-- Abidah El Khalieqy
PUASA Ramadhan merupakan kewajiban (ibadah mahdloh) bagi orang- orang beriman, khususnya kaum Muslimin di manapun ia tinggal. Akan tetapi, esensi ibadah puasa bukan hanya sekadar ritus penahanan diri dari nafsu makan, minum, seks, dan sebagainya. Tapi dalam puasa juga termaktub ibadah-ibadah lain yang bersifat kultural (ghoiru mahdloh), yang dianjurkan syariat Islam untuk meraih kemuliaan dan kesempurnaan kemanusiaan kita.
Dimensi budaya dari puasa ini, bisa dikatakan relatif baru, karena sedikit sekali disinggung dalam ceramah, karya tulis, dan buku-buku yang berkaitan dengan puasa Ramadhan. Dengan dimensi ini, setiap Muslim sebenarnya dituntut tidak hanya memperbaiki dan meningkatkan ketakwaannya dalam ruang domestik (hablumminallah), tetapi juga mengembangkan imajinasi dan kreativitasnya dalam mewujudkan nilai-nilai kebenaran, kebajikan, dan keindahan di ruang publik (hablumminannas). Kesalehan individual dan kesalehan sosial adalah dua sisi dari koin iman yang sama.
Dimensi keimanan dapat termanifestasi melalui peningkatan spiritualitas, sedang nilai-nilai kebudayaan mesti tampak di ranah moralitas. Melalui refleksi demikian, setiap Muslim diharapkan mampu memetik hikmah puasa Ramadhan sebagai wahana pencerahan diri, secara intelektual ataupun spiritual. Bukan hanya dalam hubungan sesama Muslim, tapi juga dengan umat beragama lainnya.
Jihad akbar yang menjadi upaya utama manusia terutama pada bulan puasa sesungguhnya juga sebuah ”jihad” untuk meraih kearifan, kebijaksanaan, dan keutamaan dalam menjalani kehidupan bersama di muka bumi yang pongah ini. Sebuah ”jihad sosial” yang dapat pula dijadikan ”stasiun pemberangkatan” bagi setiap Muslim untuk mendefinisikan ulang kredo-kredo teologikal yang selama ini kurang berfungsi dalam ranah sosial, dalam berbagai kasusnya: ekonomi, hukum, politik, kebangsaan, dan lainnya. Puasa semestinya memberikan peluang terjadinya metamorfosis spiritual yang berdampak pada hidup yang lebih dinamis dan progresif; yang mampu meraih esensi dan mengolah fungsi kultural sesuai kebutuhan zaman.
Maka, lewat niat dan praksis puasa semacam itu, Ramadhan semestinya jauh dari kecenderungan selebratif di mana agama hanya dijadikan sarana bagi orang-orang ternama untuk menampakkan kemuliaan dirinya melalui layar televisi, dan media massa lainnya. Ibadah terpuruk ketika hanya menjadi pelayan bagi nafsu dan kepentingan pribadi atau kelompok, bahkan sekadar kepentingan industrial. Di titik ini, puasa sungguh akan terjebak dalam perbudakan kultur konsumtif yang cenderung hedonistis—hal yang ditentang habis oleh puasa sendiri.
Ironi puasa kerap terjadi ketika ibadah itu dipergunakan untuk melegitimasi kekuasaan, di tingkat individual ataupun institusional. Puasa menjadi gincu, menutupi kekotoran jiwa dan kebusukan perilaku kaum elite dan pemimpin negeri ini. Menjadi tudung suci (sacred canopy) palsu untuk rakyat, lupa akan kesengsaraan, aniaya, dan penistaan oleh negara pada dirinya.
Nilai-nilai keperempuanan
Bagaimana semua itu kemudian berkait dengan persoalan dan eksistensi kaum perempuan? Dalam syariat Islam,tidak ada perbedaan apa pun bagi laki-laki dan perempuan untuk melaksanakan puasa. Akan tetapi, secara kultural, dalam kenyataannya, pada bulan suci yang dimuliakan itu, kaum perempuan selalu mendapat halangan dalam menjalankan ibadahnya. Daur menstruasi, hamil, melahirkan, dan menyusui merupakan fakta biologis yang menyebabkan perempuan tidak sepenuhnya dapat melaksanakan puasa sepanjang bulan.
Oleh karena itu, jika tak memahami maksud dan tujuan syariat Islam, serta fikih-fikih yang berkenaan dengan perempuan pada bulan puasa, bisa jadi akan timbul dugaan bahwa Islam kurang ramah terhadap spiritualitas perempuan. Namun sebaliknya, jika halangan-halangan puasa tersebut direnungkan secara lebih mendalam, sungguh, bulan Ramadhan merupakan anugerah bagi kaum hawa untuk meraih kearifan. Suatu kenyataan spiritual yang secara spesifik tidak mungkin dialami oleh kaum laki-laki.
Di bidang sosial-budaya, ”hambatan” perempuan di atas sungguh akan menjadi sebuah kearifan ketika waktu dan tenaga yang didapatkan dipergunakan untuk melakukan berbagai aktivitas sosial dalam sebuah intensi yang bernilai spiritual. Dengan demikian, ibadah juga memberikan makna dan manfaat sosial bagi manusia lain, manusia yang juga berkeyakinan, bersuku bangsa, atau bertingkat sosial yang lain.
Di titik itu, sesungguhnya perempuan memperoleh kesempatan sangat berharga dalam memuliakan agama, memuliakan diri, dan memuliakan manusia pada umumnya, lebih dari kaum lelaki.
Bila ideal-ideal di atas dapat terjadi, agama Islam dan ritus-ritus sucinya adalah sumbangan terbesar bagi berkembangnya tradisi serta kebudayaan sebuah masyarakat. Masyarakat apa dan di mana saja. Islam yang sesungguhnya rahmatan lil ’alamin. Rahmat untuk mencapai kesejahteraan dunia dan kedamaian akhirat. Esensi yang terkandung dalam perintah Al Quran (Qs. 2:183; 33:5) untuk laki-laki dan perempuan Muslim adalah melaksanakan ibadah puasa pada bulan suci ini.
Abidah El Khalieqy, Penyair dan Novelis, Tinggal di Yogyakarta
Sumber: Kompas, Sabtu, 21 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment