dalam Galuring Gending. Pengambilan sudut pandang dalam Galuring Gending, yang ceritanya dibagi menjadi empat puluh bagian itu dilakukan secara "tidak konsisten". Kadang-kadang, sudut pandang itu diambil secara subjektif (akuan), kadang-kadang beralih menjadi sudut pandang objektif (diaan) tanpa digiring dengan narasi yang memungkinkan perubahan itu tidak terasa sebagai hentakan, karena terjadi begitu tiba-tiba. Pengambilan sudut pandang yang "tidak konsisten" itu tentu saja merupakan hal baru dalam teknik penulisan novel Sunda.
Jadi, jika dalam novel-novel Sunda yang terbit pada masa Orde Lama dan Orde Baru tidak kita temukan rekaman peristiwa nasional seperti Proklamasi Kemerdekaan dan peristiwa-peristiwa di sekitarnya, serta G 30 S/PKI dan dampaknya yang dahsyat bagi kemanusiaan, dalam novel Sunda yang terbit pada era reformasi rekaman peristiwa yang berskala nasional dengan mudah dapat kita temukan. Itulah lompatan pembaharuan yang terjadi. Pembaharuan itu tidak hanya dalam penyajian tema cerita melainkan juga dalam penulisan teknik penceritaan.
Yayat Hendayana, dosen luar biasa pada Fakultas Sastra Unpad.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 22 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment