SENIN, 28 Mei 2007, adalah hari kelabu bagi Jepang. Toshikatsu Matsuoka, 62 tahun, Menteri Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan Jepang, ditemukan tewas gantung diri dengan seutas tali di jendela apartemennya. Sebuah surat wasiat ditinggalkannya untuk rakyat Jepang, ”Dengan kematian ini, saya mengambil semua tanggung jawab dan memohon maaf. Tolong kasihani orang-orang yang masih hidup….”
Anak petani miskin ini dituduh menerima uang haram dari kontraktor senilai 28 juta yen. Toshikatsu mengaku lupa melaporkan donasi sebesar 8.500 dollar Amerika Serikat dari Business Export Forum. Dia tewas hanya beberapa jam sebelum dijadwalkan untuk diinterogasi. Itulah cara orang (baca: pejabat terhormat) di Negeri Sakura menebus kesalahan dan rasa malu karena korupsi.
Di negeri itu, seperti pernah ditulis dalam esai sastra yang mengisahkan Yushio Mishima, pejuang Jepang yang melakukan harakiri karena merasa gagal dalam percobaan pemberontakan melawan penguasa Amerika Serikat dan Pemerintah Jepang pasca-Perang Dunia II, ”bunuh diri adalah harga yang mesti dibayar demi menghapus dosa dan menjaga kehormatan”.
Akan tetapi, di Indonesia, negeri yang beragama ini, bunuh diri adalah suatu yang dikutuk. Namun, demikian sebaliknya, korupsi seperti bukan sesuatu yang memalukan. Karena itu, jangankan bunuh diri, para koruptor yang jelas-jelas telah terbukti di pengadilan tak merasa malu dan barangkali juga tak menyesal.
Jumat (20/8), pukul 11.30, tak ada mobil tahanan ataupun pengawal yang menjemput Yusuf Erwin Faisal, terpidana korupsi, seusai diperiksa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Siang itu bekas anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang terbukti menerima suap dalam kasus alih fungsi hutan lindung menjadi pelabuhan di Sumatera Selatan dan kasus Sistem Komunikasi Radio Terpadu ini diperiksa sebagai saksi untuk tersangka lain.
Juru Bicara KPK Johan Budi, yang waktu itu tengah menggelar konferensi pers, terheran-heran melihat Yusuf melenggang bebas berjalan sendirian meninggalkan Gedung KPK. Jusuf baru pada 6 April 2009 divonis oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dengan hukuman penjara selama 4,5 tahun.
Wartawan pun segera memburu lelaki yang siang itu berkemeja motif garis-garis dan berpeci warna emas. Awalnya Yusuf mengaku bahwa petugas Lembaga Pemasyarakatan Tangerang yang mengawalnya menunggu di luar gedung. Namun, wartawan tak percaya begitu saja dan terus mencecarnya dengan pertanyaan. Dia terlihat kikuk dan tiba-tiba Yusuf mengeluarkan telepon selulernya dan bertanya kepada seseorang di seberang, ”Di mana?”
Adegan berikutnya mudah ditebak. Bukan mobil tahanan yang muncul, tetapi sebuah mobil Suzuki Grand Vitara warna perak bernomor polisi B 1843 NJA, yang masih terlihat baru. ”Saya baru saja dapat asimilasi. Insya Allah, November tahun ini saya sudah bebas,” ujarnya, sebelum bergegas pergi. Ia juga mengaku telah menerima remisi atau pemotongan hukuman tiga bulan penjara berbarengan dengan peringatan Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 2010.
Dengan mendapat asimilasi, artinya Yusuf boleh melenggang bebas menghirup udara kebebasan selama beberapa jam dalam sehari. Dengan remisi, dia mendapat waktu pembebasan yang lebih cepat. Pemberian hak asimilasi dan remisi ini memang sah dan telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tentang Perubahan atas PP Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.
Bukan hanya Yusuf, banyak terpidana korupsi lainnya yang mendapatkan remisi. Bahkan, 11 di antaranya bebas (bersyarat) setelah mendapatkan remisi pada Hari Kemerdekaan, salah satunya yang bebas adalah Aulia Pohan, besan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Direktur Jenderal Pemasyarakatan Untung Sugiyono memastikan bahwa pembebasan bersyarat itu sesuai dengan aturan. Aulia ditahan KPK sejak 27 November 2008. Ia divonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi 4,5 tahun penjara. Mahkamah Agung mengurangi hukumannya menjadi tiga tahun.
Walaupun sudah sesuai aturan, dan begitulah ritual tahunan di negeri ini, tetap saja gelombang kritik menderas. Hal itu dinilai mencederai semangat pemberantasan korupsi. Belum lagi, berbarengan dengan pembebasan sang besan, Presiden juga memberikan grasi atau pengampunan kepada terpidana korupsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, Syaukani Hasan Rais, yang disebut-sebut sakit permanen. Atas nama kemanusiaan, demikian dalih pemberian grasi tersebut.
Berbeda dengan Jepang yang warganya memiliki kesadaran untuk bunuh diri karena malu telah berbuat salah, atau China yang pemerintahnya dengan tegas menembak mati para koruptor, negara kita adalah negara yang ”pemaaf” terhadap koruptor. Presiden memiliki kewenangan untuk memberikan grasi, aturan pun membolehkan pemberian remisi, asimilasi, dan peringanan hukuman lain terhadap koruptor.
Lalu apa yang salah?
”Aturan memang membolehkan remisi dan grasi, tetapi ini melemahkan semangat pemberantasan korupsi,” kata Johan Budi. Selama ini, menurut dia, KPK selalu berupaya menuntut koruptor dengan tuntutan maksimal. Tujuannya untuk memberi efek jera.
Efek jera ini, menurut Johan, diperlukan karena di negeri ini korupsi semakin mendekati, atau barangkali sudah, menjadi suatu yang banal atau dianggap sebagai suatu yang wajar.
”Percayalah, kebanyakan masyarakat Indonesia itu sudah permisif terhadap korupsi,” kata Hadi Supeno, mantan Wakil Bupati Banjarnegara, Jawa Tengah, penulis buku Korupsi di Daerah: Kesaksian, Pengalaman, dan Pengakuan.
Jika sudah begini, perang melawan korupsi yang berkali-kali didengungkan Presiden itu barangkali tak akan pernah kita menangi. (Ahmad Arif)
Sumber: Kompas, Senin, 23 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment