UPAYA meminggirkan mereka yang berbeda belakangan ini menjadi kegundahan banyak anggota masyarakat karena Indonesia adalah ”berbeda-beda tetapi tetap satu”.
Namun, menurut penelitian tim dari Pusat Pendidikan dan Informasi Islam dan Hak-hak Perempuan Rahima, gerak penyeragaman tersebut sudah terjadi setidaknya sejak tahun 2007-2008. Jalur yang digunakan salah satunya melalui pendidikan di sekolah.
Farha Ciciek, pemimpin penelitian beranggotakan lima peneliti tersebut, menemukan, kelompok-kelompok konservatif dan radikal keagamaan bersifat nasional ataupun transnasional menggunakan sekolah, terutama kegiatan ekstrakurikuler kerohanian, sebagai tempat menyosialisasi nilai dan praktik menolak keberagaman, mengembangkan kepatuhan tanpa nalar kritis, mengajarkan kebenaran tunggal, cenderung mengembangkan sentimen keumatan dan kurang pada rasa kebangsaan dan kemanusiaan, menolak yang berbeda, dan mendiskriminasi perempuan.
Penelitian dilakukan di 30 SLTA, terutama SMAN, SMKN, termasuk madrasah aliyah negeri. Dalam pemaparan penelitian pada acara penganugerahan Saparinah Sadli Award, Selasa (24/8) di Jakarta, Ciciek mengatakan, praktik tersebut juga ditemui di SMAN terkemuka di kota-kota penelitian. Penelitian dilakukan di Jakarta, Pandeglang, Cianjur, Cilacap, Yogyakarta, Jember, dan Padang.
Penelitian dilakukan awalnya untuk mengetahui praktik diskriminasi jender di sekolah. ”Tetapi, sejumlah guru, terutama guru agama, orangtua murid SLTA, anggota ormas agama, dan aktivis lembaga swadaya masyarakat mengeluhkan perilaku ’aneh’ yang menggelisahkan di rumah dan di sekolah,” tutur Ciciek.
Di antaranya, siswi-siswi sebuah sekolah teladan di Yogyakarta dilarang tampil dalam acara kesenian sekolah dengan alasan suara adalah aurat. Ada pula ibu yang merasa tak mengenali anaknya lagi karena si anak tak mau berhubungan dengan ibunya karena si anak menganggap iman ibunya tak sebaik si anak. ”Ada juga ’anak yang hilang’ yang diakui juga oleh Kementerian Agama,” kata Ciciek.
Diskriminasi
Aksi-aksi tersebut, demikian Ciciek, melahirkan diskriminasi jender dengan legitimasi agama. Diskriminasi itu dilembagakan melalui organisasi resmi sekolah, yaitu kegiatan ekstra kurikuler keagamaan, tecermin dari struktur dan kultur organisasi serta materi ajar yang disampaikan dalam bentuk buku, majalah, selebaran, hingga VCD film.
Siswi, misalnya, tidak boleh mengetuai organisasi ekstrakurikuler, perempuan hanya boleh memimpin perempuan, suara perempuan di ruang publik dianggap aurat, pemisahan ketat ruangan antara siswi dan siswa, pembedaan peran dengan penekanan peran domestik/rumah tanggal untuk siswi. ”Pembedaan ruang dengan memakai tabir itu dilakukan di sekolah umum teladan,” kata Ciciek.
Menghadapi kemunduran dalam penghargaan atas kesetaraan jender tersebut, ajakan Rahima kepada organisasi kemasyarakatan ikut serta menyosialisasikan keberagaman, kesetaraan dan keadilan mendapat tanggapan baik. Begitu juga respons Kementerian Agama serta Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta. Yang responsnya belum menggembirakan adalah Kementerian Pendidikan Nasional. ”Mereka beralasan, pendidikan urusan daerah setelah otonomi daerah,” kata Ciciek.
Ke depan, menurut Ciciek, jejaring masyarakat sipil harus dikuatkan dan introspeksi pada pendekatan selama ini. Dia menyebut, masukan dari mereka yang pernah berada di dalam jaringan konservatif, ide pembebasan perempuan sangat memukau, tetapi secara praktis ”kurang berhati”.
”Meskipun ide yang ditanaman keras, teman itu menyebutkan, pendekatannya sangat lembut, merangkul, memanusiakan; pendekatan kesejahteraan dan pemenuhan kebutuhan pribadi. Dia dianggap anggota keluarga, dibantu mengatasi segala kesulitan, mulai dari uang sekolah/kuliah, sampai dicarikan jodoh,” tutur Ciciek.
Intinya, demikian Ciciek, ide konservatif yang mendiskriminasi itu menyusup tanpa kita sadari karena melalui jalur pendidikan. Kegiatan ekstrakurikuler itu mendapat dana untuk kegiatan mereka dari sponsor perusahaan swasta/bisnis, orangtua, hingga sekolah/negara.
Awalnya sekolah merasa terbantu sebab menganggap kegiatan tersebut sebagai penangkal dari narkoba dan tawuran. Apabila tadinya hanya ditularkan melalui kegiatan ekstrakurikuler keagamaan, perlahan diadopsi kegiatan inti sekolah, antara lain melalui aturan seragam sekolah, bahkan di SMA dan SMK, kemudian ke rumah dan ruang publik lain.
Keragaman
Berbagai upaya penyeragaman terebut tidak terbatas pada satu kelompok dominan, tetapi juga di dalam kelompok minoritas, termasuk yang berbasis agama.
Meski demikian, dinamika masyarakat saat ini yang masih memberi ruang keragaman pemikiran bukanlah hal yang terberi, tetapi harus dipelihara dan dijaga. Seperti saat peluncuran buku Psychology of Fashion, Fenomena Perempuan (Melepas) Jilba (LkiS, 2010) pada Selasa (24/8). Buku hasil penelitian kualitatif pada empat perempuan di empat kota di Jawa untuk program S-1 Psikologi ditulis Juneman. Dia mengajak memahami dan menghargai keragaman di masyarakat. Di tengah tingginya semangat di masyarakat agar perempuan mengenakan jilbab, demikian Juneman, pilihan narasumber penelitian melepas jilbab tidak dapat diartikan berkurang keimanannya.
Musdah Mulia, pembahas buku, mengingatkan, dalam fikih perbedaan pemikiran adalah keniscayaan. Dia mencontohkan perempuan sufi Rabiah Addawiyah yang memberikan hidupnya bagi Tuhan, tanpa pamrih pada surga-neraka. Itu memotivasi berlomba pada kebaikan dan tidak mengklaim kebenaran tunggal. (NMP/MH)
Sumber: Kompas, Jumat, 27 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment