-- Ninuk M Pambudy
SETIIAP orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
Kalimat di atas adalah amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H (3). Ayat tersebut merupakan penerjemahan pembukaan UUD tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat dan termaktub dalam bab tentang hak asasi manusia dengan implikasi hidup layak bagi setiap orang di Indonesia adalah hak dasar yang harus dipenuhi negara.
Meskipun hak atas jaminan sosial itu diperkuat lagi melalui Pasal 34 (2) yang mewajibkan negara ”mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat”, pemerintah belum juga melaksanakan amanat tersebut. Padahal, sudah ada UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Pelaksanaan jaminan sosial semakin mendesak untuk menutup kesenjangan kaya-miskin, sehat-sakit, tua-muda ketika sistem ekonomi Indonesia semakin condong pada ekonomi pasar. Bagi orang banyak, dampaknya sudah terasa: biaya kesehatan dan pendidikan semakin mahal. Begitu juga harga bahan kebutuhan pokok ketika dari hulunya, berupa faktor-faktor produksi seperti gas dan biaya pengadaannya, diserahkan pada mekanisme pasar.
Saat krisis keuangan dan ekonomi tahun 1998, pemerintah didorong lembaga keuangan internasional membentuk sistem jaring pengaman sosial. Lahirlah subsidi beras dan jaminan kesehatan masyarakat untuk orang miskin. Demi menarik simpati rakyat, pemerintah lalu juga memberi subsidi gas, listrik, dan bahan bakar minyak.
Wakil Presiden Boediono dalam pertemuan para menteri Asia Pasifik membahas pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (MDGs) 2015 mengklaim Indonesia berhasil menurunkan jumlah orang miskin hingga separuhnya dari jumlah tahun 2000 saat MDGs ditandatangani di PBB, dengan ukuran pendapatan 1 dollar AS per orang per hari. Menurut kriteria Badan Pusat Statistik per Maret 2010, orang miskin adalah mereka dengan tingkat pengeluaran Rp 211.726 per orang per bulan atau sekitar Rp 7.000 per orang per hari, yang jumlahnya 31,02 juta orang.
Meski demikian, capaian tersebut masih jauh dari cita-cita masyarakat adil makmur. Pendidikan gratis melalui wajib belajar sembilan tahun masih menimbulkan keluhan berupa mahalnya buku ajar. Biaya pendidikan ke tingkat SMA dan pendidikan tinggi semakin mahal karena sekolah dan universitas negeri berlomba memasang tarif tinggi.
Bagi orang yang tak termasuk kategori miskin, kehidupan sungguh amat sulit. Saiful (35), petugas satpam perusahaan swasta di Jakarta Selatan, mendapat asuransi kesehatan dari perusahaannya, tetapi keluarganya tidak. Ketika istrinya melahirkan, Saiful terpaksa meminta bantuan biaya dari majikannya. Waluyo (33), pegawai kontrak di perusahaan swasta di Jakarta Pusat, kesulitan membiayai pengobatan rawat intensif anaknya yang terkena demam berdarah. Waluyo dapat membiayai perawatan tersebut meskipun akhirnya nyawa anaknya tak tertolong karena karyawan di tempat kerjanya berinisiatif menyumbang dana.
Meskipun gaji mengikuti upah minimum regional (untuk Jakarta besarnya Rp 1,3 juta) membuat keluarga Saiful dan Waluyo dengan pendapatan Rp 10.000 per orang per hari tidak masuk kriteria miskin, tetapi inflasi yang merambat naik membuat mereka semakin kehilangan hak dasar hidup layak.
Kewajiban pemerintah
Jumlah orang miskin selalu dapat diperdebatkan karena parameter pengukurannya dapat diubah-ubah, tergantung tujuan. UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Tahun 2004 berusaha memberi jaminan sosial bagi setiap orang dari sejak lahir hingga meninggal agar mendapatkan hak dasar hidup layak melalui kepesertaan wajib. SJSN meliputi program jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, pensiun, dan kematian. Ironisnya, hingga habis lima tahun mandat pelaksanaan UU tersebut tidak juga diwujudkan sehingga mengundang somasi Komite Aksi Jaminan Sosial kepada Presiden.
Pemerintah berkilah ketiadaan dana untuk membayari iuran warga miskin. Menurut ekonom Faisal Basri, alasan tersebut tidak dapat diterima sebab pemerintah bisa menyubsidi listrik yang tidak dinikmati orang miskin. Sebagai modal awal, pemerintah dapat memulai dengan dana yang besarnya separuh subsidi listrik, atau seperempat cukai rokok.
Negara paling berorientasi pasar sekalipun, seperti Amerika Serikat, menyediakan jaminan sosial wajib untuk kesehatan, pensiun, hingga tenaga kerja, bagi tiap penduduk. Apalagi negara-negara berorientasi kesejahteraan sosial (welfare state) di Eropa.
Kekhawatiran SJSN belum saatnya dilaksanakan ditepis Prof Dr Hasbullah Thabrany, pengajar di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Jerman memulai asuransi sosial tahun 1883, Inggris tahun 1911, Amerika tahun 1935, dan Korea tahun 1961. Kondisi sosial, ekonomi, dan ketenagakerjaan mereka saat itu jauh lebih buruk dari Indonesia kini.
Isu daya saing investasi menurut Prof Hasbullah juga tak berdasar. Total iuran maksimum Jamsostek Indonesia 12,7 persen dan total iuran SJSN untuk berjalan baik 20 persen dari upah. Sementara negara tetangga, Malaysia, menerapkan total iuran 23 persen dan Singapura 36 persen dari upah yang besarannya lebih tinggi dari Indonesia. Meski demikian, kedua negara itu lebih menarik bagi investor daripada Indonesia. Jadi, tampaknya isu investasi lebih dipengaruhi oleh infrastruktur ekonomi, premanisme, dan korupsi sebagai penghambat.
Modal pembangunan
Keengganan pemerintah melaksanakan SJSN juga agak mengherankan karena pengalaman banyak negara memperlihatkan, dana yang terkumpul dapat menjadi modal pembangunan. Malaysia, berpenduduk 22 juta jiwa, memiliki dana jaminan sosial lebih dari 100 miliar dollar AS hanya dari iuran hari tua pegawai swasta. Korea Selatan, berpenduduk sekitar 60 juta orang, mengumpulkan dana jaminan sosial 300 miliar dollar AS. Adapun Jamsostek, menurut Prof Hasbullah, hanya memiliki 9 miliar dollar AS.
Dalam hitungan Prof Hasbullah, iuran dari 32 juta pekerja formal bergaji rata-rata Rp 1,5 juta per orang per bulan, besar iuran 5 persen, serta pertumbuhan gaji 10 persen dan jumlah tenaga kerja 6 persen per tahun, akumulasi iuran jaminan kesehatan dalam 10 tahun akan tumbuh dari Rp 28.800 miliar menjadi Rp 632.385 miliar. Dari iuran hari tua dalam 10 tahun akan terakumulasi Rp 34.560 miliar menjadi Rp 758.862 miliar. Ini adalah sumber dana pembangunan dari dalam negeri dan kekuatan rakyat tanpa berutang dari luar negeri atau menjuali aset bangsa kepada asing.
Yang diperlukan hanyalah kesungguhan pemerintah melaksanakan SJSN dan memastikan pengelola dana sebesar itu adalah pemerintah dengan tujuan bukan cari untung, tidak diserahkan kepada asing, dan tidak dikorupsi!
Sumber: Kompas, Sabtu, 14 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment