-- Pieter P Gero
UNGKAPAN Presiden dan Chief Executive Officer Nissan Motor Co Ltd Carlos Ghosn saat ditemui di Jakarta, Juni lalu, begitu optimistis soal negeri ini. ”Negeri Anda sangat disayang Tuhan. Aneka komoditas, batu bara, tanah yang luas, penduduk yang besar dengan penduduk usia muda yang banyak,” ujarnya.
Tidak ada yang keliru dari optimisme Ghosn, pria Perancis yang sukses membawa Nissan keluar dari kebangkrutan itu. Hanya yang memprihatinkan, apakah semua penduduk usia muda yang masuk dalam angkatan kerja itu bisa memperoleh pekerjaan? Apakah semua komoditas, tanah yang luas tadi bisa dikelola untuk memberikan lapangan pekerjaan bagi mereka?
Sinyalemen banyak penduduk usia muda (produktif) yang diungkap Ghosn juga tepat. Catatan dari Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan, sampai bulan Juni 2010 total penduduk Indonesia mencapai 234.181.300 orang, dan dari komposisi usia, ada 159.596.500 orang atau 68,2 persen dari jumlah penduduk yang berusia 15 sampai 64 tahun. Usia yang tergolong masih produktif. Sementara ada 62.490.100 orang atau 26,7 persen yang berusia antara nol dan 14 tahun, dan mereka yang berusia di atas 65 tahun hanya 12.094.800 orang atau 5,2 persen.
Sebuah keprihatinan yang ada bahwa tidak semua dari mereka yang produktif, mereka yang terbilang masih dalam kategori angkatan kerja itu, bisa ditampung dalam lapangan pekerjaan yang ada karena sampai dengan tahun peringatan kemerdekaan Indonesia ke-65 ini, masih terdapat 7,41 persen (Februari 2010) tingkat pengangguran terbuka. Angka ini sedikit lebih baik dibandingkan dengan 8,14 persen pada tahun sebelumnya (Februari 2009).
Dalam hitungan jumlah manusia yang menganggur, angka 7,41 persen itu berarti mencapai 8,592 juta orang, turun dibanding 9,259 juta orang pada Februari 2009. Suatu jumlah yang memprihatinkan. Karena dari hitung-hitungan komposisi usia penduduk yang ada, maka dapat diyakini sebagian besar dari mereka yang menganggur ini adalah orang-orang muda. Orang-orang yang masih sangat produktif.
Sebuah gugatan serius perlu diajukan berkaitan dengan angka pengangguran yang masih cukup besar. Semakin serius karena berhubungan dengan sebagian besar orang muda berusia produktif. Orang muda yang berupaya memperbaiki kesejahteraan diri sendiri dan keluarganya. Orang muda yang punya banyak cita-cita, termasuk harapan menaikkan harkat dan martabatnya lewat sebuah pekerjaan formal. Sebuah bom waktu apabila semuanya gagal.
Sebuah bom waktu karena dari mereka yang menganggur secara terbuka tadi, saat ini sekitar 12 persen merupakan sarjana. Mereka yang sudah menghabiskan dana puluhan bahkan ratusan juta rupiah untuk menyelesaikan kuliah di perguruan tinggi dengan sebuah cita-cita besar. Jumlah pengangguran yang berpendidikan tinggi ini juga terus meningkat. Tahun 2007, masih sekitar 7 persen, tetapi tahun 2009 sudah mencapai 12 persen.
Tidak bisa dibantah, persaingan untuk meraih sebuah pekerjaan formal di negeri ini kian sempit. Selain angkatan kerja yang bertambah dari waktu ke waktu (per Februari 2010 sudah mencapai 116 juta orang, dari 113,74 juta orang per Februari 2009), pertumbuhan perekonomian Indonesia juga tidak cukup banyak menciptakan lapangan pekerjaan formal.
Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) oleh BPS dalam tiga tahun terakhir ini memperlihatkan pertambahan sektor pekerjaan formal yang sangat lamban. Dari sekitar 36,9 persen pada tahun 2007 menjadi 37,9 persen tahun 2009. Alhasil, sebagian besar dari angkatan kerja yang ada di negeri ini ditampung sektor pekerjaan informal (wiraswasta) masih menguasai 62 persen perputaran roda perekonomian.
Pertumbuhan berkualitas
Masih banyak angka-angka yang memprihatinkan menyangkut kondisi ketenagakerjaan dan beban sosial ekonomi yang kian dipikul sebagian besar masyarakat. Kini, para perempuan atau ibu rumah tangga juga harus ikut bekerja untuk membantu perekonomian keluarganya. Dalam dua tahun terakhir, kaum perempuan yang bekerja bertambah dengan 2 persen atau sekitar 4,5 juta orang.
Sisi lain yang juga memprihatinkan, sektor pertanian yang sangat diandalkan untuk memasok pangan (padi) bagi 234 juta penduduk, kini mulai ditinggalkan para pekerjanya. Kepala BPS Rusman Heriawan, bulan Mei lalu, mengatakan, saat ini ada mutasi para pekerja sektor pertanian yang mencapai 200.000 orang per tahun. Mutasi pekerja juga terjadi di sektor transportasi yang mencapai 130.000 orang per tahun.
Dari semua kondisi ini, tak bisa lain pemerintah dan siapa saja di negeri ini harus mulai serius menciptakan lapangan pekerjaan. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi harus diraih melalui investasi langsung pada sektor industri pengolahan dan pembangunan infrastruktur yang banyak menyerap tenaga kerja. Sektor pertanian harus ditangani serius, mulai dari penyediaan pupuk, benih—dengan harga memadai, irigasi yang baik, hingga harga-harga jual yang mendorong petani dan keluarganya mau bertahan di sana.
Apakah selama ini tidak tercatat adanya pertumbuhan ekonomi? Pertumbuhan ekonomi pada semester I-2010 mencapai 5,9 persen. Indonesia bahkan mencatat diri sebagai negara dengan ekonomi yang positif di Asia bersama China dan India, di saat krisis menerpa banyak negara lainnya. Hanya saja, pertumbuhan ekonomi tadi lebih karena didorong sektor konsumsi rumah tangga.
BPS menilai, penyerapan tenaga kerja belum maksimal meski pertumbuhan ekonomi selama semester I-2010 mencapai 5,9 persen. Diharapkan, dengan pertumbuhan ekonomi 1 persen bisa menyerap sedikitnya 400.000 tenaga kerja. Namun, pertumbuhan ekonomi yang ada tidak banyak menyerap tenaga kerja karena lebih disebabkan sektor konsumsi dan sektor jasa.
Pertumbuhan ekonomi yang kurang berkualitas. Daya serap pertumbuhan terhadap tenaga kerja baru (employment elasticity) hanya 250.000 orang per pertumbuhan 1 persen. Kualitas pertumbuhan ekonomi yang semakin menurun.
Para ekonom berpendapat bahwa pemerintah harus lebih serius memberikan insentif berupa peraturan yang kondusif, fiskal, bahkan keringanan pajak, yang memberikan ruang yang lebih besar bagi sektor industri untuk tumbuh. Hal serupa juga bagi sektor informal yang mendominasi perekonomian.
Kebijakan mengekspor bahan baku andalan, seperti minyak kelapa sawit, batu bara, kakao, dan berbagai produk bahan baku lainnya, tidak ubahnya memberikan amunisi kepada negara lain dalam persaingan di pasar global dengan produk industri olahan dalam negeri. Yang kemudian terjadi adalah matinya sektor industri (deindustrialisasi) dalam negeri.
Memasuki tahun kemerdekaan yang ke-65, tidak bisa lain pemerintah dan semua pemangku kepentingan kini saatnya menciptakan sebuah pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Tidak bisa lain, industri- industri pengolahan dengan bahan baku dalam negeri yang andal menjadi pilihan utama. Lapangan kerja secara simultan akan tercipta di sana.
Sektor pertanian juga sebuah harga mati lainnya yang harus dikembangkan. Mempertahankan petani tetap di sektor pertanian dengan penyediaan pupuk dan bibit yang berkualitas dan harga yang memadai jelas sebuah keharusan. Perbaikan irigasi, sarana transportasi yang menghubungkan sentra produk pertanian dengan pasar juga membuat petani betah di sektornya. Harga produk pertanian yang baik dan stabil juga sebuah keharusan pemerintah.
Mencapai tingkat pengangguran nol persen memang suatu yang mustahil. Akan tetapi, melihat sektor informal yang mendominasi perputaran perekonomian dan tempat sebagian besar tenaga kerja terserap, jelas harus menjadi fokus perhatian pemerintah dan semua pemangku kepentingan. Mendorong kredit perbankan dengan bunga rendah ke sektor ini akan semakin menciptakan banyak peluang kerja. Membantu mencari pasar bagi sektor informal, terutama pasar ekspor, jelas sebuah upaya yang brilian. Arang batok asal Indonesia bernilai triliunan rupiah ternyata laku keras di China.
Satu hal yang juga tak bisa diabaikan, berkaitan dengan kebijakan mengontrol pertumbuhan pertumbuhan. Pertumbuhan angkatan kerja, pertumbuhan pengangguran yang berimbas pada merosotnya kesejahteraan dan bertambahnya angka kemiskinan bisa diredam dengan kebijakan keluarga berencana yang kini nyaris tak ada gaungnya lagi. Keluarga berencana merupakan kebijakan pencegah pengangguran, kemiskinan di hulu.
Belum ada kata terlambat.
Sumber: Kompas, Rabu, 11 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment