Sunday, August 22, 2010

Jeihan Sebagai "Koma"

PEREMPUAN, duduk, berdiri, atau bersandar, semuanya sama: bermata bolong tanpa putih mata. Sebuah manifestasi bahwa kehidupan itu berada dalam kegelapan. Dan dengan keyakinan dan ilmu yang dimilikinya, semestinya manusia dapat menguak kegelapan itu. Namun, gelap juga bisa menjadi sebuah konsep futuristik. Bahwa suatu masa, ketika matahari begitu dekat dengan bumi, terang begitu berlebih, dan panas teramat menyengat, manusia hanya dapat bertahan dengan hanya menggunakan pelindung mata gelap. Lebih dari itu, hakikatnya, manusia hadir di muka itu bumi berawal dari kegelapan (alam rahim) dan menuju kegelapan (alam kematian).

Begitulah satu di antara banyak tafsir tentang Jeihan Soekmantoro, lelaki kelahiran Boyolali 26 September 1938. Jeihan tidak hanya dikenal sebagai pekerja seni tetapi juga beraktivitas di bidang kesusastraan dan memelopori Gerakan Puisi Mbeling bersama Remy Silado dan sutardji Calzoum Bachri. Karya-karya Jeihan yang sudah terpublikasi adalah "Mata Mbeling Jeihan" (2005), "Jeihan, Jeihan, Jeihan" (Maamannoor, 2000), "Jeihan: Bukuku Kubuku", "Puisi Filsafat" (Jacob Sumardjo, 2009), "Jeihan: Ambang Warasa dan Gila" (Jakob Sumardjo), dan "Jeihan, Gambar, Bunyi" (2009).

Buku terakhir Jeihan inilah yang kemudian menjadi begitu menarik untuk dikaji para mahasiswa, dosen, maupun peneliti saat berlangsung peringatan Dies Natalis Fakultas Sastra (Fasa) Unpad yang ke-51 beberapa waktu lalu. Namun, sangat sempit rupanya bagi Institut Nalar Jatinangor, bila pembicaraan Jeihan hanya menjadi konsumsi ruhani peserta dies saat itu.

Langkah terpuji dan memang harus dilakukan (bahkan seharusnya sejak dulu) adalah menerbitkan (kembali) semua dialog panjang tentang Jeihan pada saat itu, ke dalam buku berisi tulisan-tulisan kritik dari mahasiswa, dosen, maupun peneliti. Sehingga "Aura Jeihan" pun hadir mengabarkan banyak kajian, analisis, maupun cerita bagi para pencari ilmu dan jejak sastra di banyak tempat.

**

SELAYAKNYA kritik, para penafsir dalam "Aura Jeihan" tidak mengultuskan Jeihan sebagai orang sempurna. Ini penting, sebab pada umumnya kritik dilakukan dengan melambungkan objek kritik nyaris tanpa cacat. Sebaliknya, pembicaraan para penasfir lebih menghadirkan Jeihan apa adanya dengan segala "kerumitan", "kecandaan", maupun "kegilaan"-nya bila sudah berhubungan dengan topik-topik yang bersifat transendental.

Dalam pengantar Editor misalnya, Hikmat Gumelar menulis, bagaimana keterbatasan artikulasi seorang Jeihan pada saat berbicara. Sejumlah kata, frasa, ataupun kalimat tak jarang harus diulang. Namun bila diikuti dengan seksama, kata Hikmat, tutur kata Jeihan mengandung nalar yang tajam dan khas. Bahasa Jeihan juga bukan sekadar bahasa verbal, tetapi adakalanya seluruh tubuhnya adalah bahasa itu sendiri.

Argumen ini tentu saja menjadi fakta, ketika penulis menemuinya di Studio Jeihan Rabu (17/8). Dengan berdiri tegak, tangan bergerak naik turun, Jeihan menggambarkan tentang gigihnya bangsa Indonesia. "Kemerdekaan Indonesia, bukan hadiah. Hasil kemerdekaan Indonesia, bukan suntikan dari negara-negara maju seperti kepada negara-negara persemakmuran. Hasil kemerdekaan Indonesia adalah sebuah proses kerja manusia Indonesia," ujarnya sambil duduk, berdiri, lalu duduk lagi.

Begitulah Jeihan, walau dengan keterbatasan bahasa verbalnya, selalu ada "degup" yang ingin disampaikan kepada lawan bicaranya. Ini juga yang menjadikan Jeihan menurut Hikmat, tak ubahnya seperti pelayan, manakala orang datang menemui di studionya. Dia bukan hanya akan melontarkan banyak topik menarik untuk dibicarakan, tetapi juga mendengarkan, dikritik, dibantah, sambil tetap akan mengantarkan tamunya melihat lukisan-lukisan yang terpampang di banyak di dinding tiga lantai studionya.

Kenyataan Jeihan yang "tidak sempurna" ini terbetik dalam tafsir yang disampaikan Abdul Hamid. Menurut dia, kegagalan Jeihan tampak dalam puisi "Poster". Pemakaian kata "yang" pada kalimat "di bawah perut yang menegang", tidak ada asosiasi lain dari itu. Berbeda jika tanpa kata "yang", masih ada asosiasi lain yang berhubungan dengan bait terakhir puisi itu.

Malah Abdul Hamid juga menilai, tidak ada yang istimewa dari puisi yang berjudul "Kita-kita". Bahasa dan pesan isi yang disampaikan teramat sederhana. Bahkan, tidak ada hal baru dalam bentuk dan metafora puisi tersebut. Begitu juga dalam "Medio Mei1", "medio mei 2", dan Medio Mei 3" sajak-sajak tersebut tidak padat makna.

Sebagai dosen senior di Fakultas Sastra Unpad yang juga editor, Abdul Hamid sudah menyampaikan kritiknya dengan cerdas ditinjau dari sisi kebahasaan. Upaya tafsir karya khususnya sajak (puisi) dari sisi ini, notabene jarang terjadi. Para penafsir maupun kritikus cenderung terjebak pada mendedah makna tinimbang bahasa. Padahal, bahasa ini menjadi penting manakala kalimat mewujud menjadi bentuk-bentuk.

Dalam puisi "Doa" misalnya, Hamid membeberkan, pemakaian huruf A besar yang disusun dalam bentuk piramida berdiri tegak dengan hanya satu huruf A di posisi paling atas dan kata "Amin" di posisi paling bawah, menjadi begitu sarat makna dari sekadar menyusun huruf.

Argumen ini menemukan titik kesaman dan perbedaannya dengan tafsir Teddi Muhtadin. Menurutnya, dalam kemiskinan kata, puisi Jeihan sangat kaya makna. Bahasa puisi Jeihan bagai emas yang didulang dari endapan sungai bahasa lisannya. Apalagi seperti diungkapkan Hikmat bahwa cara bertutur verbal Jeihan memang "tidak rapi".

Teddi mencontohkan puisi berjudul "Buku" (bukuku/kubuku). Kata ini terdiri atas tiga huruf "b", "k", "u" atau tiga kata yaitu "buku", "kubu", dan "ku". Namun begitu meyakinkan arti penting buku bagi manusia. Gaya berbahasa seperti ini ata Teddi, menunjukan tertib berbahasa. Di mana puisi tidak melulu urusan hati atau imajinasi tetapi rasionalitas.

**

MENDEKATI karya Jeihan adalah mendekati persoalan-persoalan transendetal. Dalam kapasitasnya sebagai seniman, kata Baban Banita, Jeihan menyimpan jejak tema ketuhanan cukup kuat dalam karyanya. Hal itu menunjukkan Tuhan menjadi bagian penting bahkan sangat penting dalam kehidupannya. Hal itu tampak pada tiga puisi yang berjudul "Doa", "Nelayan", dan "Syukur dan Tafakur".

Untuk menafsirkan ketiga puisi ini, tentu saja tidak bisa lepas dari Islam sebagai agama yang diyakini Jeihan. Bahkan jumlah huruf 17 di setiap sisi segitiga sama sisi (piramida tegak) dalam puisi "Doa" itu, ditafsirkan Baban sebagai jumlah rakaat salat umat Islam yang selalu ditegakkan.

Dalam sajak "Syukur dan Tafakur", Baban menafsirkan, tentang hubungan mesra Jeihan dengan Tuhan. Tuhan segalanya bagi Jeihan. Menjalani hidup harus dilandasi keimanan dan kecintaan kepada Tuhan. Tetapi hidup juga harus bekerja keras sebagai bentuk syukur kepada Tuhan. Kedekatan ini tidak dibangun dengan kata rayuan manis yang menjanjikan, tetapi dibangun dengan kenyataan yang sesungguhnya sebagai respons senyatanya dari kehendak Tuhan.

Memang jadi sangat banyak "pintu" untuk menafsirkan Jeihan. Bahkan mahasiswi bernama Siti Munawarah dalam "Aura Jeihan" ini menulis tentang pengalamannya sebagai model lukisan Jeihan. Sebagai mahasiswi yang tentu saja jarak proses bersastranya berbeda dengan para penafsir lainnya, ia begitu terpukau dengan kebersahajaan Jeihan. dengan gaya bertuturnya yang mengalir hangat, tafsir ini begitu menggenapkan sosok Jeihan memang tidak sempurna itu tadi.

Dalam melafalkan nama "Muna" saja, sang mahasiswa harus mengulang-ulang bahwa dirinya bukan "Muno" dengan uruf terakhir "O" tetapi "Muna" dengan huruf terakhir "A". Tentu saja, kehadiran tafsir-tafsir seperti ini menjadikan "hidupnya" "Aura Jeihan". Bukan melulu analisis ilmiah yang rumit atau tafsir yang mengernyitkan dahi, tetapi juga catatan ringan para penafsir tanpa kehilangan benang merah yang dirangkai dari "Aura Jeihan".

Keberhasilan ini tidak terlepas dari kerja editor dalam hal ini Hikmat Gumelar dari Institut Nalar Jatinangor pada saat memilih para penulis dan memilah serta menjalinkan karya-karya pemikiran mereka yang beragam. Bayangkan saja, ada 20 kritikus yang ikut menuliskan pemikiran-pemikirannya dalam "Aura Jeihan". Termasuk D. Zawawi Imron.

Zawawi menilai, sajak-sajak Jeihan terlahir sebagai ekspresi diri di luar warna dan rupa (di luar kelukisannya). Dalam arti, ide-ide yang tidak dapat dituangkan di atas kanvas, Jeihan menuangkannya dalam saja. Hal ini dinilai wajar apalagi Jeihan berhasil mendobrak kemapananan puisi pada saat itu dengan memunculkan puisi Mbeling bersama kawan-kawannya.

Sebuah cara pandang berbeda di mana meski sepintas puisi tampak seperti main-mainm nakal, dan humoristis justru memberi kesegaran baru agar hidup tidak terjebak pada kebekuan. Dalam dunia sufi, cara seperti itu menurut Zawawi sudah menjadi hal biasa.

Kendati begitu, Zawawi seperti juga 19 penafsir lannya dalam "Aura Jeihan" mengatakan, tentu banyak apresiator lain yang dapat menafsirkan Jeihan sebagai perupa maupun pesastra. Persis seperti yang disampaikan Jeihan kepada penulis bahwa kerja seni rupa, kerja sastra hanyalah "koma" dari perjalanan panjang manusia menuju titik. Para penafsir akan menuliskan tafsirannya sebagai koma dari banyak pemahaman yang akhirnya sampai pada satu titik. Seperti juga puisi pendek yang dituliskan Jeihan pada "Aura Jeihan", kaki kanan saya seni rupa/kaki kiri saya sastra/dengan keduanya saya menuju langit. (Eriyanti/"PR")

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 22 Agustus 2010

No comments: