-- Afrizal Malna
TEATER mengganggu dirinya sendiri dengan berbagai cara. Salah satu cara dengan meninggalkan gedung pertunjukan, meninggalkan aktor, meninggalkan sutradara, atau meninggalkan teks. Teater sebuah tim dalam kerja seni pertunjukan yang bisa dikoreografi lewat elemen-elemen yang dikandungnya sendiri. Karena itu, teater memiliki negosiasi antara seni dan publik yang tidak terduga. Publik bisa dilihat sebagai teater pertama, tempat berlangsungnya teater itu sendiri, seperti halnya kebanyakan seni pertunjukan tradisi.
Pertemuan Teater Bandung yang berlangsung di STSI Bandung, 15-17 Juli lalu, memperlihatkan hal itu. Mereka membuat negosiasi dan dekorasi baru antara internal teater dan eksternal teater. Teater adalah sebuah batu yang bersemayam dalam tubuh aktor, tetapi juga seekor cacing yang hidup dalam teks.
Mengoreografi dua dinding teater
Hubungan organik antara aktor dan teks sudah dianggap selesai oleh Teater Casonava. Mereka mengubah medan teater dengan membuka diri terhadap agresi publik di ruang terbuka. Hampir 80 performer mereka gunakan dalam pertunjukan dengan tema mengaburnya batas antara siapa yang dirampok dan siapa yang merampok, antara siapa yang diburu dan siapa yang memburu. Pertunjukan mereka, yang bergerak dari ruang ke ruang terbuka halaman STSI, menggunakan berbagai ikon publik sebagai strategi mereka, di antaranya dua kelompok band, sebuah motor dan mobil, pasukan tentara pemburu, lampu lampu sorot, serta suara sirene.
Pertunjukan mereka, yang disutradarai Wail Irsyad bersama enam sutradara dan aktor-aktor lainnya, mengoreografi dua dinding: antara pertunjukan sebagai ”dinding pertama” dan publik sebagai ”dinding kedua”. Kedua dinding ini pada tingkat tertentu dikoreografi dengan sadar dan menghasilkan ”dinding ketiga”. Koreografi antara dinding pertama dan dinding kedua berlangsung melalui perpindahan ruang. Publik ikut berbondong mengikuti perubahan itu dengan antusiasme untuk merekamnya dengan telepon seluler ataupun kamera digital. Pada dinding ketiga itu, antara performer dan publik tidak ada batasnya lagi. Di sini agresi menjadi negosiasi baru yang bergantung pada keterbukaan desain pertunjukan atas berbagai momen yang bisa terjadi pada publik.
Mengoreografi antardinding dalam teater, pada dimensinya yang lain, juga berlangsung pada pertunjukan Teater Laskar Panggung yang mementaskan Dari Wak Menuju Tu. Dinding-dinding ini merupakan hasil pemilihan dari terjadinya pembelokan struktur pertunjukan. Setiap terjadinya pembelokan, ia menjadi dinding baru yang mendampingi dinding sebelumnya. Misalnya, dalam satu ruang ada dua orang yang sedang melakukan ronda, tetapi ternyata yang satu tinggal di Karawang dan satunya lagi tinggal di Tasikmalaya. Untuk menyatukan kedua dinding ini digunakan remote yang dijalankan oleh aktor lainnya.
Koreografi atas dinding-dinding tersebut juga berlangsung antara teater, musik, dan tari, seakan-akan penonton memang harus pindah-pindah dari pertunjukan teater ke pertunjukan musik. Yusef Muldiyana, yang menyutradarai pertunjukan ini, tampak menyadari aktor-aktornya sebagai aktor dari tubuh kreol. Tubuh dari campuran berbagai unsur kebudayaan antara kebudayaan lokal, urban, dan kultur etnis ataupun agama lainnya.
Memori dan perempuan berkumis
Menurut Semi, salah seorang aktivis teater di Bandung, dari bulan Januari hingga Juli terjadi 123 pertunjukan teater di Bandung. Menurut Iman Soleh, ada 19 kelompok teater yang paling aktif, di antaranya Teater Laskar Panggung, Celah-Celah Langit, Teater Payung Hitam, dan Teater Casanova.
Angka-angka itu menakjubkan dan memancing sejumlah pembacaan untuk melihat kehidupan politik teater di Bandung. Menurut Iman, sebagian besar dari pertunjukan itu secara aktif merupakan respons atau reaksi atas isu-isu sosial-politik yang berlangsung di masyarakat.
Sementara itu, di sisi lain, aktor masih merupakan pertanyaan utama dalam tradisi teater modern di Bandung. Tradisi ini bertahan kuat lewat kesetiaan Suyatna Anirun dalam menegakkan seni peran lewat pertunjukan-pertunjukan STB. Sebagian pengamat melihat bahwa di balik kesetiaan ini ada semacam ideologi humanisme dalam memandang manusia lewat aktor dan kesadaran sosial lewat bentuk-bentuk realisme yang banyak disajikan STB.
Dalam pertemuan itu, penonton kembali menyaksikan seni peran yang disajikan STB dalam jarak lebih intim karena dipentaskan di Studio STSI Bandung. Pertunjukan yang mementaskan naskah Serge Mercier ini, seorang pengarang Perancis, Yang Tersisa, menarik karena dua aktor tua antara Sugyati Suyatna Anirun dan Gatot WD, disutradarai sutradara perempuan berusia muda, Ria Ellysa Mifelsa.
Sugyati dan Gatot memerankan keterasingan domestik pada hari tua itu sambil membiarkan diri mereka bergerak dalam dua realitas teks: teks sebagai tubuh yang diperankan dan teks sebagai kalimat yang nilai-nilai kesusastraannya dipertahankan walau kedua realitas ini belum tentu saling berhubungan satu sama lainnya.
Pertunjukan Teater Payung Hitam, Genjer-genjer, yang disutradari Rahman Sabur, merupakan kelanjutan dari pertunjukan mereka yang meninggalkan teks. Tubuh aktor dan berbagai strategi visual menjadi poros utama mereka. Kalimat dibuat melalui ikon-ikon ataupun simbol. Tubuh aktor dan strategi visual ini menjadi tidak cukup efektif ketika ikon yang digunakan sudah menjadi bagian dari metafor mati. Sepatu tentara, misalnya, yang dieksplor sedemikian rupa di atas kepala aktor sampai dibanting-banting berkali-kali di lantai, tidak menghasilkan dinding baru dalam pertunjukan mereka.
Dinding ketiga yang lain lahir dari perempuan berkumis dalam pertunjukan Teater Celah-Celah Langit, Dibayar Kontan, yang disutradarai Iman Soleh. Dinding pertama muncul lewat realitas jual-beli perempuan yang dilegalkan lewat lembaga pernikahan: mas kawin dibayar kontan pihak lelaki. Dinding kedua lahir melalui perempuan yang mulai melawan realitas ini dan menolak lelaki yang hanya bermodal cinta. Dan, dinding ketiga muncul ketika perempuan juga mulai berkumis seperti lelaki. Ketiga dinding ini dimainkan Rizky Rizkika Riani, dengan akting yang multidimensi. Riani hadir sebagai aktor yang memperlakukan teks seperti tubuhnya sendiri dalam Pertemuan Teater Bandung yang dikurasi oleh W Christiawan ini.
Afrizal Malna, Penyair
Sumber: Kompas, Minggu, 15 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment