-- Wilson Lalengke
TAK disangka-sangka usia kemerdekaan NKRI kini sudah genap mencapai 65 tahun tepat pada 17 Agustus 2010. Yang paling mengagumkan, Hari Proklamasi Kemerdekaan kali ini dirayakan di tengah ratusan juta penduduk muslim Indonesia tengah menunaikan ibadah suci Ramadan.
Bulan Agustus dan bulan Ramadan adalah dua jenis bulan yang berlainan penanggalan. Agustus, lebih mengacu pada kalender Masehi. Sementara Ramadan berkiblat pada kalender Hijriah (Islam). Seperti terjadi �dejavu�, persis ketika dwitunggal Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan bangsa ini untuk pertama kalinya pada 17 Agustus 1945 silam, juga pada waktu itu umat muslim tengah melangsungkan ibadah puasa Ramadan.
Perjalanan sejarah bangsa ini terasa mengalami keberulangan, sebagaimana hukum alam. Nilai-nilai demokrasi yang hidup di Tanah Air pun terus mengalami gerak dinamis, statis bahkan regresif. Sebagai konsekuensi logis atas perubahan paradigma dan kebijakan poleksosbudhankam yang dijalankan oleh masing-masing rezim yang pernah berkuasa di Tanah Air. Sebelum era kemerdekaan, nilai-nilai demokrasi di Nusantara masih tersaruk-saruk. Itu karena seluruh urat nadi kehidupan bangsa ini masih terdikte oleh bangsa kolonialis. Lantas pascaera kemerdekaan, tepatnya pada masa Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi, nilai-nilai demokrasi terus mengalami perkembangan baik secara global. Kendati pada aspek-aspek tertentu malah mengalami kemunduran.
Bandingkan saja dengan kondisi di negara-negara maju, seperti Amerika Serikat, Jerman, Inggris, Prancis dll. Mereka sudah tampak mantap (dewasa) dalam menegakkan nilai-nilai demokrasi. Salah satu faktornya, usia kemerdekaannya sudah lebih tua (senior) dari bangsa ini. Nilai-nilai demokrasi di sejumlah negara maju yang serbamakmur tersebut sudah diletakkan menjadi poros peradaban manusia. Segala keputusan dan kebijakan yang berpengaruh bagi hajat banyak orang yang akan diputuskan oleh pemerintah berkuasa selalu menunggu hasil keputusan publik melalui semacam referendum atau dengar pendapat publik (public hearing). Maka wajar sikap pemerintah di negara-negara maju sangat berhati-hati dalam mengambil setiap keputusan, untuk mengantisipasi gelombang protes dan cercaan publik yang bisa saja dalam waktu sekilas langsung menggulingkan kursi kekuasaan sang penguasa.
Berbeda dengan kondisi di Tanah Air. Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, nilai-nilai demokrasi tengah diperjuangkan menjadi pusat peradaban bangsa. Proses pemerjuangan tersebut dilakukan berbagai pihak, baik oleh pemerintah sendiri, masyarakat maupun elemen bangsa lain, bahkan bisa saja oleh orang per orang.
Ketika pemerintah mengambil kebijakan penting yang berpengaruh pada ratusan juta jiwa, mereka seolah-olah melupakan prosedur teknis dengan melakukan jajak pendapat kepada publik, apalagi referendum. Pemerintah hanya menggantangkan keputusan kepada para anggota legislatif semata, yang dijadikan simbol atas suara, pendapat, aspirasi masyarakat luas itu. Padahal dalam proses demikian, riskan terjadi distorsi, manipulasi, konspirasi antara pemerintah (eksekutif) dan pejabat dewan (legislatif).
Nilai demokrasi yang sempurna, katakanlah nilainya paling bagus 10, tidak bisa dicapai hanya dengan mengandalkan simbol-simbol dari demokrasi itu sendiri. Sebagaimana setiap pejabat anggota Dewan, belum jaminan mereka selalu memperjuangkan nasib rakyat. Adanya para anggota Dewan maupun mantan anggota Dewan yang kini terjebak dalam skandal kasus korupsi, sebagai bukti hitam di atas putih, bahwa mereka juga riskan berkhianat pada nilai kesakralan demokrasi.
Belajar dari kejadian tersebut, rakyat di negara berkembang seperti Indonesia mestinya semakin cerdas dengan bersikap kritis terhadap seluruh simbol-simbol kekuasaan. Tak terkecuali juga mesti kritis terhadap eksistensi anggota legislatif (DPR/DPD/DPRD). Secara teori demokrasi modern, memang lembaga DPR itu menjadi tempat berkumpulnya para wakil rakyat. Wakil rakyat adalah status yang disematkan pada pundak seseorang untuk mewakili setiap aspirasi rakyat.
Mereka yang menjadi wakil rakyat adalah dutanya rakyat. Orang-orang pilihan yang menjadi kepercayaan langsung rakyat.
Rakyat sendiri adalah mereka yang berstatus sebagai petani, buruh pabrik, nelayan, pedagang kecil, guru dsb.
Sangat tak bermoral andaikan ada wakil rakyat yang mengkhianati amanah yang pernah diberikan rakyat kepadanya. Apalagi di Ramadan seperti sekarang ini. Bulan Ramadan, masa di mana setiap perbuatan (amal), perkataan, dan niat bisa menjadi pahala berlipat-lipat. Atau sebaliknya menjadi dosa yang berlipat ganda. Tuhan telah menjanjikan kepada setiap orang yang menunaikan ibadah puasa, satu surga yang di dalamnya penuh dengan samudera kenikmatan hidup.
Melalui ibadah puasa, manusia punya kesempatan luas mengembangkan nilai-nilai demokrasi dalam praktek kehidupan nyata. Kalau ada tetangga kita yang tengah di rundung musibah, tak peduli apa tetangga itu seagama atau berlainan ideologi, kita dituntut mengulurkan bantuan/pertolongan sesuai dengan kemampuan yang kita miliki. Nilai demokrasi melekat dalam perbuatan tolong-menolong di atas. Puasa sejatinya merupakan manifestasi dari ibadah yang mengedepankan nilai sosial ketimbang nilai religius. Orang yang berpuasa dilatih keras memiliki kepekaan sosial dan ketajaman intuisi dalam melihat realitas hidup di sekeliling kita.
Sudahkah penduduk Indonesia yang mayoritas memeluk agama muslim, yang kini tengah menjalankan ibadah puasa sudah mengisi kemerdekaan bangsa ini dengan berbagai kegiatan (program) yang bisa mencerahkan nilai-nilai demokrasi?
* Wilson Lalengke, Alumnus Utrecht University Belanda
Sumber: Lampung Post, Sabtu, 14 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment