-- St Sularto
• Judul: Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan Diskriminasi
• Penulis: Haryatmoko
• Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
• Cetakan: I, 2010
• Tebal: xv + 295 halaman
• ISBN: 978-979-22-5881-3
BUKU ini menguraikan akar masalah kekerasan dan diskriminasi, dua realitas yang marak terjadi atas nama kekuasaan yang impulsif koruptif tak pernah terpuaskan. Dominasi atau penguasaan menjadi kata kunci menguak apa yang terjadi dalam kehidupan politik, agama, wacana jender, simbolisasi dalam sistem pendidikan, dan kehidupan ekonomi. Ia membongkar metafisik realitas dalam uraian yang kaya, padat, inspiratif, dan jelas.
Di tangan penulisnya, Haryatmoko, kosakata teknis dan pendapat-pendapat para filosof yang rumit menjadi gampang dan enak diikuti para pembaca awam filsafat sekalipun; sesuatu yang tidak saja menunjukkan kemampuan naratif pengarang, tetapi juga penguasaan prima atas bacaan-bacaan referensi yang relevan. Tidak saja sebagai eksplanasi atas berbagai peristiwa yang hangat terjadi, buku ini juga bisa menjadi rujukan. Yang dilakukan Haryatmoko adalah menunjukkan akar persoalan kemasyarakatan aktual, kekerasan dan diskriminasi, dan dengan melakukan penjelasan itu mengajak pembaca—utamanya korban-korban dominasi—menyadari posisinya sebagai korban, dan begitu di sana mulai terjadi perlawanan. Dominasi yang penuh muslihat harus dirobohkan, dimulai dari kesadaran tentang akar persoalan kekerasan dan diskriminasi. Tujuan akhirnya kesadaran atas posisi terdominasi sebagai kesadaran bersama.
Buku terbagi atas tujuh bab. Bab I menguraikan uraian-uraian pendek tentang usaha para filosof dunia, mulai dari Nietzsche, Foucault, Bourdieu, Baudrillard, Habermas hingga Derrida—bacaan-bacaan rujukan dengan catatan-catatan kritis dominasi penuh muslihat yang merugikan kemanusiaan, termasuk dominasi tersembunyi agar disadari sebagai bentuk kekerasan dan ketidakadilan (hal 42-43).
Bab satu ibarat menyingkap selubung muslihat (topeng) dominasi, yang membantu mereka yang gemar mengutip nama dan pepatah-petitih asing, sebaliknya mempermudah pembaca yang tidak berlatar belakang disiplin filsafat memperoleh pendasaran rasional atas fakta kekerasan dan diskriminasi; ibarat sejarah filsafat sistematik, disampaikan pendapat dan diskursus para pemikir tentang selubung dominasi—pintu masuk ke enam bab berikutnya: dominasi kejahatan politik (Bab II), dominasi agama (Bab III), dominasi wacana jender (Bab IV), dominasi simbolis pendidikan (Bab V), dominasi ekonomi dan demistifikasi demokrasi (Bab VI), dan dominasi uang (Bab VII).
Tidak terjebak dalam cara berpikir serba mengelak seperti Sartre, Haryatmoko menempatkan diri tidak dengan gaya menggurui, tetapi bersama-sama mengajak pembaca membongkar realitas dominasi dan dengan begitu memberikan pendasaran akar masalah kekerasan dan ketidakadilan. Cara ini mengandaikan di satu pihak, penulisnya dekat dengan persoalan aktual masyarakatnya, tidak sebagai penonton, melainkan terlibat di dalamnya, yang kritis melakukan perlawanan dengan cara penggugatan, berlanjut dengan melakukan eksplanasi mendasar atas kejadian. Di pihak lain, penulis pun memiliki modal memadai atas apa yang pernah dilakukan para pemikir filosofis, seperti sederet nama yang tercantum dalam Bab I. Haryatmoko tidak berkhotbah. Yang dilakukan adalah penyadaran dan kemudian penyadaran bersama seperti yang dilakukan Freire dengan penyadaran diri ke penyadaran bersama, dari sientisasi ke kosientisasi.
Kesimpulan buku tidak ditempatkan di bagian akhir, tetapi di halaman pengantar. Perlawanan terhadap struktur-struktur kolektif (keluarga, asosiasi, negara-bangsa) menjadi masif dan intensif melalui pembongkaran muslihat dominasi dengan semakin banyaknya anggota masyarakat mengadopsi kesadaran kritis dan refleksif (hal xv).
Kekerasan dan ketidakadilan
Dalam keenam bentuk dominasi, kekerasan dan ketidakadilan bukan hanya akibat, tetapi juga proses. Dalam bidang politik, kejahatan moral ditimpakan kepada individu, sebaliknya dalam kejahatan politik pada bangsa atau kelompok warga negara, entah karena kolaborasi, konspirasi atau connivence (kepura-puraan).
Membongkar kejahatan politik dilakukan dengan cara membangun ingatan kolektif (sosial) dan begitu merupakan upaya menagih utang yang tidak hanya selesai dengan pengakuan rasa salah, tetapi juga silih untuk masa depan korban (hal 43-44). Inilah eksplanasi plus penegasan rasional Haryatmoko atas upaya tak kenal lelah masyarakat membongkar kekerasan dan ketidakadilan dalam kasus-kasus aktual kita, Indonesia seperti pembunuhan massal pascaperistiwa September 1965, kasus Munir, kasus kerusuhan Mei 1998, ataupun kasus Trisakti-Semanggi 1998, berikut yang masih terus berlangsung aksi kekerasan politik seperti terjadi di Papua.
Ketika korupsi sudah dibahas dari berbagai disiplin dan latar belakang, dari yang sosial sampai psikologi, korupsi di Indonesia bagi Haryatmoko sudah menjadi kejahatan struktural, kekerasan sebagai hasil interaksi sosial yang berulang dan terpola yang menghambat banyak orang bisa memenuhi kebutuhan dasar. Korupsi lantas menjadi sebentuk mafia (hal 60), mengaburkan apa yang boleh dan tidak, yang melanggar norma dan tidak, yang legal dan ilegal—terjadilah krisis institusional negara. Korupsi sebagai habitus, kebiasaan yang mengakar.
Bagaimana dilakukan perubahan? Identifikasi dan lepaskan simpul-simpul habitus yang mendominasi interaksi sosial (hal 64). Caranya, Haryatmoko mengutip tiga bentuk interaksi sosial sebagai simpul-simpul habitus menurut Giddens, yakni interaksi komunikasi, kekuasaan, dan moralitas. Memberantas korupsi dengan cara mengubah tiga bentuk interaksi sosial itu hanya berhasil dengan bersama-sama dijalankan melalui pendidikan, tindakan hukum yang tegas, dan kebijakan publik yang ketat. Kita tarik dalam permasalahan aktual, saran ini sejalan dengan plus-minus dijalankan pemerintahan SBY-Boediono, hanya dengan catatan jangan selesai dengan diwacanakan dan instruksi lugas, tetapi dengan implementasi dan eksekusi tegas, cepat, dan tepat waktu.
Survey
Berbagai jajak pendapat dan survei yang belakangan ini meramaikan atmosfer perpolitikan Indonesia (hal 230-231), menurut Haryatmoko di satu pihak dimaksud untuk mencapai status obyektif dan ilmiah, di pihak lain ada maksud sebagai bagian dari strategi kekuasaan. Mengutip Foucault, status ilmiah merupakan cara memaksakan pandangan kepada publik tanpa memberi kesan berasal dari pihak tertentu. Yang disingkapkan dari kenyataan aktual ini ialah, jajak pendapat yang marak dan jadi alat pemenangan suara seharusnya diarahkan untuk menemukan kembali dinamika perdebatan publik, dan bukan untuk menggambarkan representasi politik melainkan dalam kerangka demokrasi deliberatif.
Di bidang agama, muslihat dominasi tampil dengan adanya jarak antara cita-cita agama dan realitas kehidupan beragama. Agama sering tampil dalam dua wajah yang bertentangan. Cukup menyedihkan ketika agama dikaitkan dengan fenomena kekerasan, bukannya untuk mengelakkan konflik, tetapi malahan memberikan landasan ideologis dan pembenaran simbolis (hal 81-83). Tindakan kekerasan dan motivasi teroris bisa diperteguh oleh identitas agama, mengalami kontak dengan makna terdalam hidupnya, dan acuan ke tujuan akhir memberikan kebenaran (hal 94).
Pendapat Ricoeur yang dipungut Haryatmoko mempertegas apa yang belakangan ini kita saksikan, setidaknya dalam memahami kasus-kasus terorisme atas nama agama, di mana agama direduksi hanya menjadi ideologi. Terorisme jadi bentuk nihilisme karena tiga ciri khas: matinya kebebasan, dominasi kekerasan, dan pemikiran yang diperbudak (hal 95). Dan, inilah yang menjamin radikalisme pengikutnya dengan kunci sukses kemampuan memberi kepastian.
Cara menyingkap topeng muslihat dominasi di bidang politik dan agama, dengan catatan kasus terorisme tak melulu terkait radikalisme agama, dilakukan pula dalam menyingkap masalah jender, pendidikan, ekonomi, dan uang—dipungut dari kenyataan cara mewacanakan masalah jender, demistifikasi demokrasi dalam kehidupan ekonomi, simbolisasi dalam praksis pendidikan, dan keterjebakan manusia dalam konsumerisme. Masing-masing tidak ada kesimpulan sebab kesimpulan berkelindan kait-mengait dengan kejadian aktual, referensi para pemikir besar, dan kesimpulan-kesimpulan yang ditariknya dalam setiap perkara.
Sulit melakukan tinjauan kritis atas buku ini, kecuali karena sifatnya normatif—harapan terhadap spekulasi filosofis—sering kurang dilihat nuansa perdebatan aktual yang keluar dari normalitas logika, dan keburu diberikan kesimpulan-kesimpulan sepihak sebagai acuan memahami persoalan. Membaca buku ini ibarat memilih-milih sajian makanan di atas meja yang sudah tinggal comot, tetapi juga menyajikan kesempatan mencecap. Terbuka bagi siapa pun, tentu bagi penulisnya—Haryatmoko—bagaimana setiap bab terjabar masing-masing sebagai buku karena setiap bab itu pun menawarkan diri untuk memperoleh penjabaran komprehensif.
Sumber: Kompas, Jumat, 20 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment