”SAYA selalu diajak anak-anak saya, bukan saya yang mengajak, untuk kembali ke Museum Geologi di Bandung.... Penataannya bagus dan ada interpretasi yang juga bagus,” ujar Noviendi Makalam, seorang peserta diskusi. Kalimat itu terasa seperti siraman air es di kepala yang panas.
Kepala para peserta diskusi mengenai museum yang diadakan oleh Kompas bekerja sama dengan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata memang sudah mulai panas. Panas karena mendengar persoalan yang bertumpuk membelit museum-museum negeri, tepatnya museum-museum daerah.
Pernyataan Noviendi sudah mewakili sebagian wajah dari museum negeri. Belum semuanya memang. Namun, setidaknya dari penataan koleksi dan interpretasi, Museum Geologi yang secara fisik berada di Bandung dan secara struktural berada di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tersebut telah memenuhi dua syarat dari sekian banyak syarat untuk menjadi museum ideal.
Persoalan interpretasi dipandang penting sebagai salah satu unsur daya tarik museum untuk menyedot pengunjung. Sebuah koleksi tidak akan menarik ketika dia ”bisu”, tak berkisah. Sebuah koleksi yang dipajang di museum seharusnya ”berkisah” tentang lingkungannya, tentang zamannya.
Melalui koleksi itulah pengunjung akan terhubung dengan masa lalu, memahami masa kini, dan meneropong masa depan. Melalui koleksi pula pengunjung akan mengenal museum dan menjadi akrab dengannya.
”Biasanya museum selalu menyalahkan masyarakat jika masyarakat tidak tertarik datang ke museum. Mereka dinilai tidak sadar akan pentingnya museum,” tutur Daud Aris Tanudirdjo.
Museum yang dipahami sebagian orang di Indonesia sebagai produk Barat, karena dibangun Belanda, pada awalnya juga menyebabkan kurangnya penerimaan; museum adalah tempat berkomunikasi. Pengelola dan koleksi harus berkomunikasi dengan pengunjung. Gejala seperti itu muncul di daerah-daerah yang dulu merupakan bagian dari kisah penjajahan.
Persoalan interpretasi belum selesai dengan adanya pendapat yang berbeda. Tinia Budiati, misalnya, menyatakan, begitu kurator selesai menciptakan pameran dan pameran itu telah dibuka untuk publik, kurator sudah tidak bisa ikut campur terhadap interpretasi pengunjung. Pengunjung bebas melakukan interpretasi sesuai dengan persepsi dan pengalaman mereka masing-masing.
Menilik persoalan interpretasi, dalam konteks hubungan timbal balik antara pengelola, koleksi, dan pengunjung, pendapat pertama masih menjadi acuan umum, yaitu bahwa pengelola museum, dalam hal ini kurator, mestinya menyajikan interpretasi agar koleksi tersebut bisa terhubung dengan pengunjungnya. Persoalannya, belum ada pendidikan khusus kurator museum di Indonesia.
Tokoh serba bisa
Kelemahan lainnya adalah kurang dikuasainya manajemen pengunjung. Akibatnya, tingkat kepuasan pengunjung tak mencapai aras memuaskan.
Sementara tingkat keberhasilan dari program Tahun Kunjung Museum ini pun belum ada tolok ukurnya. Pengelola pun tidak memiliki cara untuk menilai kualitas kunjungan. Memang ada buku pengunjung, tetapi siapa yang tahu apakah seorang pengunjung hanya 10 menit berada di museum ataukah lima jam dan mengeksplorasi isi museum. Belum ada kajian mengenai kualitas pengunjung.
Kemampuan sumber daya manusia (SDM) menjadi krusial dalam Tahun Kunjung Museum ini karena merekalah yang menjadi pusat hidup matinya museum. Di Indonesia, pengelola museum bisa dikatakan mengerjakan segalanya.
Ironisnya, ketika tuntutan terhadap presentasi museum sedemikian banyaknya, mulai dari menjaga kelestarian benda cagar budaya, membuat penyajian yang menarik, mengadakan kegiatan bersifat edukatif sekaligus menghibur bagi anak-anak, hingga harus melakukan kurasi yang baik terkait koleksi, ternyata penyiapan SDM tidak ditunjang dengan pendidikan memadai. Beruntung ada pendidikan pascasarjana untuk museologi di Universitas Padjadjaran dan Universitas Indonesia.
Ironisnya, kalaupun ada pendidikan dan sudah susah payah dilakukan, ternyata pada akhirnya sumber daya manusia yang terdidik tersebut justru tak ditempatkan di museum. ”Penugasan berganti-ganti. Sudah dilatih, ternyata besok tidak ada di situ lagi. Kendala SDM memang yang harus ditangani,” ujar seorang peserta diskusi. Tantangan lainnya, di Indonesia tugas kuratorial dirangkap oleh pengelola. Akhirnya, pengelola dipaksa berperan menjadi aktor serba bisa.
Tinia secara tajam menyoroti SDM museum negeri. ”Kalau seperti dikatakan, yaitu tugas pengelola museum adalah menciptakan, meng-create sana-sini, bagaimana kita (pengelola museum) akan bisa menciptakan program-program kreatif kalau dalam satu hari kita mesti rapat ke DPRD, rapat dengan Pak Menteri, rapat ini-rapat itu, lalu ada upacara yang bisa berapa kali dalam sebulan, belum lagi wartawan datang,” papar dia.
Dia membandingkan dengan tenaga seorang kurator di negeri Belanda yang tugasnya melulu melakukan kurasi. ”Di sana pembagian profesi jelas, jadi ada profesionalisme. Di sini kadang-kadang tidak jelas. Kadang-kadang jadi guide kalau ada tamu negara dan kalau guide sedang sakit, kadang membelikan minuman,” tutur dia.
Gambaran pengelola museum seperti itu mungkin hanya ditemukan di ranah museum negeri. Lain halnya dengan pengelola museum swasta, Museum Ullen Sentanu, misalnya. Museum ini ditangani sejumlah profesional terdidik, sebagian di antaranya belajar di luar negeri, presentasi museum sudah menyentuh hingga ke persoalan inti permuseuman, yaitu koleksi yang dipamerkan sudah mampu berdialog dengan pengunjungnya.
Menjadi pengelola museum bukanlah pekerjaan ”biasa” karena menilik segudang tugas yang serba ”khas”. Untuk itu Daud memiliki jawaban jitu. ”Salah satu pemecahan terkait persoalan SDM, museum harus ditangani oleh crazy people, yaitu orang-orang yang benar-benar memiliki kecintaan (terhadap museum dan permuseuman). Itulah salah satu kuncinya jika museum ingin maju,” ungkap Daud. Mari kita cari orang-orang ”gila” atau ”tergila-gila” pada permuseuman (yang ternyata tidak banyak). (Brigitta Isworo Laksmi)
Sumber: Kompas, Jumat, 13 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment