Monday, August 16, 2010

Jiwa Proklamasi

-- Hemengku Buwono X

KEMBALI kepada Jiwa Proklamasi... kembali kepada sari intinya yang sejati, yaitu, pertama, Jiwa Merdeka Nasional... kedua, Jiwa Ikhlas... ketiga, Jiwa Persatuan... keempat, Jiwa Pembangunan, (Bung Karno, Pidato 17 Agustus 1952).

Pertanyaannya, menjelang 65 tahun kemerdekaan republik ini, apakah keempat Jiwa Proklamasi yang disitir oleh Bung Karno itu masih bersemayam di dada setiap warga bangsa Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan kita sendiri itu, ada baiknya kita merefleksi makna proklamasi yang dapat kita baca dari teksnya.

”Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan Kemerdekaan Indonesia”. Di sini mengandung pernyataan, Kemerdekaan Indonesia hanya bisa tercapai setelah melewati long-march perjuangan panjang sebelumnya.

Diawali sejak kebangkitannya, berupa cita-cita untuk merdeka yang dicanangkan Boedi Oetomo. Memang ”Indonesia” belum ”menjadi”, tetapi selangkah maju dari sekadar sebagai komunitas- komunitas terbayang, imagined communities versi Benedict Anderson (1991).

Di bagian lain, ”Hal-hal jang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain”, makna ”pemindahan kekuasaan” menunjuk transformasi politik, konsekuensi logis kemerdekaan untuk lepas dari penjajahan dalam bentuk apa pun. Reformasi pada dasarnya juga bentuk kemerdekaan. Merdeka dari kehidupan berbangsa dan bernegara yang sarat penyelewengan.

Kita tentu tidak ingin bangsa ini terpuruk oleh sebab yang sama dalam bentuk lain. Nyatanya, korupsi masih marak dan penegakan hukum belum memenuhi rasa keadilan masyarakat. Artinya, reformasi belum menyentuh aspek hakiki, tetapi membawa kita terus berada dalam pusaran kesulitan serupa.

Anak kalimat ”dan lain-lain” adalah persoalan kita masa kini dan masa depan. ”Dan lain-lain” itu beraspek banyak yang menunjukkan pluralitas dan kompleksitas persoalan bangsa ini, yang harus kita urai lewat tahapan pembangunan bagi sebesar-besar kesejahteraan rakyat.

Pertanyaannya adalah sudahkah hasil yang kita capai itu memenuhi amanat proklamasi, yang tersirat dalam ”Tri Sakti Jiwa”? Jawabannya ada pada bagian teks lanjutannya, ”diselenggarakan dengan tjara seksama” dan ”dalam tempo jang sesingkat-singkatnja”.

Anak kalimat pertama dapat dijabarkan dalam kebijakan, strategi, taktik, program, dan aksi. Dengan cara yang cermat saksama, melalui perencanaan atas dasar data, informasi, dan laporan yang benar. Kita lalu berbicara tentang peningkatan kualitas pemimpin, eksekutif, legislatif, yudikatif, pelaksana, sarana, pendidikan, manajemen, dalam hal profesionalisme, keandalan, kecerdasan, karakter, dan sebagainya.

Yang kedua adalah batasan ruang waktu, tahapan, sifat temporal yang sesegera mungkin dilakukan. Diakselerasi pencapaiannya, tetapi juga harus efisien dan efektif, hasil yang optimal, tanpa bocor. Karena, kalau tidak, kita akan tertinggal oleh percepatan transformasi global. Yang akhirnya, kita akan tinggal jadi penonton di arena perjuangan bangsa-bangsa lain di dunia.

Mimpi bersama

Untuk merefleksi 65 tahun proklamasi, kita harus dibawa kembali ke lorong-lorong sejarah pada awal tahun 1900-an, ketika kaum nasionalis sedang mencari- cari bentuk perjuangan untuk mewujudkan keindonesiaan kita.

Hal ini mengisyaratkan adanya paralelisme sejarah dengan situasi sekarang yang dihadapkan pada banyak permasalahan bangsa, di mana kita juga sedang mencari-cari solusinya.

Peta pluralitas keindonesiaan kita menjadi demikian kompleks, yang dalam dirinya membawa kepentingan, yang juga semakin terfragmentasi, mengancam semangat kebangsaan kita. Keberagaman justru cenderung menyempit, mengkristal dalam kelompok, dan dimaknai sebatas prinsip bahwa orang lain tidaklah lebih baik daripada kelompoknya sendiri.

Fenomena itu mempertegas pendapat Clifford Geertz (1997) tentang sulitnya melukiskan anatomi sosial-budaya masyarakat karena begitu kompleks dan serba multinya unsur Indonesia yang harus disenyawakan.

Sementara rajutan historis dan ideologis dari pluralitas itu tidak tumbuh dengan baik sehingga keindonesiaan yang terbentuk pun belum sepenuhnya utuh. Meminjam istilah Max Lane (2008), Indonesia adalah bangsa yang belum selesai (unfinished nation). Akibatnya, seperti yang tampil saat ini, bangsa Indonesia terkotak-kotak sehingga identitas keindonesiaannya pun rapuh.

Politik identitas dalam format identitas suku, daerah, dan agama mudah menguat, yang bisa dilihat, misalnya, dalam radikalisme keagamaan. Tuntutan pemekaran daerah pun sering kali dipicu oleh menguatnya politik identitas. Jika hal tersebut tidak berhasil disinergikan menjadi modal sosial, kemajemukan bangsa bukan saja tidak akan memberikan kontribusi apa pun bagi pembentukan keindonesiaan, melainkan juga dapat mengancam stabilitas dan eksistensi Republik.

Agar itu tidak terjadi, dan sebaliknya, supaya keragaman bangsa memberikan kontribusi signifikan bagi konsolidasi keindonesiaan, ”mimpi bersama” tentang keindonesiaan harus diciptakan kembali. Sebab, menurut Daniel Dhakidae (2001), tidak pernah bisa dikatakan suatu bangsa itu ”lahir”, tetapi ”hadir” dalam sebuah proses ”formasi” sebagai suatu ”historical being”. Bangsa mengisi kehadirannya sendiri dalam suatu ”proyek” yang dikerjakan oleh bangsa itu sendiri.

Jiwa merdeka

Kemerdekaan biasa kita maknai sebagai lepas dari belenggu penjajah dan kita sudah berhasil mewujudkannya 65 tahun yang lalu. Namun, kemerdekaan dalam artian seperti itu ternyata belum memadai dalam konteks kekinian. Dengan pandangan reflektif seperti itu, saat ini kita justru dituntut untuk terus melangkah maju karena bangsa lain sudah jauh di depan kita.

Dalam perspektif budaya, untuk mencapai ”Indonesia yang lebih baik”, konsekuensinya kita harus membangun watak baru yang memihak bangsa sendiri, berakar budaya yang berorientasi progresif agar mampu ”berbicara” di arena percaturan global karena dihormati oleh bangsa- bangsa lain di dunia.

Maka, marilah kita kembali pada Jiwa Proklamasi sebagai bangsa bermartabat, yang memiliki jiwa merdeka, keikhlasan untuk berkorban, tekad bersatu dalam keragaman, serta siap membangun jiwanya, membangun badannya untuk Indonesia Merdeka!

* Hamengku Buwono X, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta

Sumber: Kompas, Senin, 16 Agustus 2010

No comments: