-- Ninok Leksono
PERSATUAN, itulah gagasan yang terus hidup (menjadi living idea) menyertai perjalanan bangsa Indonesia sepanjang 65 tahun eksistensinya.
Ada titik-titik dalam perjalanan itu di mana kita merasa telah mencapainya, tetapi tidak sedikit pula titik di mana kita merasa kehilangan.
Persatuan bahkan oleh sebagian diyakini sebagai benang merah perjuangan Bapak Bangsa Soekarno.
Sebagai pemimpin yang mendominasi panggung politik nasional dan juga tokoh yang fasih mengartikulasikan ide, apa yang hidup di hati Bung Karno kemudian bergaung luas di tengah-tengah rakyat Indonesia. Memang ada serangkaian upaya untuk memecah Indonesia, tetapi NKRI tetap utuh bahkan setelah Bung Karno pergi.
Pak Harto punya visi dan cara mempersatukan bangsa yang lain lagi. Didukung oleh teknologi sekelas mendiang Iskandar Alisjahbana, Indonesia dipersatukan oleh Satelit Palapa. Saat Palapa A1 diluncurkan tahun 1976, Indonesia menjadi negara keempat di dunia yang memanfaatkan satelit komunikasi domestik. Dengan teknologi satelit itulah sambungan langsung jarak jauh (SLJJ) dimungkinkan, siaran televisi dari Jakarta bisa dinikmati di pulau-pulau terpencil, dan kedekatan kebangsaan lainnya tumbuh.
Segaris dengan Pak Harto yang ingin mempersatukan Indonesia melalui ideologi pembangunan, yang memang dimungkinkan dengan dukungan kemajuan teknologi, Presiden BJ Habibie juga punya visi untuk menyatukan Indonesia dengan difusi sains dan teknologi di seantero Tanah Air. Ia telah mengonsepkan pemanfaatan teknologi sel surya untuk pengadaan air secara efisien di daerah terpencil, seperti di satu desa di pedalaman Sulawesi Tenggara.
Dari ideologi dan pemanfaatan teknologi, ide persatuan diejawantahkan lagi ke ranah kehidupan nyata di antara rakyat Indonesia oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Kita tahu, Gus Dur selalu resah bila ada disharmoni dalam kehidupan beragama dan tampil manakala ada laku kaum mayoritas yang dinilainya tidak konstruktif bagi persatuan Indonesia. Kita tahu, Gus Dur melihat persatuan RI masih terus ditantang dengan gaya sentrifugal yang bisa membuat RI robek berantakan.
Dengan selintas mengenang kembali perkembangan wacana, aksi konkret, dan komitmen empat pemimpin bangsa di atas, kesimpulan yang bisa kita tarik adalah meski telah dirumuskan dan coba diimplementasikan, pada dasarnya persatuan masih harus dilihat sebagai hal yang rapuh. Pengalaman melalui era pasca-Reformasi, yang justru diwarnai konflik antaretnik di Ambon, di Sampit, dan terakhir merebaknya perilaku agresif oleh ormas yang tampak sulit menenggang perbedaan dan keragaman, meyakinkan kita bahwa persatuan Indonesia bukan hal yang bersifat ”sekali jadi, lalu abadi”.
SOS dan CAS
Apa yang dialami Uni Soviet dan Yugoslavia yang tak lestari sebagai bangsa sering dilihat sebagai tragedi negara bangsa. Memang muncul pertanyaan kritis, apakah benar Uni Soviet dan Yugoslavia—bahkan termasuk Indonesia—sejatinya merupakan negara bangsa. (Tidak kurang Prof Stephanie Newman dari Columbia University, New York, pernah menyampaikan kepada penulis tentang keheranannya, bagaimana Indonesia yang tersusun dari begitu banyak keragaman bisa berdiri. Ia hanya satu dari banyak orang yang menyebut Indonesia sebuah keajaiban, terlepas dari kemustahilan strukturalnya.)
Dihadapkan pada pelbagai tantangan tradisional (yang terkait dengan sulitnya bersatu karena amat beragam) dan tantangan modern (yang dipicu oleh globalisasi yang memengaruhi gaya hidup dan pemikiran), pemimpin bangsa mau tak mau dituntut lebih rajin turun gunung untuk memberi teladan nyata dalam pembangunan kebangsaan. Salah satu yang urgen dibutuhkan adalah pembangunan kapasitas bangsa di bidang penyelesaian konflik, yang—di tengah makin kisruhnya berbagai urusan kebangsaan—tampak tak tertangani.
Secara teori, ada harapan urusan kebangsaan bisa dikaji dengan Teori Kompleksitas yang juga banyak digunakan di bidang sains. Teori ini mempelajari bagaimana segala sesuatu yang ada di alam raya, termasuk zat dan organ dalam tubuh manusia yang masing-masing unik dan berbeda namun saling terkait dan saling membutuhkan satu sama lain, bisa bekerja sama dengan harmonis, hingga semuanya dapat melangsungkan tujuan hidup, yaitu terus berkembang, berevolusi, dan berproduksi dengan baik.
Lenny Sunaryo, pengajar di Prasetiya Mulya Business School, dalam buku tentang inovasi (2010) mengatakan, dengan menyebut Teori Kompleksitas berarti segala sesuatu di alam raya di satu pihak dapat berkomunikasi, tapi di pihak lain juga dapat bekerja sendiri-sendiri sebagai satu sistem yang mandiri, bisa mengelola diri sendiri (SOS, self organising system).
Meskipun ide menganggap masyarakat dalam satu bangsa sebagai SOS masuk akal, namun dalam kenyataan hal itu bisa dianggap menyederhanakan persoalan. Lebih-lebih di era demokrasi, hiruk-pikuk atau kegaduhan malah bisa dikatakan telah mendekati chaos sehingga dibutuhkan alat lain untuk memahaminya. Dalam sistem yang chaos, komponen sistem—bisa elite, politisi, atau birokrasi, atau kelompok masyarakat—berperilaku independen, tanpa mempertimbangkan dampak perilakunya terhadap komponen sistem lainnya. Mereka tidak menyadari, mereka berkaitan dan berketergantungan dengan komponen lain.
Seiring dengan SOS, Lenny Sunaryo juga menyebut CAS atau Complex Adaptive System. Inilah saat-saat menentukan untuk melihat, apakah saat menghadapi ujian chaotic sekarang ini, bangsa Indonesia akan lulus secara cerdas (adaptif) atau tidak.
Palapa Ring
Di antara upaya yang dilakukan pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak KIB I adalah menuntaskan pembangunan Palapa Ring untuk menyatukan Indonesia melalui kekuatan teknologi informasi-komunikasi (TIK). Dengan Palapa Ring, jurang yang masih menganga dalam akses telekomunikasi dan TIK pada umumnya bisa segera ditutup.
Sering dipertanyakan pula, apakah persatuan yang diidamkan bagi Indonesia adalah yang bercorak melting pot atau melting salad. Melting pot ditandai dengan meleburnya identitas lokal menjadi identitas Indonesia, misalnya dengan perkawinan antarsuku yang menghasilkan etnisitas baru yang lebih Indonesia. Sementara salad pot merupakan penyatuan dan penciptaan identitas baru (sebagai salad), tetapi tetap menyisakan identitas asli komponen.
Mana pun yang dituju, itu lebih baik daripada bangsa Indonesia tidak menjadi apa-apa, bahkan cenderung bercerai-berai. Dalam kaitan ini pula kita melihat pengembangan industri transportasi dan infrastruktur memegang peranan penting dalam pembangunan persatuan nasional. Melalui bisnis pun berkembang prospek silaturahim antarwarga bangsa. Dengan itu pula diharapkan berkembang saling pengertian. Berikutnya, berkembang pula rasa kepemilikan (ownership) kebangsaan.
Beragam atau homogen, setiap bangsa membutuhkan persatuan agar bangsa ini tetap eksis dan berjaya. Pertanyaan ”Bersatu dalam keragaman apakah historis atau utopia?” dapat kita jawab dalam dua aspek. Bung Karno dan pemimpin berikutnya telah menjawab bagiannya masing-masing. Jadi, historisnya ada. Namun selanjutnya ia bisa jadi utopia manakala para pemimpin dan kita semua lalai mengerjakan tanggung jawab masing-masing.
Sumber: Kompas, Kamis, 12 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment