Sunday, August 15, 2010

Superhero di Dunia Kita

TOKOH-TOKOH superhero keluaran Hollywood tampak menonjol saat berdiri di antara para serdadu. Batman, si manusia kelelawar, berdiri tegap menghadap ke para tentara yang seakan-akan tengah menunggu perintahnya. Sementara manusia laba-laba, Spiderman, tengah beraksi di tengah mujahid yang tengah berperang di sebuah desa kecil di Afganistan.

Superhero iseng itu muncul dalam seri foto karya Agan Harahap. Untuk foto tentang Spiderman, ia memasang judul ”Mujahideen Village Afghan, 1986”. Selain Spiderman, ada Batman dan Superman yang masing-masing digambarkan terlibat dalam sebuah perang.

Seri foto superhero dalam perang itu menggelitik dan menantang penonton untuk merenungkan maknanya. Barangkali, superhero itu memang sekadar iseng menghabiskan waktu. Namun, barangkali, seri foto itu tengah membicarakan sesuatu yang lain.

Foto-foto karya Agan Harahap itu dipamerkan dalam pameran fotografi CUT2010: New Photography from Southeast Asia dengan tema ”Parallel Universe”. Pameran ini berlangsung di Sangkring Art Space, Nitiprayan, Bantul, Yogyakarta, mulai 6 Agustus sampai 11 September. Karya-karya ini juga akan dipamerkan di Kuala Lumpur, Malaysia; Filipina; dan Singapura.

Sedikitnya ada 32 karya fotografer yang terpilih mengikuti program CUT2010. Selain Agan Harahap dari Indonesia, karya fotografer lain dari Asia Tenggara dipamerkan di sini. Mereka adalah Eiffel Chong dan Shooshie Sulaiman (Malaysia), Mintio dan Zhao Renhui (Singapura), Michael Shaowanasai dan Tanapol Kaewpring (Thailand), Frankie Callaghan dan Wawi Navarroza (Filipina), serta Wimo Bayang dan duet Sara Nuytemans-Arya Pandjalu (Indonesia).

Menantang

CUT2010 adalah sebuah hajatan fotografi yang menantang para fotografer untuk menciptakan dunia kemungkinan yang baru dari balik lensa kamera. Di sini, fotografi bukan sekadar medium untuk mendokumentasikan sesuatu. Lebih dari itu, fotografi bisa menyerupai teater dan film yang memiliki peluang untuk mengganggu indera kita.

Masing-masing fotografer mencoba menerjemahkan tema CUT2010 dengan caranya masing-masing. Untuk menciptakan dunia kemungkinan yang baru, mereka menggabungkan unsur yang anggun dengan yang konyol. Mereka membagikan obsesi dan halusinasinya tentang suatu obyek kepada penonton.

Untuk menonjolkan efek dunia paralel sesuai dengan tema yang diangkat, sebagian besar fotografer mengelompokkan karyanya dalam empat buah foto yang menggunakan konsep serupa, tetapi berbeda dalam aspek, seperti lokasi pemotretan, obyek yang difoto, ataupun teknik pencahayaan dan olah digitalnya. Lewat karya semacam itu, penonton diajak berimajinasi bahwa sejumlah foto itu tak dihasilkan pada satu jagat yang sama.

Untuk menghasilkan efek imajinasi tersebut, masing-masing fotografer diberi kebebasan menghasilkan karyanya. Mereka bebas menggunakan alat apa saja dan memanfaatkan peranti lunak apa pun untuk menghasilkan karya yang ditampilkan. ”Para fotografer tidak harus menggunakan kamera, tetapi bisa juga memanfaatkan alat lainnya, seperti scanner,” ujar Valentine Willie, penggagas program CUT2010, pekan lalu.

Menembus batas

Penggunaan alat bantu itu diharapkan bisa membantu para fotografer dalam berekspresi semaksimal mungkin dan menembus batas-batas teknik fotografi yang saat ini lazim digunakan. ”Hasil akhir karya adalah hal yang utama, bukan teknik yang digunakan,” tutur Willie.

Dengan kebebasan tersebut, karya yang dihasilkan diharapkan membuka cakrawala baru, baik bagi fotografer maupun masyarakat yang mengapresiasinya.

Mintio dari Singapura, misalnya, menampilkan seri wajah- wajah manusia di depan layar komputer. Dalam karya itu, secara cermat ia menumpuk gambar wajah manusia dengan citra layar komputer yang tengah menampilkan adegan dalam sebuah game.

Ia memilih adegan game yang kuat, misalnya dengan menampilkan tulisan ”heads for gold” atau ungkapan lain dalam dunia game semacam shoot, death, dan sebagainya.

Dalam karya tersebut, wajah-wajah pecandu game online itu tampak khusyuk. Mereka terserap dalam dunia permainan (game) komputer sehingga mereka seolah-olah menjadi bagian dari permainan itu sendiri.

Michael Shaowanasai dari Thailand memberikan tawaran yang berbeda lewat karyanya, ”Four Faces of Faith: A Girl in Rose Blouse”. Pada foto yang pertama, tampak sesosok perempuan sensual dengan bibir merah merona. Pada foto kedua, perempuan yang sama muncul mengenakan kerudung. Pada foto ketiga, ia muncul dengan rambut terurai dan kalung berliontin salib di leher. Lalu, pada foto terakhir, ia mengenakan kalung dengan liontin bintang torah.

Dalam tulisan pengantarnya untuk pameran ini, kurator CUT2010, Eva McGovern, menyatakan, para fotografer menawarkan karya-karya yang menjabarkan renungan politik, agama, penelitian ilmiah, subkultur yang misterius, identitas jender dan budaya, hingga masalah perkotaan dan lingkungan. Segala hal yang memengaruhi kehidupan manusia saat ini.

Bagi dia, foto-foto ini menjadi penting ketika mampu mengajak khalayak pemirsa mempertimbangkan keberadaan mereka saat ini. Dengan begitu, fotografer selalu ditantang untuk menjadi kritis sekaligus ekspresif pada saat yang sama.

(Idha Saraswati/Ferganata Indra Riatmoko)

Sumber: Kompas, Minggu, 15 Agustus 2010

No comments: