Wednesday, August 18, 2010

Pulau Terluar: Mempertanyakan Kemerdekaan dari Beranda Nusantara

-- A Ponco Anggoro

GEBYAR upacara peringatan Hari Kemerdekaan Ke-65 RI di Purpura, tepi Pantai Uhum, Pulau Kisar, Selasa (17/8), memukau warga setempat. Namun, decak kagum atas seremoni yang ditautkan dengan Sail Banda 2010 itu berbanding terbalik dengan realitas kehidupan umumnya penduduk di beranda Nusantara itu.

Tenji Kamanasa (39), salah satu anggota keluarga miskin di Desa Ohoirata, Kecamatan Pulau-pulau Terselatan di Pulau Kisar, Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku, membersihkan kamarnya, Senin (16/8). Kemiskinan menjadi masalah pelik di Pulau Kisar, pulau terluar Indonesia di wilayah Maluku. (KOMPAS/A PONCO ANGGORO)

Sejenak, derap pasukan pengibar bendera dan orkes yang menggemakan lagu- lagu perjuangan menjadi tontonan langka warga di pulau terluar Indonesia di wilayah Maluku ini. Penancapan Sang Saka Merah Putih dari tembaga oleh pasukan marinir dan Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu menambah semarak suasana.

Akan tetapi, ingar-bingar yang terjadi selama peringatan kemerdekaan terasa ”senyap” di rumah keluarga Kamanasa di Desa Ohoirata di Pulau Kisar, sekitar 15 kilometer dari lokasi peringatan kemerdekaan.

Sevnat Kamanasa (42) bersama istrinya, Tenji Kamanasa (39), dan kelima anaknya yang masih kecil seakan tak hirau dengan acara yang langka terjadi di pulau seluas 117,59 kilometer persegi itu.

”Musim tanam lalu kami tidak dapat apa-apa karena jagung gagal panen semuanya akibat kemarau panjang. Kami lebih baik bekerja di ladang karena kami sangat berharap pada hasil panen kali ini,” tutur Sevnat.

Pekerjaan sebagai buruh angkut di pelabuhan menjadi pilihan Sevnat kala tanaman jagungnya semua rusak. Namun, upah yang diterima sering kali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ia beberapa kali terpaksa meminjam uang di kas koperasi buruh angkut.

Di gubuk seluas 5 meter x 6 meter, keluarga besar Kamanasa tinggal. Gubuk itu beratapkan daun pohon koli, berdinding anyaman bambu yang fondasinya terbuat dari tanah liat, dengan lantai langsung tanah.

Nyaris tak ada perabot berharga di dalam rumah kecuali sebuah lemari yang tampak masih mulus. Selain itu, semuanya tampak usang. Pakaian yang mereka miliki juga terbatas sehingga tidak heran jika kelima anaknya terlihat memakai kaus yang sudah kusam.

Saat malam tiba, nyala pelita menjadi penerang satu-satunya. Di bawah sinar redup pelita itu pula, empat dari lima anaknya yang sudah sekolah belajar.

”Tiang-tiang listrik sebetulnya sudah dipasang lengkap dengan kabelnya tahun 1997. Namun, entah kenapa, kabelnya diambil lagi sehingga tiang listrik yang ada hanya pajangan karena 10 tahun lebih sejak dipancangkan listrik belum juga masuk,” keluh Sevnat. Pemandangan serupa terlihat di Desa Nomaha.

Kasur berukuran 1,5 meter x 1 meter, di kamar tidur yang pengap, menjadi satu-satunya tempat keluarga ini melepas lelah saat malam hari. ”Ya, kami tidur berdempetan,” tutur Tenji Kamanasa.

Bertahun-tahun hidup dalam impitan kemiskinan telah dijalani keluarga Kamanasa. Meski Sevnat dan istrinya bekerja dari pagi hingga sore hari di ladang jagung, bahkan sering kali dibantu anak-anaknya yang terpaksa bolos sekolah, kemiskinan masih juga menjerat.

Apa yang dialami Sevnat juga dialami mayoritas warga Kisar, bahkan warga Maluku Barat Daya lainnya, yang memang menggantungkan hidup sehari-hari pada hasil ladang.

Saat warga kesulitan bertani, bantuan pemerintah sering kali tidak cukup. Thomas Ratuhaurasa (52), keluarga miskin di Ohoirata, mengatakan bantuan beras hanya datang sekali. Itu pun jumlahnya hanya 1 kilogram, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan satu hari.

Sementara mengandalkan distribusi beras untuk rakyat miskin sangat tidak mungkin karena tidak tentu datangnya. ”Dalam satu tahun bisa hanya sekali. Setiap ada kiriman, jatahnya hanya 25 kilogram per keluarga,” lanjutnya.

Tidak heran jika jumlah warga miskin di Kabupaten Maluku Barat Daya masih tinggi, mencapai 57 persen dari seluruh penduduk di kabupaten yang sebanyak 73.000 orang.

Harga beras, misalnya, kini mencapai Rp 12.000 per kilogram atau dua kali lipat dibandingkan dengan harga di Jawa.

”Satu-satunya maskapai penerbangan yang mendarat di Kisar hanya Merpati. Itu pun jadwalnya tidak tentu dari seharusnya seminggu dua kali,” kata Pejabat Sementara Bupati Maluku Barat Daya Angky Renkaan.

Kepala Desa Nomaha di Pulau Kisar Weinan Reytu mengatakan, masalah kemiskinan, listrik, air bersih, bersama sejumlah masalah lain merupakan masalah klasik yang belum terpecahkan sejak Indonesia merdeka.

Bahkan, ketika 46 pulau di Maluku Barat Daya menjadi kabupaten sendiri, dimekarkan dari Kabupaten Maluku Tenggara Barat sejak September 2008, masalah itu tak juga menemui titik terang penyelesaian. Setiap tahun, dana di APBD Kabupaten Maluku Barat Daya sekitar Rp 200 miliar, sekitar Rp 70 miliar di antaranya dipakai untuk belanja rutin.

Angky mengeluhkan seringnya keamanan masyarakat terganggu oleh komplotan perampok dan nelayan ilegal dari Timor Leste yang mengambil paksa hasil kebun warga.

Tidak keliru jika masalah- masalah ini membuat sebagian warga merasa peringatan kemerdekaan dan gebyar-gebyar yang menyertainya hanya simbolis belaka. Hanya hiburan sesaat.

Sumber: Kompas, Rabu, 18 Agustus 2010

No comments: